Bukan hanya Gara yang akan marah saat segala yang telah ia susun berantakan tanpa tahu sebabnya apa. Melihat bagaimana kini Ayah berbicara dengan Jingga di depan pintu rumah, hati Gara rasanya begitu panas seolah ada yang terbakar di sana. Raut wajah Ayah saat menatap Jingga jelas sudah menjelaskan semuanya, bahwa tidak ada tanda-tanda hal baik yang Ayah katakan pada gadis itu.
Wajah Jingga juga sama dinginnya, tapi di sana gadis itu tetap berusaha mengukir senyuman semampu yang ia bisa. Karena seperti sebelumnya, sudah pernah Gara katakan, berbicara dengan Ayah itu hanya akan sia-sia.
Cakra—ayah Gara—mulai menatap Jingga cukup lama. Di sana, lelaki itu juga telah berkali-kali menarik napasnya tanda lelah. Jingga tidak tahu kenapa, tapi saat setiap kali menginjakkan kaki di rumah Gara, seperti ada magnet di sana yang akan menghubungkannya dengan seorang Senandung Serenata.
Padahal, sudah pernah Jingga katakan sebelumnya, bahwa ia tidak ingin lagi membawa nama itu dalam setiap topik untuk dia berbicara, tapi Gara dan ayahnya adalah pengecualian. Setiap kali bertemu dengan mereka, selalu ada tanda tanya besar, seolah-olah mereka tahu lebih banyak mengenai jawaban dari segala pertanyaan yang ia simpan.
Cukup lama Jingga menunggu Cakra berbicara, sampai saat ketika gadis itu ingin membelah hening, tiba-tiba suara Gara hadir di antara mereka. Memutus kontak mata antara Cakra dan Jingga di sana.
“Jingga nyari Gara, bukan Ayah. Jadi, ngapain Ayah masih di sini? Kayak masih muda aja,” kata Gara mulai mengomel tanpa henti. Menarik-narik Jingga untuk tidak dekat-dekat dengan Ayah.
Namun, jawaban Ayah serta reaksi Jingga berikutnya cukup mengejutkan Gara yang baru saja berniat untuk membawa Jingga pergi dari rumah.
“Semua yang ada di diri Senandung Serenata, semuanya ada di kamu, Jingga. Sesuatu yang nggak akan pernah kamu duga sebelumnya, itu akan segera tiba.” Tatapan Cakra beralih pada Gara. “Kamu nggak akan bisa jadi yang pertama,” katanya seraya menepuk bahu Gara.
Lalu tatapan Cakra beralih pada Jingga.
“Om nggak bisa kasih kamu apa-apa selain rumah untuk kamu pulang seandainya kamu kehilangan arah. Dulu, mama kamu itu sahabat Om, jadi jangan sungkan untung minta bantuan,” kata Cakra lagi, setelah itu ia pergi. Ada banyak sekali kekhawatiran di mata lelaki dewasa itu setelah menyelesaikan kalimatnya.
Gara tidak lagi bisa berkata-kata. Tidak bergerak sama sekali di tempatnya selain hanya memandangi kepergian Ayah. Sementara Jingga juga sama, sedari tadi, saat pertama kali ayah Gara membuka suara sampai saat sosoknya pergi meninggalkan mereka, otak Jingga seolah bekerja lebih keras. Mencoba memahami kata demi kata yang lelaki itu katakan padanya, meski selama itu juga Jingga tidak menemukan jawaban apa-apa selain hanya tanda tanya tanpa jawaban yang sesungguhnya.
Dua anak manusia itu menolehkan kepala, jadi menatap satu dengan yang lainnya.
“Ngapain lihatin gue kayak gitu?” Jingga bertanya dengan nada kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Novela Juvenil"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...