“Berapa kali aku bilang, tolong jangan pulang malam-malam. Lihat, sekarang kamu demam. Kamu sakit. Kenapa, sih, Sat suka banget lihat Ayah marah? Aku nggak tega setiap lihat kamu dipukulin Ayah.”
“Lo bisa diem nggak, sih? Biasanya juga elo yang buat gue dimarahin Ayah. Sekarang, saat Ayah marah karena kesalahan gue sendiri, seharusnya lo nggak perlu peduli.”
“Kok, ngomong gitu? Aku kakak kamu, ya, wajar kalau aku peduli.”
“Mending lo ke sekolah.”
“Nggak!”
“Nanti Ayah makin marah.”
“Ayah tadi subuh udah berangkat ke luar kota.”
“Terserah.”
“Terus mau makan apa?” tanya Senja sedikit merengek di depan pintu kamar Satya. Gadis dengan piyama biru itu sedikit melangkah maju. Mendekati Satya lalu mengecek suhu tubuh anak itu.
Setiap kali melihat wajah Satya lebam seperti ini, rasanya Senja ingin marah pada Ayah. Senja ingin protes sebanyak yang ia bisa. Mengenai kemarahannya pada Satya yang selalu tidak berdasar, juga mengenai sikap lelaki itu yang selalu kasar. Seolah-olah Satya bukan siapa-siapa padahal kenyataannya, Satya adalah anak kandungnya.
“Bubur mau nggak?”
“Telur ceplok sama nasi anget-anget ada nggak, sih?”
“Oke. Mari kita panggil Bi Intan.”
Satya mendengus keras. Ia pikir, Senja yang akan pergi memasak untuknya. Ternyata, ya, tetap Bi Intan yang akan melakukan itu padanya.
“Gue kira lo yang mau buatin itu untuk gue.”
Lantas Senja menoleh lalu mengerjapkan matanya. Kebingungan.
“Kamu mau aku yang buatin?”
“Nggak usah. Bi Intan aja.”
“Emang mau nyuruh Bi Intan,” balas Senja lagi dengan wajah lugunya. Gadis itu duduk di kursi belajar Satya sambil menyilangkan kaki di sana. Memainkan ponsel miliknya seraya bersenandung kecil entah tengah menyanyikan apa. Yang jelas, kehadiran Senja pagi itu di kamarnya membuat Satya makin ingin marah-marah.
Senja benar-benar hanya duduk diam membisu. Dan kalau boleh memilih, lebih baik gadis itu meninggalkannya sendiri.
“Mending lo pergi, deh. Di sini juga lo nggak ngapa-ngapain, kan? Belajar, deh atau apa kek.”
“Aku belajarnya cuma kalau di sekolah atau pas Ayah lagi di rumah aja. Jangan khawatir, otakku tetap encer, kok.”
Satya hampir mengumpat mendengar jawaban dari Senja.
“Gue makin pusing kalau lo ada di sini. Jadi, mending lo pergi.”
Senja langsung menegakkan tubuhnya. Menatap Satya tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Ficção Adolescente"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...