BAB 15: Lengkara dan Amerta

97 28 2
                                    

Setiap hari, bahkan mungkin setiap detik dalam seminggu terakhir ini, Jingga selalu berangkat pagi-pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap hari, bahkan mungkin setiap detik dalam seminggu terakhir ini, Jingga selalu berangkat pagi-pagi. Jingga ingin kehadirannya di sekolah tidak lagi dilihat oleh orang-orang di sana. Juga, ketika pulang sekolah, Jingga akan jadi yang terakhir pulang ke rumah.

Semua Jingga lakukan semata-mata untuk menyamarkan bayangan Gara. Semata-mata untuk mengaburkan jejak langkah lelaki itu di hidupnya yang setiap hari justru semakin terasa nyata.

Tuhan, kenapa di setiap napas yang Jingga hembuskan selalu ada Gara? Seolah lelaki itu hidup di relungnya, abadi di sana untuk waktu yang sangat lama.

Jangan takut saat seluruh bintang di langit ninggalin lo. Percaya, deh, pasti masih ada satu terang yang memilih tinggal sendirian buat nungguin lo menyambut kehadirannya.

“Gue maunya elo yang menyambut gue.”

Berterima kasih karena kehadiran lo, hidup gue jadi banyak warnanya. Yang tadinya cuma ada warna abu-abu, sekarang jadi kayak pelangi, jadi me-ji-ku-hi-bi-ni-u.

“Harusnya gue yang ngomong kayak gitu ke elo.”

Jingga, kita itu ibarat sepasang mata yang tiada lengkap tanpa salah satunya. Dan gue harap, sekalipun gue nggak bisa jadi yang pertama, gue mau jadi yang terakhir. Jadi yang selalu ada dan nggak akan ke mana-mana.

“Tapi sekarang lo udah nggak ada, Gara. Gue harus apa saat lo bahkan udah nggak akan pernah lagi gue temukan di mana-mana?”

Tada. Nasi goreng spesial buatan Sagara. Khusus untuk Jingganya.

"Gue nggak bisa denger suara lo lagi. Gue ... kenapa gue ngerasa sangat kehilangan lo, Gar? Lo bukan siapa-siapa. Lo cuma orang yang kebetulan datang saat gue kesepian, tapi kenapa saat lo nggak ada, gue kesusahan?" Jingga memukul-mukul dadanya. Berjongkok di sudut kamar dengan lampu yang sengaja padam. "Di sini sakit banget rasanya ..."

Kemudian suara Jingga tidak lagi terdengar di mana-mana. Hanya ada rintihan pilu gadis itu saja yang semakin menyayat hati siapa saja yang mendengarnya, dan jika orang itu Gara, mungkin Gara akan menghentikan detak semesta yang membuat Jingga terluka. Akan tetapi, Gara sudah tidak ada.

Gara sudah tidak akan pernah datang lagi sekalipun Jingga terluka jauh lebih parah.

Di dunia ini, ketika Jingga mulai menemukan sosok yang menerima kehadirannya selain Bapak, kenapa sosok itu hanya sementara saja? Kenapa Gara tidak bisa lama ada di hidupnya?

Kenapa?

Jingga semakin menenggelamkan wajahnya di sana. Tidak ada lagi kata yang sanggup gadis itu katakan. Seolah-olah setelah Gara hilang, hidup Jingga ikut berlubang. Ada kekosongan di lembar kisah Jingga yang bahkan nama Gara belum sempat ia tuliskan di sana.

"Sakit banget, Gara ..."

"Kenapa lo buat gue kayak gini?"

"Gara, kenapa lo pergi?"

Jendela Rasa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang