🍁🍁🍁
Bukan Satya yang salah. Bukan karena Satya akhirnya Senja tiada. Bukan. Satya hanya ingin Senja kembali membuka mata dan menatap dirinya lebih lama. Malam itu, setelah menerima kabar dari Bi Intan mengenai Senja, Satya langsung mencari kakaknya ke mana-mana. Ke rumah Angkasa, ke tempat di mana biasa Senja menikmati waktunya. Di mana-mana asalnya malam itu Satya mampu menemukan Senja.
Setelah mendapat kabar bahwa Senja hilang dari rumah, Angkasa malam itu langsung panik tiada dua. Anak laki-laki itu segera menghubungi Senja ratusan kali meskipun itu hanya berakhir sia-sia. Senja tidak ada.
Dan ketika mereka berdua mencari Senja ke mana-mana. Pada satu waktu akhirnya Satya mendapat panggilan dari Jingga. Satya masih ingat bagaimana bergetarnya suara Jingga saat mengatakan padanya, bahwa Senja tidak mau bicara, Senja tidak mau menjawab pertanyaannya, Senja tidak lagi membuka mata. Bagaimana takutnya gadis itu berbicara lebih lama sekedar menyampaikan kondisi Senja padanya.
Namun, Satya tidak langsung pergi ke tempat di mana Senja berada. Lelaki itu hanya menyuruh Angkasa agar cepat ke sana dan dirinya ... Satya kembali ke rumah.
Satya pulang untuk menemui Ayah. Dan di sinilah Satya berada. Di hadapan Ayah yang murka karena ia pulang tidak bersama Senja.
"SENJA BELUM MINUM OBATNYA!"
Ayah berteriak nyaring sampai-sampai, Bi Intan yang sudah gemetaran di belakang Satya hampir jatuh di sana.
"SENJA JUGA UDAH NGGAK PERNAH LAGI CUCI DARAH SEBULAN TERAKHIR. APA MENURUTMU ITU HAL YANG SEPELE, SATYA?!"
Satya memilih diam saja. Tidak mau menjawab satupun pertanyaan Ayah. Sebab, kini pikiran Satya juga sudah ke mana-mana. Sudah tidak tenang. Sudah tidak berada di tempatnya.
Semua yang ada di pikiran Satya hanyalah bagaimana keadaan Senja sekarang? Apakah gadis itu baik-baik saja atau justru sebaliknya?
"Senja sekarang pasti mati-matian nahan sakitnya ..."
Suara Ayah kemudian diperdengarkan begitu lirih. Satya yang awalnya ingin berdiam diri jadi tertegun. Satya mengangkat wajah menatap Ayah yang kini mulai berjalan pelan ke kursi meja makan. Di sana, di sepasang mata Ayah, Satya melihat ada begitu banyak ketakutan yang mengelilinginya. Satya melihat ada begitu banyak yang hilang di sana. Satya juga dapat merasakan sakit sebab melihat mata Ayah lebih lama dari biasanya.
"Senja belum pulang ..."
Satya mengepalkan kedua tangannya. Mendengar Ayah berkata demikian, ada dua rasa yang langsung mengalir di relungnya. Rasa pertama adalah rasa takut akan kehilangan Senja, seperti yang juga tengah dirasakan oleh Ayah. Yang kedua, rasa sakit setiap kali Ayah lebih mengkhawatirkan Senja dibanding dia. Rasa sakit yang tidak akan mampu Satya katakan pada semesta bahwa ia sangat terluka setiap kali Ayah melakukannya.
Anak itu tetap diam di tempatnya. Membiarkan Ayah sekali lagi mengatakan Senja belum pulang ke rumah.
"Apa Ayah begitu takut kehilangan Senja?"
Pertanyaan Satya yang kemudian diperdengarkan pada seisi rumah malam itu sukses membuat Ayah menatap dalam pada sepasang mata milik Satya.
"Gimana kalau ternyata Senja udah nggak ada?"
"Jangan bicara sembarangan!"
"Gimana kalau seandainya Senja beneran udah nggak ada di dunia?"
"BERHENTI BICARA SEMBARANGAN!"
Suara Ayah naik satu oktaf, membuat Satya tersentak. Anak itu diam-diam semakin menelan kembali kalimatnya mengenai keadaan Senja. Menepis tangan Bi Intan yang hampir menariknya ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Rasa ✔
Novela Juvenil"Karena yang selalu ada belum tentu abadi selamanya." ... Langit senja tidak pernah punya kata untuk bercerita, akan tetapi ia punya warna sebagai bentuk bagaimana ia berbicara. Tentang bagaimana jingga keemasannya perlahan-lahan turun lalu mulai te...