Pada keesokan paginya, Jo mulai mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak. Jo hanya mengemasi pakaiannya, buku-buku penting miliknya, dan beberapa dokumen penting. Selebihnya ditinggalkan begitu saja, karena sampai kapan pun, rumah ini tetap menjadi hak milik mereka berdua. Jo akan kembali lagi ke sini, dan ia telah berjanji pada Juni."Lo sampe kelupaan bawa ini," tukas Juni seraya menunjukkan foto keluarganya, di pigura tersebut ada Jo, Juni, dan juga ayah bunda yang terlihat sangat bahagia. "Itu pun kalau lo mau bawa, sih," balas Juni lagi sambil tersenyum.
Jo menilik pigura foto tersebut, kenang-kenangan yang berharga ini tak mungkin ia tinggalkan begitu saja, Jo akan membawanya, sekaligus sebagai pengingat bahwa dia pernah memiliki keluarga kecil yang bahagia.
"Gue bakalan bawa itu. Makasih, Jun."
Juni mengangguk. Remaja itu pun turut membantu mengemasi beberapa barang milik Jo yang masih tertinggal.
"Nanti di sana, jangan lupa kabari gue terus ya, Jo. Buku-buku lo jangan sampe rusak dan hilang lagi, soalnya nggak ada gue yang bantu sampulin," ujar Juni sembari tertawa. Ia bermaksud bercanda agar suasananya tidak terlalu sendu dan menyedihkan.
"Tahun depan kita udah kelas 12, sampai kita lulus tunggu gue ya, Jun. Gue bakalan balik lagi ke sini. Lo juga harus baik-baik sama ayah lo. Mari kita saling menguatkan diri dari jauh."
"Iya, kata-kata lo bakalan gue pegang."
Selepas membantu Jo, Juni mendorong kursi rodanya ke balkon, menikmati silir angin yang terasa lebih sejuk dari biasanya. Pemuda itu menghembuskan napasnya kasar. Setelah itu, mengambil smartphonenya dan menghubungi nomor seseorang.
"Halo, Sha. Tolong sampein ke bapak, gue mau pulang."
"Oke," balas Sasha seraya memutuskan teleponnya. Pesan Juni akan Sasha sampaikan pada ayah. Jika pun pada akhirnya Juni memilih untuk tinggal dengan keluarganya. Sasha akan menerima dengan lapang dada. Biar bagaimana pun Juni tetap saudaranya, kan? Darah ayah sama-sama mengalir di tubuh mereka berdua.
"Juni, maaf karena gue berkhianat sama lo. Maaf karena gue biarin lo jatuh sendirian."
Juni memutar kursi rodanya, ia menatap Jo tersenyum simpul.
"Jangan bikin perpisahan ini jadi tambah sulit, Jo. Ngelepasin lo aja rasanya berat. Gue nggak bisa. Delapan tahun kita selalu sama-sama, dan harus berpisah dengan cara yang kayak gini. Lo pergi jauh entah ke mana, sedangkan gue akan terus di sini nunggu lo pulang. Terkadang hidup itu emang bajingan."
"Sejujurnya gue masih pengen di sini bareng lo, berjuang sama-sama, tapi gue enggak seyakin itu. Gue enggak bisa kayak lo yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Gue masih butuh topangan untuk hidup gue, dan orangnya bukan lo."
"Gue paham Jo, gue ngerti. Kalau lo yakin dengan pilihan lo yang sekarang, ambil kesempatan itu, Jo. Jangan sampai lo menyesal nantinya."
"Gue yakin, tapi ketika gue liat lo. Rasanya ada kawat besi yang ngikat kedua kaki gue. Ada sembilu yang merobek hati gue. Rasanya sakit, Jun, dan sekarang pun gue ngerasa nggak mampu. Ayah sama bunda udah nggak ada. Gue cuma punya lo, dan lo pun begitu."
Inget pesen gue, Jo. Untuk mendapatkan sesuatu, lo harus rela kehilangan sesuatu juga. Emang ada yang seharusnya lo korbanin, karena hidup emang kayak gitu. Berjalan nggak sesuai dengan apa yang kita inginkan, dan jika Tuhan itu emang sangat baik. Mungkin jalan kayak gini yang terbaik untuk kita. Kendatipun gue bukanlah seorang hamba yang taat, tapi gue percaya sama takdir Tuhan."
Jo mengangguk, taruna itu amat sangat paham maksud dari perkataan Juni barusan. Juni sudah mengikhlaskan segalanya, termasuk membiarkan Jo untuk memilih jalannya sendiri, dan Juni pun akan begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara Juniar (SELESAI)
Short StoryBagi Juni, satu-satunya hal favorit dalam hidupnya adalah mengamati dirgantara yang dihiasi oleh ribuan bintang. Dan jika bisa, ia ingin berbaring di atas sana setiap hari.