Chapter - 6. Who is He?

632 80 6
                                    

HAPPY READING 📖

------------------------------------

"Pergi dan jangan kembali! Sampai kapan pun aku tak merestui hubungan kalian sampai aku mati! Kau bukan lagi anakku!"

"Pergi!!!"

"Dasar anak sialan!"

"Dia tidak akan pernah setia! Dia akan membencimu suatu saat nanti! Kau tunggu saja waktunya tiba! Pergilah, dan aku tidak akan lagi membuka pintu rumahku untukmu!"

Kilasan memori itu mengoyak hati. Ia memijit pelipis kemudian mengalihkan kembali tatapan pada Bree yang masih terpejam. Ia mengembuskan napas pasrah. Entah sampai kapan ia harus menuggu ketidakpastian. Entah sampai kapan ini akan berakhir.

Sammy sudah memeriksa Bree dan mengatakan sekiranya seminggu lagi Bree akan sadar. Zeus tentu saja memekik gila. Bagaimana bisa ia menunggu lagi selama itu? Ia merasa ini mendekati sia-sia. Ia merasa ini semua akan berakhir percuma.

"Sampai ke mana pun kau berlari, aku akan tetap mengejarmu, Bree. Hidupmu dan hidupku adalah satu. Kau dan aku tidak akan terpisahkan lagi ...." Zeus mengelus pipi lembut Bree, menunggu dengan saat untuk Bree membuka mata. Ia akan terus menunggu meskipun kesabaran ini tidak setebal yang dikira. Ia akan terus menunggu untuk Bree, istrinya.

Hari demi hari dilalui. Zeus tetap menunggu. Duduk di tepi ranjang, memperhatikan lekat Bree yang masih memejamkan mata. Selama itu pula ia mempertanyakan harus sampai kapan menunggu? Setelah Bree membuka mata, ia harus menghadapi lagi kenyataan jika Bree akan bersikap kasar. Ia juga harus menghadapi kekeraskepalaan Bree yang tidak pernah hilang. Tapi, tidak masalah dibandingkan ia harus kehilang Bree lagi.

"Kapan mau membuka mata, hm? Aku lelah menunggu," gumam Zeus sembari mengelus lembut punggung tangan Bree. Ini sudah seminggu lewat dua hari, Bree masih belum membuka mata. Ia di batas ambang menyerah. Ia ingin membebaskan Bree, namun itu sama saja sia-sia. Segala pikiran berperang, tak mau menghilang dan semakin mengganas menggerogoti kepala.

Ia berdiri, membungkuk sejenak untuk mengecup kening Bree kemudian melangkah pergi. Sekiranya pagi ini ia harus berburu agar tak menjadi gila, mencari rusa untuk dibakar sebagai santapan. Ia mulai bosan, dan pengalihan bosannya ia luapkan dengan berburu. Ia mengambil panahan. Diambil korek api di laci nakas dan sesegera mungkin keluar, berjalan memasuki wilayah hutan, mencari binatang-binatang yang bisa dimakan, sekaligus menghirup udara segar. Hampir beberapa minggu ia tidak lagi menjelajahi hutan karena berurusan dengan Bree.

Hanya satu masalahnya. Wajah buruk rupa sialan ini yang membuat Bree memberontak, ketakutan, dan tak mengenali seluruh identitasnya. Sampai mati pun jika Bree masih menolaknya, ia akan tetap menyalahi wajah ini.

Sekali tembakan, rusa buruannya telah terpanah. Ia setengah berlari untuk melihat dan tiba-tiba matanya berbinar takjub. Ia mencabut panahannya kemudian menyeret rusa yang telah mati itu ke tempat yang lebih santai untuk menikmati santapan.

***

Bree mengerjap, jemarinya bergerak sedikit. Matanya terbuka perlahan kemudian menggeram karena tenggorakannya teramat kering beserta kecewa saat ia menyadari ia masih di tempat si buruk rupa. Kenapa ia harus hidup? Lebih baik ia mati jika harus kembali berhadapan dengan pria itu.

Ia mencoba bangun, namun tubuhnya begitu lemah. Ingin berteriak, sayangnya tenggorokannya begitu sukar untuk mengeluarkan suara. Ia ingin minum, ingin mengembalikan kesadaran dan stamina, ingin kabur lagi meskipun kepalanya masih begitu pusing. Ia berbaring pasrah. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali berbaring. Persetan dengan pelayan-pelayan itu. Mereka memang mau membunuhnya perlahan dan mati membusuk di sini. Apa memang mereka tak punya otak meninggalkannya sendirian? Kalau sudah begini, ia harus meminta tolong pada siapa?

Ia memalingkan kepala ke samping kiri, langsung menghadap pemandangan luar dan melamun. Saat matanya mengerjap berkali-kali, ia mendapati sesuatu di atas nakas. Cincin pernikahannya. Ia terbelalak kaget dan langsung melirik jemarinya. Sial! Pria itu ternyata sudah membuang cincin pernikahannya dengan Lewis, sedangkan di jemarinya kini hanya ada cincin pernikahannya dengan si buruk rupa itu. Ia menghela napas, berusaha sabar. Saat matanya melihat cincin pernikahan itu lagi, ia sadar cincin pernikahan itu berbeda. Bukan hanya satu, tapi dua dan terlihat terikat seperti rantai. Ia berniat mengambilnya, namun suara itu—suara yang paling ia hindari—terdengar.

Cepat-cepat ia menutup matanya kembali, berpura-pura belum sadar karena ia malas berbincang bahkan meladeni Zeus.

"Dia masih belum sadar?" Suara Zeus semakin mendekat, bahkan ia bisa mendengar derap langkah kaki yang semakin keras setiap detiknya.

"Belum, Tuan." Cih, bagaimana mereka bisa tahu ia belum sadar kalau satu pun orang tak ada di sini?

"Ck!" Decakan Zeus membuat degup jantungnya semakin menjadi. Entah mengapa ia bisa segugup ini. Ia berharap akting untuk tetap tertidur tidak seburuk yang dipikirkan.

Dapat ia rasakan ranjangnya bergerak. Wajahnya dielus ringan dan kecupan di pelipis.

"Kapan kau akan sadar, Bree. Aku menunggu." Helaan napas Zeus terasa hangat di lehernya. Kali ia bisa menebak Zeus memeluknya dari samping. Bahkan pria itu mengecup lembut ceruk lehernya hingga ia sedikit geli.

"Aku menunggumu, Sayang. Jangan membuatku menunggu lagi."

Ia benar-benar tak pernah bisa menebak pikiran Zeus. Pria ini terkesan misterius. Ada rahasia yang disembunyikannya dan ia sudah menduga ia pernah berhubungan dengan pria ini di masa lalu. Namun, ia masih belum menemukan titik terang. Ingatannya digali sekeras apa pun tetap saja ia tak pernah merasa berjumpa dengan Zeus. Apa yang pria ini tunggu?

Ia sedikit terkesiap saat Zeus menautkan jemarinya kemudian mencium lama hingga ia merasakan jejak basah di punggung tangannya.

"Jangan pernah pergi lagi, Bree. Jangan. Jangan pernah pergi karenaku. Aku lelah menunggumu. Jangan pernah menolakku. Kumohon jangan. Kau semakin menyakitiku."

Semakin ia menerka, semakin ia tidak mengerti. Banyak pertanyaan yang timbul. Apa memang ia istri Zeus? Apa di masa lalu mereka memang pernah bertemu dan menjalin pernikahan? Namun, mengapa ia menikah dengan Lewis? Lalu, apa Zeus memang menunggunya sejak lama termasuk menunggunya sadar? Apa Zeus mencintainya?

Berkutat dengan pikiran, ia kembali dikejutkan dengan reaksi Zeus yang mencium bibirnya tiba-tiba. Untung saja ia tak langsung terbangun. Sialan! Pria ini memang kurang ajar.

"Please, wake up. Aku sudah sangat bosan. Setidaknya kau bangun dan berdebat denganku jauh lebih baik."

Rasanya ia ingin mengerjai Zeus untuk tak membuka mata. Biarkan saja pria ini tenggelam dalam perasaan bersalah. Ia hanya meminta satu, tapi begitu banyak tetek bengek.

"Rasakan kau!" rutuknya dalam hati sembari tertawa geli. Namun, lagi-lagi ia merasa ada yang basah di punggung tangannya. Ia tahu itu bukan kecupan, melainkan air mata. Terdengar Zeus terisak-isak, bergumam lirih yang kembali membuat kepalanya bertanya-tanya. Apa memang Zeus selalu melakukan ini sebelum ia tersadar? Apa cinta pria ini kepadanya sudah teramat besar walaupun baru pertama kali bertemu? Apa ia benar-benar terlibat stockholm syndrome?

"Seperti katamu, kita akan membangun kerajaan kita sendiri. Bangunlah dan kita buat kerajaan kita." Kali ia tak bisa menahan agar matanya tetap tetutup. Ia membuka mata, menatap nanar rambut hitam Zeus. Pria ini seakan lebih banyak mengenal dirinya. Pria ini bukan pria sembarangan. Pria ini tahu semua yang ia ucapkan. Kalimat yang sering ia lontarkan pada Lewis dan kalimat-kalimat tak asing lainnya.

"Kau mengenalku sejak kapan?" lirihnya serak dengan tatapan kosong dan berkaca-kaca.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Ugly Kidnapper ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang