Juni dan Ayah Sasha

120 21 0
                                    


Hari ini selepas dari Jingga Baskara, Sasha mengejak Juni untuk mampir ke rumahnya. Sasha bilang, pengen kenalin Juni sama ayah. Kata Sasha lagi, ayah dan Juni itu sama. Sama-sama suka astronomi, ayah Sasha yang merupakan seorang dosen astronomi di salah satu universitas swasta juga memiliki teleskop yang selalu ayah taruh di tempat khusus. Ayah menyebutnya rumah bintang, sebuah rumah pohon yang berada di taman belakang rumah Sasha.

Mendengar cerita Sasha, Juni terlihat amat sangat tertarik. Jika mereka bertemu, pasti ngomongnya bakalan nyambung, kan?

"Gue selalu ceritain lo ke ayah, dan ayah bilang, kapan-kapan pengen ketemu sama lo," kata Sasha sebelum membuka pintu mobil, mereka sudah sampai, dan ternyata lokasi rumah Sasha tidak terlalu jauh dari lokasi Jingga Baskara.

"Bang Satria, bantuin Juni turun dong," tukas gadis itu setelah berada di luar mobil kepada Satria yang merupakan supir pribadi Juni dan Jo.

Ketika Juni baru saja keluar dari mobil, ia kaget melihat rumah Sasha yang ternyata jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Tidak heran, sih. Sekolah tempat Jo menempuh pendidikan, kan termasuk sekolah elite, isinya kalau bukan anak-anak yang berprestasi, ya anak-anak orang kaya seperti Sasha dan Jo. Tujuannya ya biar kalau mau masuk perguruan tinggi enggak terlalu sulit, soalnya sekolah lumayan menjamin hal itu. Alumni-alumni dari sekolah itu pun banyak yang lulus di PTN-PTN bergengsi di Indonesia.

"Rumah lo gede," kata Juni.

Sasha hanya tersenyum kecut, sembari mendorong kursi roda milik Juni, gadis itu berkata, "buat apa rumah gede-gede kalo isinya cuma gue? Enakan rumah lo, Jun."

"Emang lo nggak punya saudara?" tanya Juni balik bertanya. Kalau jadi Sasha Juni juga nggak bakalan suka tinggal di sini.

"Gue anak tunggal. Jadi, ya gitu," balas Sasha mengendikkan bahunya. "Gue pernah nyaranin ayah buat adopsi anak, tapi bunda nggak ngizinin, kata bunda, ngurus satu aja udah pusing, mau ditambah lagi."

"Mungkin emang ribet. Lagi pula enggak semua orang tua itu pengen ngurus anak orang lain, Sha," kata Juni mengangguk.

"Kalau masih anak-anak, mungkin iya emang ribet, tapi kalau udah sebaya gue?"

Juni menghela napasnya pasrah. Mungkin Sasha enggak terlalu paham. Enggak semua anak-anak di panti asuhan itu berkelakuan baik, bahkan beberapa dari mereka kebanyakan tidak tahu diri, Juni dan Arya jelas pengecualian.

"Gue bocorin satu rahasia, kalau mau adopsi anak itu, bagusnya dari kecil, kalau udah sebaya lo agak susah, Sha."

"Susah dari mana? Bukannya kalau udah segede gue ngaturnya juga enggak susah, kan?"

Juni tertawa, pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Di Jingga Baskara, anak-anak yang seusia kita banyak yang balik lagi."

"Kenapa?" tanya Sasha penasaran.

"Karena udah masuk usia remaja, jadinya susah diatur. Kelakuan mereka juga enggak semuanya baik," kata Juni menjelaskan dengan tenang. "Remaja itu pada dasarnya pemberontak, Sha. Kalau enggak dibimbing dengan baik, ya mereka bisa tersesat."

••

Juni memeriksa smartphonenya begitu merasakan benda itu bergetar di dalam saku celananya. Sebuah pesan dari Jo muncul di layar depan begitu benda itu dihidupkan.

Juni, lo di mana? Kalau mau keluar bilang dulu kek sama gue 😾

Rumah Sasha.

Juni membalas pesan itu sambil tersenyum. Menurutnya Jo itu sangat lucu, jika dia tengah kesal pada Juni, pemuda itu akan mengirimi pesan dengan emot kucing marah di belakang pesannya. Padahal Jo sendiri alergi dengan bulu binatang lucu itu. Akan tetapi, kecintaannya pada kucing memang tak dapat dipungkiri. Jika bunda tidak melarang, mungkin di rumah mereka sudah pelihara kucing.

"Ayah, ini Juni!"

Ketika mendengar teriakan suara Sasha, Juni buru-buru mengalihkan perhatiannya pada pria paruh baya tersebut. Mereka sama-sama terpaku ketika saling melirik satu sama lain. Spontan Juni mengeluarkan air matanya. Sumber sedihnya itu berasal dari dalam hatinya. Kapan terakhir mereka bertemu?

Perlahan ingatan Juni yang berasal dari masa lalunya naik lagi ke permukaan. Bahkan tercetak dengan sangat jelas.

"Juni gedenya mau jadi apa?"

"Aku mau jadi astronout, pak."

"Bagus, bapak dukung cita-cita kamu."

"Bapak, Juni enggak bisa jadi astronout, kata dokter. Kaki Juni enggak bisa dipake lagi buat jalan. Kalo tanpa kaki, Juni mana bisa jalan di atas bulan."

"Bisa kok, lagi pula kita nggak bisa jalan di atas bulan, Juni, di luar angkasa, kan nggak ada gravitasi."

Juni mengusap air matanya ketika melihat Sasha menghampiri dirinya. Juni nggak mau ditanya nangis karena apa.

"Bapak," panggil Juni spontan. Sasha yang mendengar itu menoleh keheranan. Bapak?

"Hai Juni, lama nggak ketemu," sapa pria paruh baya tersebut seraya tersenyum. Seperti kebiasaannya dulu, pria itu mengusap rambut Juni dengan lembut.

"Ayah sama Juni udah saling kenal?" tanya gadis itu kebingungan. Jika mereka saling mengenal, kenapa ayah bertingkah seolah tak mengenal Juni kala Sasha bercerita?

"Kamu belum tau, ya? Dulu, sebelum kamu lahir, ayah sering ke Jingga Baskara ketemu sama Juni."

"Ayah baru cerita," balas Sasha agak kecewa.

"Ayah lupa, maaf ya sayang," balas pria itu sambil tertawa.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang