BAB 1: Seperti Senja

203 40 4
                                    

Ada yang bilang, menjadi senja itu menyenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang bilang, menjadi senja itu menyenangkan. Di mana jingga keemasannya yang indah setiap kali hampir terbenam di kaki cakrawala, yang membuat setiap mata yang memandangnya selalu takjub akan segala apa yang senja punya. Selayaknya senja yang datang tiap menjelang petang, Senja yang ini juga sama indahnya, bahkan mungkin jauh lebih indah dari senja yang sebelumnya. Gadis itu menjadi bisu tiba-tiba, tidak membalas apa-apa meski kini sosok lelaki di depannya sudah bertanya lebih dari sekali padanya.

Tidak tahan melihat bagaimana gadis ini terdiam, sekali lagi Gara melambai-lambai di hadapan Senja. Mengucapkan kalimat yang sama, tapi tetap saja tidak ada balasan dari gadis di depannya.

“Kenapa, sih? Ini lo nggak apa-apa? Ada yang terluka? Gue tadi larinya kencang banget, ya?”
Ini sudah lebih dari sekali Gara bertanya dan Senja belum juga bangun dari lamunannya. Sepasang mata Gara bahkan sudah berkeliling mencari-cari keberadaan gadis yang dicarinya, tapi gara-gara gadis ini, Gara batal mengekori Jingga yang tadi ia lihat keluar dari ruang kepala sekolah.

Pemuda itu berdecak pelan seraya menggaruk belakang kepalanya. Kembali menatap Senja.

“Kayak ngomong sama tembok,” kata Gara sukses membuat Senja tersadar setelahnya.
Senja mengerjapkan mata sambil sesekali memfokuskan penglihatannya.

“Aku nggak apa-apa.”

Suara lirih Senja berhasil menarik perhatian Gara di sana. Pemuda itu mengangkat kedua alisnya. Semakin menatap Senja lebih lama. Kemudian pandangan Gara turun pada siku gadis itu. Ada jejak luka di sana yang darahnya masih basah. Sekali lagi, Gara berdecak karenanya.

“Gue nggak mau merasa bersalah. Ikut gue ke UKS,” kata Gara meraih semua buku yang masih sempat gadis itu bawa di tangannya.
Senja panik saat Gara tiba-tiba menariknya. Wajah gadis itu juga sedikit terlihat khawatir saat kini mulai banyak murid yang memandang ke arahnya. Entah itu tatapan apa, yang pasti Senja tidak suka jika menjadi pusat perhatian tiba-tiba. Gadis itu juga mulai mengedarkan pandangannya di langkah-langkah mereka menuju UKS, berharap ia tidak menemukan keberadaan Satya di manapun.

Senja menurunkan pandangannya, memandangi pergelangan tangannya yang ditarik oleh pemuda ini. Sementara Gara tidak banyak bicara, di pikirannya, Gara hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan ini dan segera mencari keberadaan Jingga yang kini entah di mana.

“Kalau kamu ngerasa bersalah gara-gara nabrak aku tadi, nggak apa-apa. Aku bisa beresin luka ini sendiri. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah dan kita cukup akhiri semua.”

Namun Gara tetaplah Gara, tidak mungkin membiarkan seorang gadis terluka sendirian karenanya. Ini adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai sesama manusia. Karena bagi Gara, manusia bukanlah manusia jika tidak bisa memanusiakan manusia lainnya. Untuk itu, biarkan Gara bertanggung jawab atas kesalahannya pada Senja. Setelah itu, Gara tidak akan lagi muncul di mana-mana selain hanya di hidup Jingga.

Senja duduk di antara brankar-brankar di sana yang pembatasnya sengaja dibuka. Memperhatikan gerakan Gara yang kini tengah mengambil kotak P3K. lalu pemuda itu mulai berjalan mendekatinya, duduk di kursi tepat di hadapannya.

Jendela Rasa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang