Jingga juga tidak tahu kenapa kini dia ada di sini, duduk di samping Satya seraya menyaksikan bagaimana anak itu sekarang menangis di sana. Yang Jingga ingat, saat tadi Bapak menyuruhnya meninggalkan ruangan, Jingga melangkah keluar hanya untuk mengecek keadaan, namun ternyata yang ia temukan justru sosok Satya yang tengah beradu mulut dengan ayahnya.
Semuanya tidak sengaja. Kalaupun bisa, Jingga juga tidak ingin menyaksikan kegaduhan di keluarga Senandika.
Ini bukan pertama kalinya Jingga menjadi saksi bagaimana Satya dimarahi ayahnya, bagaimana anak itu ditampar keras di pipinya, juga bagaimana hati anak itu yang mungkin terluka lebih parah. Akan tetapi, Jingga juga tidak bisa pergi tiba-tiba saat keberadaannya sudah terlihat nyata.
“Jadi ini seorang Laksamana Satya yang sebenernya.”
Suara Jingga masih belum berefek apa-apa. Anak lelaki yang kini duduk membelakangi Jingga di taman rumah sakit itu masih tetap terisak, bahunya juga masih terus bergetar di sana. Jingga juga masih mampu mendengar rintihan lirih Satya di belakangnya. Terdengar begitu pilu, tapi Jingga tetap tidak ingin bergerak lebih jauh.
“Gue pikir anaknya pantang menyerah, taunya malah kayak gini.”
“Emang lo pikir gue anaknya kayak gimana? Mental baja?”
Jingga mengendikkan bahunya. Menghela napas panjang saat suara Satya kembali terdengar menyebalkan.
Di sana, Satya mengusap wajahnya begitu kasar. Masih ada jejak tangis di wajah anak itu yang kini memerah. Sementara Jingga tidak lagi banyak bicara, membiarkan Satya perlahan-lahan kembali pada sadarnya.
“Lo kayak hantu, ya. Bisa tiba-tiba muncul kayak tadi. Jangan-jangan lo ngikutin gue lagi. Lo suka, ya, sama gue? Sorry, daripada nanti lo sakit hati, gue bilangin, nih, di sini. Gue nggak tertarik sama cewek yang umurnya lebih tua dari gue,” ucap Satya panjang lebar.
Mendengar itu Jingga sukses ternganga seraya langsung meninju lengan Satya. Mengumpat tanpa suara.
“Seharusnya tadi gue nggak perlu penasaran tentang kegaduhan ruangan di sebelah ruangan Bapak. Ujung-ujungnya ada aja oknum yang kepedean.” Jingga menoleh ke arah Satya. Menatap tajam mata jernih itu di sana. “Sorry, lo bukan Heeseung ENHYPEN. Lo bukan tipe gue,” lanjut Jingga membalas penuh penekanan.
Satya mengerutkan alisnya di sana. Meski selanjutnya pemuda itu kembali mengusap matanya yang berkaca. Membuat Jingga rasanya ingin segera pergi meninggalkannya.
“Gue bawa lo ke sini bukan untuk dengerin dan lihat lo nangis. Jangan nangis,” ucap Jingga bersamaan dengan gadis itu yang langsung membuang wajahnya.
Ada tangan-tangan tak kasat yang kini tengah menyelimuti luka Satya di hatinya. Seolah memberikan obat-obat ajaib sampai rasa sakitnya tersamarkan dan itu hanya karena ucapan Jingga. Satya kembali melirik bagaimana kini Jingga mulai terdiam lama. Lagipula, benar juga apa kata gadis itu, bahwa dia tidak perlu menangis. Bukankah Ayah memang selalu begitu? Seharusnya Satya tidak perlu terlalu menanggapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Ficção Adolescente"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...