Rumah Bintang

91 19 0
                                    


Setelah menceritakan bagaimana Juni bisa mengenal ayah Sasha, pria paruh baya itu membawa Juni ke rumah bintang, sekaligus bernostalgia dengan masa lalunya. Hingga saat ini, pria tersebut masih mengingat setiap momen yang dihabiskannya bersama Juni. 

Sasha dan Juni itu hanya beda beberapa bulan, hari di mana Rendra sering mengunjungi Juni adalah hari di mana Sasha masih berada di dalam kandungan. Rendra inginnya memiliki anak laki-laki, biar bisa diajak ngomong soal astronomi. Akan tetapi, Tuhan berkata lain. Alih-alih anak laki-laki, pria tersebut malah diberi anak perempuan, tetapi tetap saja Rendra menyanyangi anak satu-satunya itu. 

"Kalau tidak salah ingat, alasan bapak sering menemui saya karena saya mengingatkan bapak pada anak bapak yang hilang," kata Juni membuka percakapan. 

Rendra terlihat sedikit agak gugup, bagaimana mungkin Juni masih mengingatnya sedang ia sendiri sudah mulai lupa? 

"Itu cuma alasan," balasnya berhati-hati, dan Juni malah tertawa. "Kalau bapak memang suka saya, seharusnya nggak perlu bohong segala. Saya juga senang karena bapak sering ngunjungi saya dulunya." 

Rendra tersenyum, syukurlah respon Juni sangat positif terhadap dirinya. Kalau boleh jujur, sebagai anak, Rendra memang sangat menyukai Juni. Anak itu pintar, cepat menangkap segala hal. Persis seperti dirinya. 

"Juni, apa kamu senang?" 

"Maksudnya?" tanya Juni tak paham. 

"Ketemu bapak lagi, kamu senang?" tanya pria itu lagi, kini lebih jelas. 

Juni mengangguk. Mungkin Rendra tidak tahu. Akan tetapi, pertemuan ini sangat dinantikan Juni sedari dulu. Ketika usianya menginjak lima tahun, pria ini tak pernah datang lagi menemuinya. 

"Dulu saya berharap kalau bapak mengadopsi saya," kata Juni mendadak pilu. Entah kenapa sakit saja rasanya. 

"Maaf," balas Rendra penuh penyesalan.

"Saya marah, sih, tapi sekarang saya ngerti. Istri bapak nggak mau punya anak lagi, kan?" 

"Kamu tau dari mana?" tanya Rendra agak kaget. Pasalnya, ia belum memberitahukan hal ini pada Juni. 

"Sasha cerita." 

Rendra mengangguk. Lantas berjalan ke rak kecil yang berada tidak jauh dari teleskop miliknya. Lantas kemudian, menyerahkan sebuah buku pada Juni. 

"Novel, saya pikir kamu bakalan suka. Tapi kamu paham bahasa Inggris, kan?" 

"Saya selalu mainin game yang bisanya cuma bahasa Inggris, tentu saja saya paham," balas Juni seraya mengambil buku tersebut. Sebuah novel dengan sampul berwarna biru agak gelap. "Lumayan tebel," sambung Juni membolak-balikkan novel tersebut, dia sempat membaca halaman awalnya tadi, dan Juni pikir ini adalah Novel yang kelihatannya akan sangat menarik. 

"Saya pikir rumah bintang ini beneran ada di atas pohon," tukas Juni dengan lugunya, dan Rendra pun hanya tertawa. 

"Kalau beneran di atas pohon, bapak nggak bisa ngajak kamu ke sini. Tapi walaupun enggak terlalu tinggi, bapak bisa liat benda-benda langit dari sini." 

"Bapak milih lokasinya tepat, enggak terlalu banyak pemukiman di sini," balas Juni seraya memainkan teleskop tersebut. 

"Kamu tau cara makenya?" 

"Saya punya satu di rumah," balas Juni dengan bangga. 

Mendengar kata rumah yang disebutkan oleh Juni, Rendra sempat tertegun sejenak. "Kamu enggak di panti lagi?" 

"Dari umur delapan tahun saya udah nggak di Jingga Baskara lagi, ada orang baik yang mau ngangkat saya jadi anak mereka, padahal saya pikir, orang cacat kayak saya nggak ada yang mau urus," jelas Juni sambil tersenyum. Teguh sekali hatinya. 

"Agak terlambat, tapi selamat kalau gitu." 

"Terima kasih bapak, tapi selamanya, saya bakalan nganggep anda sebagai bapak saya. Terima kasih karena mengajari saya membaca di usia tiga tahun, terima kasih sudah mengajari saya banyak hal di waktu saya masih kecil. Itu sangat berharga bagi saya. Terima kasih karena sudah memperbolehkan saya memanggil anda bapak." 

Hati Rendra menghangat dibuatnya, tapi rasa haru itu diselimuti pula oleh rasa bersalah yang tidak terlalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. 

"Kenapa kamu manggil saya bapak, Juni?" 

"Simpel saja, dengan anda saya seperti memiliki seorang ayah. Anda membuat saya bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang sesungguhnya. Mengajari dan membimbing saya hingga saya bisa tumbuh dengan pribadi yang seperti ini," tukas Juni sambil tersenyum, apa yang dikatakannya barusan murni dari hatinya.

"Jika saya sebenarnya bukanlah seorang ayah yang baik, apakah kamu akan mengatakan hal yang sama seperti itu, Juni?" 

Juni mengangguk yakin. "Setiap manusia itu pasti memiliki sebuah kesalahan besar. Akan tetapi, kalau dia bisa mengakui kesalahannya, kenapa tidak?"

Begitulah pertemuan singkat mereka hari itu, dan Juni sudah mau pamit lantaran Jo tak henti-hentinya menyuruh Juni segera pulang, daripada smartphonenya terus berisik seperti itu. Lebih baik dia memenuhi permintaan Jo untuk pulang. 

"Juni, itu bunda gue. Lagi nonton. Lo mau pamit sama beliau?" tanya Sasha hendak mengantarkan Juni hingga halaman depan, Satria sudah menunggu kedatangannya sedari tadi hingga lelaki itu mati kebosanan dibuatnya. 

"Iya," balas Juni akhirnya. 

Ketika bertemu dengan ibunda Sasha, Juni tersenyum sopan, tetapi wanita itu hanya menatapnya tajam, sesekali netranya juga menoleh ke arah Rendra yang hanya bisa memasang wajah datar. 

"Tante, saya pulang dulu," jawab Juni sopan, taruna itu ingin sekali menyalim tangan bundanya Sasha. Akan tetapi, melihat tingkahnya, Juni mengurungkan niatnya itu. 

"Ya," balas bunda Sasha tanpa menoleh sama sekali. Setelah itu dia kembali fokus pada layar televisi. 

Sasha yang melihat tingkah bundanya itu jadi tidak enak hati pada Juni. 

"Jun, maafin bunda, ya? Mungkin mood bunda lagi enggak bagus," katanya dengan raut bersalah. 

"Enggak apa-apa kok. Gue pulang dulu, ya?" 

"Iya, hati-hati."

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang