Juni tidak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua, bagaimana rasanya menyebut seseorang yang bisa dia panggil dengan sebutan bunda, bagaimana hangatnya pelukan seorang ayah. Dulu, ketika usianya tiga tahun, Juni hampir memiliki orang tua asuh, tetapi Tuhan berkata lain pada takdirnya. Entah itu cara Tuhan mempertemukannya pada keluarga Jo, ataupun memang sudah nasib Juni yang begini.Ketika usianya tiga tahun dan hendak pulang ke rumah barunya, mobil yang ditumpangi oleh Juni mengalami kecelakaan yang cukup dasyat, dan hal itulah penyebab Juni tak bisa jalan hingga sekarang. Awalnya Juni tidak mengerti apa yang terjadi pada kakinya, tetapi lambat laun anak itu akhirnya paham. Bahwa dia tak akan pernah bisa lagi menggunakan kedua kakinya untuk berjalan. Juni hampir saja pasrah dengan nasibnya, bahkan dia ikhlas bila harus tinggal di panti selamanya. Lagi pula siapa yang mau mengurus orang cacat seperti dirinya, sih? Akan tetapi, opininya itu berhasil dipatahkan oleh takdir. Saat usianya delapan tahun, di mana ia sibuk dengan kertas konstelasinya, sepasang suami istri datang menghampiri.
Ibuk panti bilang, mereka juga merupakan donatur tetap di panti tempat Juni tinggal. Kala orang lain menatap bocah delapan tahun itu dengan sebelah mata, kedua orang tua Jo dengan sukarela meraih tangannya dan memberinya tempat untuk bersandar. Percakapan mereka di sore hari yang cerah itu tak akan pernah Juni lupakan.
"Hai, jagoan, kamu sedang apa?" tanya ayah Jo kala itu dengan senyuman terpatri indah di bibirnya.
Juni sempat terperangah beberapa saat, namun akhirnya dia tersenyum jua."Aku nggak lagi ngapa-ngapain om, cuma lagi ngafalin bentuk-bentuk konstelasi bintang," balasnya semangat.
Ayah Jo tersenyum hangat, lantas menepuk-nepuk puncak kepala Juni dengan pelan. "Ngeliat kamu jadi ngingetin om sama anak di rumah. Namanya Jo. Hobinya belajar, persis kayak kamu." Juni tersipu malu kala mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang pria yang sekarang ia panggil dengan sebutan ayah."Jo selalu bilang pengen punya temen yang seumuran, dia nggak mau adik bayi. Katanya adik bayi itu nggak asyik, soalnya nggak bisa diajak main," kata bunda Jo ikut menimpali. Wanita yang wanginya seperti aroma strawberry itu tersenyum dan ikut berjongkok di sebelah suaminya.
"Juni pengen punya keluarga?" tanya sepasang suami istri itu secara bersamaan, mereka bahkan saling menoleh kaget.
"Keluarga? Juni pengen, tapi siapa yang mau ngurus anak cacat kayak Juni?" tanyanya sendu.
Bunda Jo menatap Juni teduh, ia membelai surai hitam anak itu dengan lembut. "Juni nggak boleh ngomong kayak gitu, siapa bilang nggak ada yang mau ngurus Juni?" tukas wanita itu sembari tersenyum.
Bunda menggenggam kelima jari-jemari Juni dengan erat, mengelus-ngelusnya dengan rasa sayang. "Kalau Juni enggak keberatan, Juni bisa ikut tinggal bareng ayah, bunda, juga Jo." Mendengar kata ayah dan bunda disebutkan, Juni mendongak. Kedua netranya berkaca-kaca.
"Kenapa tante bilang gitu? Juni boleh manggil om sama tante ayah dan bunda?" tanya anak itu begitu polosnya.
Bunda Jo semakin erat menggenggam tangan milik Juni, pun dengan ayah yang memeluknya erat."Ayah udah lama merhatiin Juni, dan bagi ayah, Juni itu istimewa. Makanya ayah sama bunda mau ngangkat Juni jadi bagian dari keluarga kecil kami. Juni mau, kan?"
Anak kecil itu sukses terdiam, genggaman dan pelukan dari kedua orang tua Jo menghangatkan hatinya. Juni pikir, sampai tua dan mati pun ia akan terperangkap di tempat ini, tanpa tahu bagaimana rasanya memiliki kedua orang tua ataupun bertengkar dengan saudara. Juni pun menangis.
"Juni mau, punya orang tua salah satu mimpi Juni dari dulu."Begitulah cara dia dan orang tua Jo bertemu. Jika seandainya kecelakaan yang mengerikan itu tidak pernah menimpanya, akankah Juni bertemu dengan Jo dan keluarganya? Akankah semuanya terasa sama seperti apa yang dia rasakan sekarang?
Juni bahkan tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya pada keluarga Jo. Orang tua anak itu selalu menganggap dirinya dan Jo sama, selalu memperlakukan dirinya selayaknya seorang anak. Begitu pun dengan Jo yang setiap malam mau susah payah menggendongnya menaiki tangga, padahal Juni sadar kalau badannya tidak seringan itu. Juni sayang Jo, begitu pun sebaliknya. Hidup di keluarga ini merupakan anugerah yang tak boleh ia sia-siakan. Biarpun dia tak bisa berjalan, tetapi Tuhan tak mungkin menciptakannya sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara Juniar (SELESAI)
Short StoryBagi Juni, satu-satunya hal favorit dalam hidupnya adalah mengamati dirgantara yang dihiasi oleh ribuan bintang. Dan jika bisa, ia ingin berbaring di atas sana setiap hari.