Ketika usia Juni tiga tahun, anak itu selalu mendambakan sosok seorang ayah. Setiap malam ia selalu mengamati dirgantara untuk berdoa kepadaTuhan. Meminta Tuhan mengabulkan permintaan kecilnya. Juni hanya ingin ayah, baginya itu saja sudah cukup, tak apa tak ada ibu. Akan tetapi, harus ada ayah. Hingga akhirnya ada bapak, bapak selalu menemui Juni dan mengajari bocah itu banyak hal. Bapak suka astronomi katanya. Maka dari itu, setiap datang mengunjungi Juni, beliau akan membawa buku-buku tentang alam semesta juga ilmu perbintangan, dan cerita-cerita menarik setiap harinya. Bapak juga sering mengajak Juni jalan-jalan, memanjakannya seperti anaknya sendiri. Berkat bapak juga Juni bisa membaca di usia tiga tahun, dan tumbuh menjadi anak yang pintar seperti sekarang.Sejak saat itulah anak itu mulai berharap. Berharap bapak akan membawanya pulang ke rumah. Dulu Juni sangat menyanyangi pria tersebut, pria yang sudah dia anggap sebagai pelita di dalam hidupnya. Bersama bapak, Juni amat sangat bahagia. Sehingga dia bisa tabah menerima nasibnya yang malang, dulu Juni memang berpikiran sangat naif. Dia pernah berkata pada Arya tak ingin yang lain, cukup hanya bapak, dan akan selalu bapak. Hingga harapnya itu dipatahkan begitu saja. Ketika usianya menginjak lima tahun, bapak tak pernah lagi datang. Pria itu seakan hilang ditelan bumi. Akan tetapi, buku-buku tentang alam semesta dan ilmu perbintangan serta buku-buku cerita juga camilan selalu dikirimkan ke panti hingga usia Juni menginjak delapan tahun. Juni tahu, bapak mungkin masih mengingatnya, tetapi kenapa dia tidak datang dan hanya mengirimi barang-barang itu untuknya?
"Dulu saya sangat berharap kalau bapak yang akan jadi ayah saya, seberharap itu hingga doa saya selalu itu, dan mungkin Tuhan juga mulai jengah mendengarnya."
"Saya selalu menunggu bapak datang, mengajak saya bermain seperti dulu, membacakan saya buku cerita. Kalau bapak tidak lupa, kita pernah sangat bahagia dulunya," tukas Juni menitikkan air matanya. Hatinya sakit, dan dadanya terasa sesak. "Tapi kenapa bapak malah meninggalkan saya? Kenapa bapak tak pernah lagi datang ke Jingga Baskara? Apa saya sehina itu hingga bapak tak ingin lagi menemui saya?"
Rendra terdiam di tempatnya, rasa bersalahnya datang lagi, bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Mendengar anaknya mengatakan hal pilu seperti itu sangat menyakiti hatinya.
"Meninggalkan kamu di panti asuhan adalah kesalahan terbesar saya. Waktu itu saya bingung, dan ibu kamu meninggal ketika melahirkan kamu. Dulu saya tak punya apa-apa, dan menghidupi kamu saya tak mampu."
"Bapak cuma beralasan, ketika usia saya tiga tahun, kenapa bapak tak membawa saya pulang? Mungkin jika bapak menjemput saya lebih cepat, saya mungkin masih bisa berjalan sampai sekarang."
"Juni, apa pun yang terjadi sama lo, itu bukan salah ayah. Nggak ada juga yang menjamin jika saat itu ayah bawa lo pulang, lo bakal baik-baik aja sampai sekarang," timpal Sasha yang ternyata masih ada di sana, gadis itu enggan pergi rupanya.
"Cewek yang dilimpahin kasih sayang dan hidup enak kayak lo nggak akan tau gimana rasanya hidup sebagai anak sebatang kara. Berhenti belain ayah lo. Dia emang salah," balas Juni tak terima, Sasha seolah memojokkannya hanya karena Rendra adalah ayahnya.
"Sha, kamu tunggu di mobil, nanti ayah nyusul. Ini tentang ayah dan Juni, kamu nggak perlu ikut campur."
"Lo harusnya bersyukur, setidaknya ayah masih anggep lo sebagai anak dan pengen ngajak lo tinggal bareng kita, di luar sana banyak anak-anak yang nggak seberuntung lo, Juni!"
"Sasha diam! Tunggu di mobil, jangan bikin semuanya jadi kacau."
Gadis itu berdecih, pada akhirnya ia pun memilih pergi dari sana.
"Bapak liat, keluarga anda nggak ada yang mau menerima saya. Biarkan saya dengan hidup saya, dan anda dengan hidup anda. Anggap saja kita nggak ada hubungan apa-apa sebelumnya."
"Saya akan berusaha, walaupun mereka nggak menerima kamu, saya akan perjuangin kamu, semua kebutuhan kamu akan saya penuhi."
Juni mengepalkan kedua tangannya, napasnya naik turun menahan amarah.
"Kenapa, kenapa anda harus berusaha? Saya cuma anak cacat. Bisanya cuma nyusahin anda dan sekeluarga."
"Juni, jangan bicara seperti itu di depan bapak, kamu nggak nyusahin saya ataupun orang lain. Izinin saya perbaiki semuanya, agar rasa bersalah saya berkurang sedikit demi sedikit."
Juni tertawa miris, jadi hanya untuk itu Rendra ingin mengambilnya kembali, hanya untuk menebus rasa bersalah yang menumpuk di dalam hatinya.
"Dari semua ayah bajingan di luar sana, anda yang paling bajingan," ujar Juni ketus, hatinya sudah terlampau sakit dan terluka.
"Juni, maafkan saya. Saya akan belajar jadi bapak yang baik buat kamu. Saya emang bajingan, dan saya sadar akan hal itu." Rendra bahkan sampai berlutut di hadapan anak itu, membuat Juni merasa sangat tidak nyaman.
"Bapak, berhenti. Jangan kayak gini," tukas Juni putus-putus. Wajahnya memerah, dan ia tak mampu lagi menahan tangisannya. "Apa karena saya hina makanya bapak menitipkan saya di panti asuhan?"
"Tidak Juni, kamu tidak hina. Anak saya tidak ada yang hina, jangan bicara seperti itu. Maafkan saya atas ibumu, atas semua yang saya lakukan ke kamu."
"Saya nggak bisa. Saya nggak bisa maafin bapak dan hidup bersama bapak. Biarkan saya dengan kehidupan saya dan anggap saja saya sudah memaafkan anda. Saya pamit," tukas Juni memutar kursi rodanya, mengusap wajahnya yang sembab.
"Saya akan tetap menunggu. Kapan pun kamu siap, kamu bisa pulang kepada saya," ujar Rendra akhirnya. Untuk saat ini, Juni mungkin tak bisa dipaksa. Dia hanyalah seorang remaja yang membutuhkan waktu untuk berpikir dan menerima semuanya dengan lapang dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara Juniar (SELESAI)
Short StoryBagi Juni, satu-satunya hal favorit dalam hidupnya adalah mengamati dirgantara yang dihiasi oleh ribuan bintang. Dan jika bisa, ia ingin berbaring di atas sana setiap hari.