Sudah cukup lama saat Satya mulai kembali pada sadarnya. Dan selama itu juga Jingga tetap tidak bicara. Hanya duduk di samping Satya sambil memainkan ponselnya. Juga mengabaikan Satya yang sudah menunjukkan tanda-tanda lelah akibat diamnya Jingga.
Seharusnya Jingga tidak membuka mata saat Satya berkali-kali menarik lengan bajunya. Biarkan saja anak itu heboh sendiri karena tidak bisa apa-apa. Di sini, setelah ternyata wali kelasnya menyarankan dirinya saja yang menjaga Satya sebab Mbak Hana harus kembali ke rumah sakit, pada akhirnya Jingga jadi menyesal karena mengiyakan permintaan gurunya itu.
Jingga melirik Satya sinis sembari menaruh lagi ponselnya di atas meja.
"Lo pura-pura sakit, ya?"
Kedua mata Sarta langsung membola. Lelaki itu juga menggeleng di sana.
"Enak aja nuduh-nuduh!"
Jingga memutar bola matanya malas. Menarik napasnya singkat.
"Lo bisa di rumah aja kalau lagi nggak enak badan. Di sini juga lo sendiri, nggak ada yang peduli."
"Kan, ada elo."
Suara Satya yang kemudian membekukan bisu di sana sukses membuat Jingga tersentak sebelum akhirnya berusaha menahan diri untuk tidak salah tingkah.
"Kakak lo mana?"
"Nggak tahu. Mungkin di kelasnya," jawab Satya acuh. Seolah tak ingin mendengar nama gadis itu.
"Angkasa pasti tahu kalau lo sakit. Kenapa dia nggak ada di sini?"
"Mungkin anaknya lagi sibuk." Lagi-lagi jawaban yang Satya berikan tidak cukup mampu menjawab seluruh pertanyaan Jingga. Seolah-olah jawaban yang datangnya dari Satya bukanlah jawaban yang sebenarnya.
Namun, daripada memikirkan hal yang seharusnya tidak menjadi beban Jingga, gadis itu langsung bangkit dari sana. Tetap dengan wajah datar dan tatapan tajamnya, seperti seharusnya.
"Chat gue kalau lo butuh sesuatu," kata Jingga langsung melengos pergi. Membuat Satya langsung bangkit dan meneriaki nama Jingga lagi.
"Mau ke mana? Lo nggak lihat gue lagi sakit? Lo mau gue sendiri?"
Jingga memelankan langkahnya malas. Gadis itu kemudian berbalik badan lalu menatap Satya lebih dingin di sana.
"Bukannya lo udah biasa sendiri? Jangan manja," jawab Jingga singkat.
Di tempatnya, Satya hampir mengumpat. Akan tetapi, lelaki itu baru mengingat tentang ternyata selama dirinya sakit baru gadis itu saja yang melihatnya. Dan karena hanya Jingga, maka Satya tidak akan terlalu memikirkan kalimat tajam gadis itu padanya.
"Lo udah dapat izin, kan? Terus mau ke mana?" tanya Satya penasaran.
Namun, untuk pertanyaan lelaki itu barusan sepertinya Jingga tidak punya satupun jawaban. Jingga belum menemukan jawaban itu. Jingga harus memastikan sesuatu. Dan setelah Jingga memastikannya, mungkin Jingga baru bisa menjawab pertanyaan dari Satya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Fiksi Remaja"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...