Malam sudah semakin larut. Akan tetapi, Juni masih tidak berkutik dari tempatnya. Taruna itu masih berada di balkon kamar dengan teleskop di sisinya. Juni masih ingin berada di sini, mungkin untuk beberapa menit lagi, di atas sana bulan bersinar terang, dan dirgantara dihiasi oleh ribuan bintang. Malam ini dirgantara terlihat jauh lebih indah dari biasanya. Bahkan Juni bisa melihat konstelasi bintang orion dengan jelas di atas sana."Langitnya indah banget, ya, Jun? Sampe lo lupa sekarang waktunya tidur," ujar Jo datang tiba-tiba. Anak itu bersungut, dan sesekali mengucek matanya yang kelelahan.
"Tidur duluan aja Jo, gue masih pengen di sini. Lagian udaranya juga mulai sejuk," tukas anak itu tanpa seinci pun berpaling dari dirgantara yang tengah diamatinya.
"Kebiasaan, kalo udah liat langit lupa sama dunia. Nanti kalo gue tidur duluan, yang bantuin lo ke tempat tidur siapa?"
"Gue bisa sendiri Jo, tenang aja. Gue emang nggak bisa jalan, tapi kalo bangkit dari kursi roda dan baringin tubuh gue ke tempat tidur bisa kok."
"Enggak usah ngenyel, kemarin aja lo jatoh," tukas Jo mulai jengkel.
Juni berdecak, dia benci dengan keadaannya yang begini. "Gue nyusahin banget," lirihnya kecewa pada diri sendiri."Hush, nggak boleh ngomong gitu. Lo itu enggak nyusahin siapa pun."
"Kalau gue enggak pernah kecelakaan, mungkin sekarang gue masih bisa jalan kali, ya," ujar Juni menatap miris pada kakinya yang bahkan enggak bisa digerakin sama sekali. Mati rasa, itulah yang Juni rasakan pada kedua kaki sialannya.
"Jun, lo kenapa?" tanya Jo akhirnya. Pasalnya, Juni tidak pernah mengeluhkan soal kakinya pada siapa pun. Bahkan anak itu selalu bilang kalau dia bersyukur. Bersyukur masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan, dan merasa bersyukur mengenal keluarga ini. Juni juga bilang, kalau kecelakaan itu nggak pernah terjadi, mungkin Juni nggak akan bisa ketemu sama Jo, ayah, dan juga bunda.
"Enggak kenapa-napa, cuma lagi ngerasa jadi manusia enggak berguna aja di dunia."
"Enggak ada yang namanya manusia enggak berguna. Tuhan ciptain lo pasti bukan tanpa tujuan, Jun. Jangan ngomong gini lagi. Gue enggak suka dengernya."
"Maaf," balas Juni dengan nada lirih. Tanpa berkata lagi anak itu mendorong kursi rodanya melewati Jo.
☆☆
Juni memang tidak tahu tentang asal-usul dirinya, karena semenjak mulai mengenal dunia dan bisa melakukan hal-hal yang sederhana seperti berjalan ataupun berbicara, Juni sudah berada di panti asuhan. Yang Juni tahu dari ibuk panti, sedari ia masih bayi, ia sudah tinggal di sini. Tidak ada petunjuk lain yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya selain nama, dan bulan serta tanggal lahirnya. Juni menyukai astronomi dan segala hal tentang konstelasi bintang dan dirgantara bukan tanpa alasan.
Dulu, dulu sekali sewaktu ia masih kecil, ada seseorang yang selalu menemuinya. Orang itu selalu berpakaian rapi, dan setiap bertemu Juni, dia selalu membawakan buah tangan berupa coklat, dan juga es krim. Ketika dia datang, mereka akan duduk di pinggir danau yang terletak di belakang panti. Dia juga selalu membawakan Juni buku-buku yang berhubungan dengan langit dan bintang. Sewaktu Juni belum bisa membaca, orang itu senantiasa membacakannya untuk Juni. Dia juga yang mengajarkan Juni membaca di kala usianya tiga tahun.
Ibuk panti bilang, orang itu termasuk salah satu donatur panti, pria itu rajin menemui Juni lantaran memang suka bermain dengan anak itu, dan ibuk panti bilang, Juni itu seperti anaknya yang hilang. Namun, semenjak Juni semakin tumbuh besar, pria itu tidak pernah lagi datang menemuinya. Hari terakhir mereka bertemu adalah di saat Juni berusia enam tahun, sama halnya dengan hari terakhir Juni bertemu dengan Arya. Akan tetapi, buku-buku tentang astronomi, dan beberapa camilan kesukaan Juni masih sering ia terima dari seseorang yang ia panggil dengan sebutan bapak. Satu-satunya tentang bapak yang tersisa adalah sebuah teropong yang sudah diberikan pria itu kala usianya masih satu tahun.
"Lo tau kenapa gue mandangin langit sampe larut begini, Jo?"
"Kenapa?"
"Itu karena gue kangen seseorang. Seseorang yang udah gue anggep kayak bapak gue sendiri. Dia yang ngajarin gue baca-tulis di saat usia gue tiga tahun, dia juga yang ngenalin gue tentang astronomi dan segala tetek bengek tentang alam semesta, tapi dia tiba-tiba aja menghilang tanpa kabar, sama kayak Arya, dan sejujurnya gue takut, kalau lo juga ninggalin gue kayak gitu," tukas Juni seraya menggenggam tangan Jo erat. Sebuah kebiasaan yang sering mereka lakukan kala usia mereka masih delapan tahun.
"Lo enggak usah khawatir, kita keluarga, yang namanya keluarga enggak ninggalin lo kayak gitu. Gue bakalan selalu ada buat lo Jun, kalo lo jatuh, gue orang pertama yang bakalan megangin lo. Kalo elo ngerasa sakit, kita rasain sakitnya bareng-bareng. Jangan pernah berpikir kalo lo nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Gue selalu siap jadi tempat pulang lo Jun, kapan pun itu. Paham?"
Juni mengangguk. Dia percaya dengan apa yang selalu diucapkan oleh Jo. Lantaran Juni yakin, omongan anak itu selalu bisa dia pegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara Juniar (SELESAI)
Short StoryBagi Juni, satu-satunya hal favorit dalam hidupnya adalah mengamati dirgantara yang dihiasi oleh ribuan bintang. Dan jika bisa, ia ingin berbaring di atas sana setiap hari.