Chapter - 2. Why?

1.1K 117 13
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------

"Ya, dia tak asing dengan nama itu. Saat kau menyebutnya, dia pingsan, kan? Tapi, kuharap kau tidak melakukannya terlalu berlebihan. Itu sangat berdampak buruk untuk kesehatannya."

Zeus Ashton berkacak pinggang, memerhatikan dari tepi ranjang sebelah kiri, Bree yang tengah tergeletak manis di ranjang. Netra biru cerah itu melirik tajam dokter yang menangani Bree. "Kalau kuperlakukan manis, dia akan semakin melunjak dan tidak tahu apa-apa. Aku bukan orang penyabar."

"Tapi kau dipaksa bersabar. Kondisinya lemah. Kau memaksanya menikahimu tanpa memberikan dia asupan gizi. Kau gila? Kalau kau tidak bersabar, dia akan mati, Mr. Ashton." Tampaknya dokter dengan name-tag Sammy mulai malas berdebat. Terlihat jelas dari matanya yang dirotasikan. "Aku sudah memberikan beberapa vitamin untuk diminum. Usahakan vitamin itu masuk ke perutnya karena dia sudah kehilangan banyak gizi. Ingat, itu bisa mempengaruhi kinerja otaknya."

Zeus hanya bergumam datar. Ia mendaratkan bokongnya ke tepi ranjang, menatapi istrinya terbaring lemah di ranjang mereka. Ia mengelus pelan kepala Bree, membiarkan Sammy membereskan barang-barang kedokterannya.

"Ingat apa yang kupesan, Zeus. Ini menyangkut nyawanya. Jangan paksa dia." Zeus melirik Sammy sekilas, tak suka. Tapi tetap saja Zeus harus menerima kenyataan beserta konsekuensinya.

"Aku pulang," pamit Sammy. Tanpa mendengar jawaban Zeus, ia langsung keluar dari kamar.

Mata yang biasa digunakan menatapi siapa pun dengan sorot tajam, sedikit kebencian, kini hilang digantikan kesenduan.

"Welcome home, Wife." Ia bergumam rendah. Tak lama, ia mengambil posisi berbaring, memeluk Bree dari samping dengan gaun yang masih melekat. Jas yang ia kenakan pun tak mau dilepas, seakan membiarkan mereka tertidur di ranjang ini setelah pernikahan. Tangan kirinya mengambil tangan Bree, mengelusnya lembut. Senyum kecil terukir di wajah buruknya. Wajah yang menjadi kutukan karena dengan wajah ini, mereka tak lagi memujanya. Mereka menjauhinya. Ia mengelusi jari Bree yang dilingkari cincin emas kemudian menatap lama wajah Bree. "Tidak ada yang bisa memisahkan kita, Bree."

***

Bree terkejut bukan main. Ia langsung terduduk saat melihat wajah mengerikan itu di sampingnya. Bagaimana pula ia tak terkejut jika wajah itu berjarak beberapa senti saja? Ia yang masih dalam masa syok, kembali syok saat melihat gaunnya masih melekat, juga pria itu dengan jas hitam. Ia pikir ini mimpi. Sayangnya, ia salah. Ia terbangun dengan sosok pemaksa ini di sampingnya. Ia terbangun dengan gaun pengantin. Teringat sesuatu, ia memeriksa jemarinya. Sial! Ada cincin lain yang melingkari jari manisnya dan cincin pernikahannya bersama Lewis menghilang. Saat ia kembali melirik pria itu, ia lagi-lagi terkejut karena pria itu sudah terbangun dan malah menumpu kepala menggunakan siku.

"Kaget?"

"Sebenarnya ada apa? Kenapa kau menculikku? Kumohon kembalikan aku ke rumahku. Mereka pasti cemas!" mohon Bree sedikit menjaga jarak. Ia menunduk, memejamkan mata karena tak sanggup melihat wajah itu lebih lama. Ia ketakutan karena pria ini mengerikan.

"Ini rumahmu. Kau tidak perlu pulang karena kau sudah pulang. Perihal keluarga, mereka tidak akan mencemaskanmu karena semua sudah kuatur."

"Aku ada masalah apa denganmu? Kenapa kau menculik dan mengekangku? Aku hanya ingin pulang ke rumahku. Rumah sesungguhnya. Kau mengklaim diriku, Sir! Aku bukan milikmu. Aku sudah dimiliki pria lain. Tolong, kembalikan aku." Tidak meronta, tidak berteriak, Bree hanya memohon. Ia sudah tidak memiliki pilihan selain berkompromi dengan pria ini. Saat ia memberontak, ia yakin pria ini semakin tidak mau mendengar.

"Aku tidak gila karena mengklaim sembarangan orang. Kau hanya perlu mematuhi perintahku. Dan perintahku hanya satu. Kau tetap di sisiku. Lihat jarimu. Kau sudah menjadi milikku. Kau akan bercerai dengan pria gadungan itu dan benar-benar menjadi istriku seutuhnya."

"SEBENARNYA APA MASALAHMU?!" Kehabisan kesabaran, Bree berteriak keras. Isakannya pun semakin keras karena ia merasa tidak pernah bertemu, bahkan bertatap muka dengan pria ini. Tapi mengapa dengan segala arogansinya, pria ini berkata banyak hal yang tak bisa ia mengerti.

"Ssst. Lebih baik kau istirahat. Ini sudah jam empat sore. Akan ada pelayan yang mengantarkan makanan. Selama di sini, selagi kau tidak menurut, kau akan tetap di kamar dan tidak boleh ke mana pun selain persetujuanku. Kau mau berkompromi? Maka dengarkan aku dan aku akan mendengarkanmu."

Bree menangis semakin kuat. Dosa apa yang telah ia lakukan? Apa yang membuatnya bisa terperangkap dengan segala siksaan ini? Melihat pria itu keluar dari kamar dengan santainya, ia menangis kencang, sekencang-kencangnya. Dadanya ia pukul karena sesak ini tak mau menghilang. Ia menyadari segala ucapannya tidak akan didengar. Ia menyadari pria itu tidak mau melepaskannya dengan mudah. Otaknya pun tak bisa diajak berpikir. Ia sudah terlalu kalut, bahkan merasa ingin mati.

Ia berbaring lemah di ranjang, meringkuk. Lagi-lagi ia meratapi nasib yang semakin hari pastinya semakin mengerikan.

Hanya satu pertanyaan. Kenapa pria itu mengurungnya? Apakah ia memiliki utang budi? Apakah ia pernah melukainya tanpa sengaja hingga pria itu membalas dendam sekarang?

.

.

.

TO BE CONTINUE

Ugly Kidnapper ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang