Suasana panti asuhan Pink House itu terlihat ramai saat jam sembilan pagi, anak-anak bermain dengan riang mengenakan seragam olahraga yang berwarna putih biru. Dari kecil sampai remaja, Haechan jadi ingat saat dulu dia suka bermain dengan Dongsook di lapangan desa mereka dulu, anak-anak di desa cenderung tidak banyak kesenjangan, beda ketika mereka pindah ke kota dan Haechan langsung mendapatkan banyak bullyan. Dulu Dongsook yang selalu melindunginya, tapi sekarang Haechan melakukan kebalikannya.
Meskipun dada kirinya masih dibalut dengan perban, hal itu tidak menurunkan niat Haechan untuk pergi ke panti asuhan dan mencari tahu identitas Patricia Rose yang sebenarnya.
"Permisi, apa anda benar Kim Jisoo?" pertanyaan itu langsung terlontar ketika mereka menemukan seorang wanita berumur 40 tahunan yang menemani anak-anak bermain.
"Iya, saya pengurus panti disini." jawab Jisoo. Kali ini Haechan yang maju,
"Saya perwakilan dari keluarga Lee, mengucapkan maaf karena kelakuan Ayah saya kepada Patricia Rose." ucapan Haechan membuat Jisoo terdiam sejenak, ada sorot kesedihan di matanya. Namun wanita itu tetap mengulas sebuah senyum,
"Mari masuk dan berbincang di dalam." ajak Jisoo.
Mereka duduk di ruang tamu, Jisoo juga membuatkan minuman untuk mereka semua.
"Rose adalah temanku sejak SMA dan kami mendirikan panti asuhan ini bersama." ucap Jisoo. Dia mengambil buku album yang ada di loker meja di dekat sofa, ada foto-foto anak panti bersama dengan Rose dan Jisoo juga disana.
"Tapi kami tidak berdua, teman kami Kim Jennie, dia sudah lebih dulu meninggalkan kami. Dia ibu kalian, Donghyuck dan Dongsook." penjelasan Jisoo membuat Haechan terkejut,
"Jennie terpaksa menjadi seorang pemuas nafsu di sebuah club dan menjadi wanita sewaan tanpa kami tahu untuk menghidupi panti yang sedang dalam krisis saat itu. Jennie meninggal saat melahirkan kalian berdua, dan setelah tahu siapa Ayah dari kedua bayi itu Rose nekat membawa kalian ke rumah Ayah kalian. Namun tak pernah kembali saat itu, dan saat aku mendapat kabar jika dia disekap selama itu aku merasa menjadi teman yang tidak berguna, aku pikir Rose mengirimi pesan yang sebenarnya saat dia mengatakan bahwa 'aku akan tinggal bersama dengan mereka dan merawat anak-anak' namun ternyata semua salah. Tapi aku bersyukur kalian masih hidup sampai sekarang." Jisoo menatap Haechan dengan senyum di bibirnya, melihat Haechan yang sehat membuat Jisoo yakin kalau dia hidup bahagia.
Ya walaupun tak sepenuhnya benar.
"Boleh aku tahu dimana makamnya?" meskipun Haechan tak pernah melihat ibunya secara langsung, setidaknya Haechan bisa melihat tempat peristirahatan terakhir Ibu kandungnya.
Makam Jennie berada tak jauh dari panti asuhan, hanya perlu waktu sepuluh menit menempuh dengan mobil. Mark, Minhyung, Jaemin, Jeno, Haechan dan Jisoo mengelilingi makam, memberikan salam pada Jennie.
"Lain kali aku akan mengajak Dongsook kemari." ucap Haechan. Dia menatap foto yang ada di batu nisan, cantik, Ibunya sangat cantik. Hati Haechan menangis, tetapi air matanya menolak untuk keluar dia tidak bisa mengekspresikan bagaimana sedih sekarang. Haechan rasa dia sudah menjadi seperti Mark dan Minhyung, dengan hati sekeras batu. Haechan tak pernah melihat keduanya menangis hingga sekarang, Haechan mungkin iya merengek atau mengeluarkan isakan, tapi begitu sulit baginya untuk memaksa air matanya keluar.
"Akan kujaga Dongsook baik-baik." ucap Haechan.
"Bawalah." Jisoo memberikan beberapa foto Jennie pada Haechan,
"Agar kau bisa mengenang Ibumu." ucap Jisoo. Haechan tersenyum dan menerima foto yang diberikan, mereka tak lama berada disana, hanya sekitar sepuluh menit lalu mereka kembali ke panti asuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT XXX (END)
FanfictionSepanjang hidup Haechan berjalan, dia belum pernah bertemu orang seperti Mark. Hati dan sifatnya begitu dingin hingga rasanya Haechan ingin mati saja daripada bersanding dengan Mark. ...