Juni itu Berharga

159 22 0
                                    


Cinta pada pandangan pertama menurut Juni sangatlah konyol, dulu. Sebelum ia mengenal seorang gadis bernama Sasha. Teman Jo yang pernah dibawa anak itu ke rumah, teman Jo yang pernah bikin Juni salah paham. Semenjak hari itu, Sasha sering main ke rumah, entah untuk mengobrol santai atau sekadar belajar bareng Jo. Juni jatuh cinta, mungkin saja. Ia sendiri tak terlalu yakin. Dan hari ini pun Sasha datang lagi, kali ini bukan dengan tumpukan buku-bukunya, melainkan seperangkat alat lukis yang gadis itu bawa dari rumah. 

"Kenapa lo liat gue kayak gitu?" tanya Sasha pada Juni yang sedari tadi menatapnya aneh. Cowok itu memangnya kenapa? 

"Lo sama Jo ada projek ngelukis dari sekolah?" tanya Juni penasaran. Pasalnya, beberapa hari yang lalu, Jo juga membeli seperangkat alat lukis. Katanya tugas dari sekolah. 

"Iya, tapi udah selesai, gue ke sini cuma pengen ngelukis aja. Ngelukis imajinasi gue," jawabnya dengan nada rendah yang nyaris tak terdengar. 

Juni mengangkat sebelah alisnya, merasa ada yang aneh dengan Sasha. Tak biasanya gadis itu bersikap seperti ini. 

"Kenapa?" 

Sasha mengangkat wajahnya. Mendongak menilik Juni yang kini menatapnya lamat. 

"Kalau bukan tugas sekolah, gue enggak dibolehin ngelukis lagi. Ayah enggak suka," katanya sendu. 

Juni jelas berempati, dia pikir gadis seperti Sasha yang terlihat begitu dirawat oleh orang tuanya bebas melakukan apa yang dia inginkan. 

"Kenapa enggak boleh?" 

"Kata ayah entar gue nggak rajin lagi belajarnya. Padahal gue bisa bagi waktu buat ngelukis sama belajar, tapi ayah nggak percaya sama gue." 

Juni menghela napasnya. Dia tak bisa ikut campur jika masalahnya berhubungan dengan keluarga. Berbeda dengan Sasha, orang tua Jo tidak pernah melarang apa yang ingin Jo lakukan selain belajar. Jo diperbolehkan bermain musik. Selain Jo, Juni juga diperbolehkan bermain game asal masih tahu batasannya saja. 

"Ya udah ngelukis aja," kata Juni seraya tersenyum. 

Sasha mengangguk, wajah gadis itu seketika berseri. Raut bahagia jelas terpancar dari netranya. 

"Gue pinjem halaman belakang, ya, Jun? Di sana bikin gue nyaman, rasanya damai." 

Juni mengangguk. Halaman belakang rumahnya boleh dipakai oleh siapa saja. Toh, tujuan orang tua Jo membuat halaman belakang senyaman itu memang untuk bersantai. 

"Eh, Jo ke mana? Tumben nggak keliatan," tukas Sasha baru menyadari tidak ada Jo di rumah. Biasanya Juni dan Jo itu sepaket, di mana ada Juni di sana ada Jo, dan begitu sebaliknya. 

"Rumah sakit sama bunda, periksa mata katanya." 

Sasha mengangguk. "Bunda lo enggak penelitian?" 

"Sekarang enggak, tapi dua hari lagi ada," balas Juni tersenyum. Bunda merupakan salah satu dosen di sebuah universitas swasta, dan biasanya sibuk pergi penelitian karena bunda suka meneliti katanya, sedangkan ayah orang sibuk yang jarang ada di rumah. Jadi, jika ayah sama bunda nggak ada, di rumah cuma ada Jo sama Juni. Juni enggak bisa ngebayangin gimana seandainya dia nggak jadi salah satu penghuni rumah ini. Jo pasti ngerasa kesepian.

"Kalian kalo cuma berdua di rumah, nggak ngerasa sepi gitu?" 

"Kadang sih iya, tapi udah biasa. Lagian nih rumah nggak pernah sepi. Gue sama Jo suka ribut kalo lagi berdua di rumah." 

Sasha tertawa, dia pikir Jo dan Juni rukun kalau di rumah, tapi ternyata sama aja kayak saudara-saudara lainnya. 

"Gue pengen deh punya saudara, andai gue punya," tukas Sasha tersenyum getir. Kadang kala kalau kedua orang tuanya sibuk, Sasha kesepian di rumah, memang sih ada asisten rumah tangga, tapi rasanya sepi aja. 

"Kalau bukan kebaikan hati orang tua Jo, gue juga nggak punya saudara, sih, Sha. Gue ini anak yang malang, dibuang dari gue lahir. Nggak bisa jalan. Sebatang kara lagi." 

Sasha tercenung, tanpa sadar gadis itu mengelus punggung tangan Juni dengan lembut. Dia memang nggak tau gimana rasanya jadi Juni, tapi dia bisa paham rasa sedih yang menimpa anak itu. 

"Lo tau, Jun? Gue seneng deh lo bertahan sampe sekarang. Lo itu kadang bisa bikin orang-orang di sekitar lo bahagia. Makasih, ya?" 

Juni memalingkan wajahnya seraya tertawa. Sebenarnya dia malu plus ngerasa senang denger penuturan Sasha barusan. Cuma pura-pura kalem aja biar enggak kentara banget malunya.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang