Juni Lebih Beruntung

176 28 0
                                    


Arya dan Juni itu sama, mereka sama-sama terlantar di Jingga Baskara tanpa tahu siapa orang tua mereka. Mungkin karena itulah mereka saling mengerti satu sama lain. Bahkan di Jingga Baskara mereka memilih untuk tidur seranjang berdua, kadang mandi bareng juga. Pokoknya di mana ada Juni, di sana ada Arya. Begitu pun sebaliknya. Alih-alih sebagai teman, mereka terlihat seperti saudara.

Arya suka menggambar, itu hobinya sedari dulu, dan Juni suka ilmu perbintangan. Mereka berdua sama-sama punya mimpi. Arya bilang, dia pengen jadi pelukis terkenal kayak Vincent Van Gogh yang lukisannya dikenal di mana-mana. Bahkan sekarang nama itu pun masih eksis di kalangan pecinta lukisan. Kalau Juni, dia bilang pengen jadi astronout, Juni pengen liat bintang-bintang lebih dekat, menurutnya astronout itu keren, bisa menjelajah di angkasa dan mendarat di bulan. 

Akan tetapi, itu dulu. Sebelum Juni mengalami kecelakaan hebat di usianya yang ke tiga tahun. Sebelum Arya pergi dari panti dan tak pernah kembali lagi. Mimpi Juni terkubur bersama dengan harapan-harapannya yang sudah mati, dan Arya? Juni tidak tahu, dia harap teman yang sudah dianggapnya seperti saudara itu masih melanjutkan mimpinya. 

Kehadiran Arya sangat penting bagi Juni, setelah kecelakaan yang menyebabkan ia tak bisa jalan, hanya Arya yang mau berteman dengannya. Kala teman-teman panti mengolok-ngoloknya, Arya dengan suka rela menjadi pelindungnya. Layaknya seorang abang kepada adiknya. Oleh sebab itulah, ketika Arya diadopsi di usianya yang ke-7 tahun Juni sangat sedih, tetapi Arya berhasil meyakinkannya untuk saling terhubung walau mereka tak lagi serumah. 

Lalu hari ini mereka bertemu kembali, tidak seperti pertemuan yang dia harapkan, tetapi dengan begitu Juni sudah senang. Setidaknya dia tahu bahwa anak itu masih ada di bumi. 

"Jo, yang tadi itu Arya. Orang yang selalu gue ceritain ke elo," ujar Juni seraya menilik ke arah Jo yang tengah sibuk dengan kentang gorengnya. 

"Tapi anaknya enggak sebaik yang lo ceritain. Anaknya galak, jutek pula," kata Jo masih kesal dengan kejadian di travelator tadi. 

"Mungkin dia enggak lagi baik-baik aja, tapi gue seneng. Seenggaknya dia masih ngelukis, persis kayak dulu." 

Juni tersenyum kala mengingat bagaimana bahagianya anak itu jika berhadapan dengan kanvas, kuas, dan juga cat air. Agak berlebihan, tetapi Arya terlihat jauh lebih hidup ketika dia sedang menggambar. Sama halnya seperti Juni ketika mengamati bintang-bintang di atas sana. 

"Jo, apa yang lo rasain kalo lagi belajar?" tanya Juni tiba-tiba. 

Jo menutup buku yang barusan ia baca, lantas mengamati Juni seraya berpikir keras. 

"Bahagia?" jawabnya terlihat ragu. 

"Cuma itu?" 

Jo menggeleng. "Gue enggak tau definisiinnya gimana, tapi gue ngerasa kayak punya tujuan dalam hidup. Kalo enggak belajar tuh rasanya hampa. Kayak jiwa gue mati rasanya." 

"Itu yang gue rasain kalau lagi ngamatin bintang-bintang Jo. Rasanya kayak lebih hidup nggak, sih?" 

Jo menjentikkan ibu jarinya. Itu kalimat yang dia maksud. "Kayak lebih hidup." 

°°°

"Ayah, jangan robek lukisan Arya!" 

"Sudah berapa kali saya bilang? Saya enggak suka liat kamu ngelukis. Saya adopsi kamu bukan untuk jadi seniman yang nggak punya masa depan!" 

"Tapi Arya pengen jadi pelukis kayak Van Gogh, Ayah!" 

"Enggak usah mimpi kamu, sekarang kamu ke ruangan ayah, pelajari buku-buku yang ayah beliin buat kamu."

"Ayah, Arya capek, Arya pengen ngelukis." 

Suara petir yang tiba-tiba menyambar menyadarkan Arya dari lamunannya yang menyakitkan. Arya benci Jingga Baskara karena tempat itu yang membuatnya bertemu dengan ayah, tempat itu yang membuat nasibnya malang seperti sekarang. Tidak ada kuas, tidak ada kanvas, dan tidak ada cat warna, yang ada hanyalah setumpuk buku yang berhubungan dengan hukum. Arya benci mengakui ini, tetapi sedari dulu dia memang tak suka belajar. Otak Arya tak sepintar anak ayah yang sekarang menempuh pendidikannya di Fakultas Kedokteran salah satu Universitas Ternama di Indonesia. 

Arya pikir, hanya dia dan ayah yang tinggal serumah. Awalnya baik-baik saja, ayah masih mendukung kesukaannya dalam melukis. Hingga tiba-tiba dia datang, mengubah segalanya. Semenjak itulah, ayah memaksanya untuk mempelajari buku-buku tentang hukum. 

"Kamu harus kayak abang kamu. Bisa banggain ayah," kata ayah waktu itu. Rasanya sakit dan juga sesak. Kenapa harus abang yang jadi patokan hidupnya? Kenapa harus dia? 

"Kamu itu harus ikutin apa kata ayah, kalau bukan karena saya, kamu nggak bisa hidup enak kayak sekarang." 

Arya sadar, ia hanyalah seorang anak adopsi yang ada hanya untuk menjadi boneka ayahnya. Memenuhi ekspektasi pria tersebut yang sering kali ketinggian. Pokoknya apa pun kata ayah, harus Arya ikuti. 

"Juni, gue capek hidup kayak gini. Hidup gue dari awal kayaknya emang nggak beruntung deh. Gimana elo sendiri? Kayaknya baik-baik aja, ya?" lirih Arya seraya mengusap air matanya. Sebenarnya ketika bertemu Juni tadi ia amat senang, tetapi kala melihat kehidupan Juni jauh lebih baik darinya, ia cemburu pada anak itu, dan amarah tiba-tiba saja menguasai dirinya.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang