Tidak ada yang bisa Jingga lakukan selain menerima keputusan dari Tuhan. Tentang baik buruk takdir yang telah ditetapkan, juga sedih senang perasaan yang tidak bisa gadis itu jabarkan. Hanya ada hela napas gusar serta langkah-langkah lunglai yang menemani perjalanan gadis itu untuk pulang ke rumah. Hari ini, setelah menerima gaji pertama dari bekerja sambilan di toko roti di sebelah sekolahnya, akhirnya Jingga bisa membeli makanan, meskipun tidak banyak, setidaknya hari ini Jingga dan Bapak tidak akan kelaparan.
Jingga tidak pernah marah atas apa yang telah Tuhan tetapkan. Dengan lahir sebagai anak Bapak, itu sudah hadiah paling indah yang tidak akan Jingga sia-siakan. Bapak cukup sempurna dengan menjadi dirinya sendiri, cukup hebat bisa merawatnya sampai sebesar ini. Untuk itu, sebisa mungkin Jingga tidak akan mengeluh. Jingga adalah satu-satunya sosok yang Bapak punya. Maka, karena Jingga tidak hidup untuk menjadi beban siapa-siapa, biarkan Jingga memberi Bapak kebahagian. Sederhana, Jingga hanya ingin menjadi orang baik untuk sekitarnya, tapi rasaya itu susah sebeb Jingga tidak pandai memulai pertemanan dengan sesamanya.
Tapi, jika dikatakan Jingga tidak punya teman, maka jawabannya adalah salah. Jingga tetap seperti murid SMA pada umumnya. Dia punya teman untuk sekedar berbicara, punya teman untuk bercengkerama. Namun, Jingga memang sedikit berbeda dengan gadis-gadis di sekolahnya.
"Kenapa lo nggak pernah ngeluh?"
Jingga menoleh sekilas. Melirik sosok cowok yang kini tengah mengejar untuk menyamai langkahnya. Lalu, saat langkah cowok itu mulai sejajar dengannya, Jingga menghentikan langkah di sana. Menatap tegas cowok itu yang juga tengah berhenti di sampingnya, menaikkan alis tanda bertanya meskipun seharusnya Jingga yang mempertanyakan kehadiran cowok itu tiba-tiba.
"Maksud gue, sejak semester pertama sekolah, saat itu kelas sepuluh. Gue sering memperhatikan lo dari jauh. Lo selalu datang pagi saat anak-anak yang lain bahkan mungkin belum bangun. Lo selalu ke perpustakaan setiap kali jam istirahat datang. Lo selalu sendirian, nggak punya teman."
"Terus, atas dasar apa lo bicara demikian?"
"Karena gue ingin menjalin pertemanan sama lo," balas cowok itu tanpa pikir panjang.
Lagi-lagi Jingga membanting topik pembicaraan. Melanjutkan jalannya, mengabaikan Satya yang terpaku di tempatnya. Namun, itu tak berselang lama, sebab Satya tetaplah Satya. Si cowok keras kepala yang tidak peduli dengan pendapat orang di sekitarnya. Lalu Satya kembali menarik garis di antara mereka berdua. Jingga yang awalnya benar-benar mengabaikan sosok Laksamana Satya Senandika lantas membeku di sana ketika tanpa aba-aba sebelumnya Satya langsung menarik tubuhnya lalu mendekap erat dirinya di pinggir trotoar.
Kejadian itu membuat Jingga tidak tahu harus apa. Yang pasti, setelah kesadarannya seutuhnya pulih, Jingga langgsung menarik diri. Memberi tatapan paling dingin pada Satya yang juga terdiam menatapnya.
Namun, kejadian itu terjadi tiba-tiba. Saat baru saja Satya hampir membuka suara untuk kembali mengatakan maksudnya, tamparan di pipi kanan cowok itu dari Jingga melayang begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Ficção Adolescente"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...