Perihal Masalah Hati

196 30 0
                                    

Pada sore hari yang dihiasi oleh langit mendung, Jo dan Juni duduk di beranda belakang rumah, ditemani suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di tengah-tengah halaman belakang. Jo duduk di depan pintu dengan memangku gitar di perutnya, sedangkan Juni duduk di atas kursi roda seraya membersihkan lensa teleskopnya. Sesekali netra taruna itu menoleh pada Jo yang tengah memetik senar gitarnya dengan pelan.

"Harusnya cewek yang lo sukai merasa beruntung, beruntung karena disukai oleh seorang Jo yang bahkan lebih mementingkan belajar dari apa pun," ujar Juni tiba-tiba. Jo seketika menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada Juni dengan kening berkerut.

"Kenapa gitu?"

"Soalnya gue ngerasa gitu. Kalau gue cewek, dan disukai cowok kayak lo ... gue ngerasa beruntung Jo."

Jo sukses terdiam atas kalimat yang barusan dilontarkan oleh Juni, biarpun itu Juni, tetap saja ia merasa malu dan salah tingkah dibuatnya.

"Ngaco," balas Jo sembari terkekeh. Taruna itu bangkit dari tempatnya dan menyeret sebuah kursi, lantas menaruh benda itu di sebelah kursi roda milik Juni.

"Jadi, lo masih suka dia?" tanya Juni penasaran, sejujurnya ia heran. Apa yang membuat Jo menyukai gadis seperti Ares? Bagi Juni, tak ada yang menarik pada diri gadis itu selain wajah mungilnya yang kelihatan lucu, dan juga sebuah lesung di pipi kiri gadis itu yang terlihat jika ia tersenyum.
Saudaranya itu sempat terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghirup udara dalam-dalam, lantas membuangnya perlahan lewat hidung dengan sedikit agak kasar. Juni tahu, bahwa Jo dalam sebuah tekanan sekarang.

"Namanya juga jatuh hati, ya bisa sama siapa aja," balas Jo akhirnya. Biarpun Jo terlihat seperti anak culun, tetapi ia tak selugu itu jika menyangkut soal perasaan.

"Berarti kalo gitu bisa jatuh ke cowok juga dong, lo biseksual, ya?" tanya Juni sedikit mendorong kepalanya ke belakang.

"SEMBARANGAN, enggak begitu konsepnya, Jun. Lo mana paham."
Juni terkekeh, senang sekali rasanya menggoda Jo seperti itu, tetapi apa yang dikatakan Juni tidak salah, kan? Kalimat Jo saja yang ambigu, walaupun sebenarnya ia paham maksud dari lelaki itu.

"Ya, lo yang bilang bisa sama siapa aja. Kalau lo jawab karena senyum Ares manis gue bisa terima, sih."

"Bukan begitu maksud gue, Jun." Jo menghela napasnya. "Lo enggak bisa kontrol hati lo bisa suka sama siapa aja. Dalam kasus gue, karena gue seorang heteroseksual, gue bisa jatuh hati sama cewek mana pun. Gitu."

"Lemah banget hati lo, masa bisa jatuh cinta ke siapa aja."

Jo berdecak, lama-lama ia jengkel juga meladeni saudaranya ini. "Emang lo bisa kontrol hati lo suka sama siapa aja? Kalau emang bisa, nggak bakalan ada tuh kasus di mana dia ngeliat lawan jenisnya di hari pertama ketemu langsung jatuh hati."

Juni menggeleng, ia punya alasan kenapa tidak menyetujui kalimat Jo barusan. Juni pikir, Jo bukanlah orang yang percaya sama yang begituan, taunya sama aja.

"Lo percaya dengan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?"

"Percaya," balas Jo seraya menganggukkan kepalanya. "Emang lo nggak percaya?" tanya Jo penasaran.
Dengan cepat Juni menggeleng, baginya itu adalah  hal yang sangat konyol.

"Menurut gue, jatuh cinta pada pandangan pertama itu nggak ada. Bisa aja pas lo liat seseorang untuk  pertama kalinya dan langsung jatuh hati, bisa jadi dia termasuk tipe yang selama ini lo cari-cari. Makanya pas ketemu dia lo langsung suka sama dia."

Jo tercenung, lima menit lamanya. Perkataan Juni barusan sangat masuk akal, dan Jo merutuki dirinya sendiri. Mengapa hal yang sederhana seperti itu tidak terpikirkan olehnya?

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang