Kita Rasain Sakitnya Sama-Sama

150 21 0
                                    

Trigger warning: selfharm, pikiran ingin bunuh diri⚠️

Harap bijak sebelum membaca, terima kasih 🙏🏻

•••••

Terakhir Juni jalan bareng Jo itu sebulan yang lalu, hari di mana ia bertemu dengan Arya, tetapi setelah hari itu, mereka belum pernah ketemu lagi. Juni agak menyesal, lantaran waktu itu tidak meminta kontak taruna tersebut. Akan tetapi, kalau dicoba pun percuma, kan? Arya terlihat enggan bertemu dengannya. Sekarang Juni malah mati kebosanan, semenjak damainya Ares dengan Jo, saudaranya itu jarang ada di rumah. Lebih banyak menghabiskan waktu bareng Ares di luar rumah, entah apa yang dilakukannya dengan gadis tengil tersebut.

"Juni, bener kata Jo. Lo ada di rumah," tukas Sasha yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Padahal Juni lagi asyik melamun tadinya, memikirkan cara bagaimana Ares dan Jo musuhan lagi kayak dulu. Kalau dipikir-pikir idenya jahat, ya? 

"Emang gue mau ke mana lagi kalau bukan di sini?" tanya Juni agak jengkel. Biasanya ke mana pun Jo pergi, dia akan mengajak Juni, tapi sekarang taruna itu malah mengajak yang lain. Juni merasa agak terlupakan. "Lho, itu berarti lo barusan ketemu Jo?" 

"Iya, kan gue, Ares, sama Jo belajar bareng di rumah Ares. Cuma gue bosen, lari ke sini deh," tukas Sasha mengendikkan bahunya. Sebenarnya bukan bosen, sih. Sasha sengaja pergi biar bisa ketemu sama Juni. 

"Bosen belajar? Tumben, biasanya kalo belajar bareng Jo ambis banget kayak nggak ada hari esok." 

"Ngomong apaan, sih," ujar Sasha tertawa. Taruna yang tengah menatapnya ini menurut Sasha sangat lucu. 

Juni lagi enggak mood bercanda. Jadi, taruna itu hanya membuang muka seraya mendorong kursi rodanya menuju taman belakang. Juni mau liat ikan. 

"Kenapa, ada masalah, ya?" tanya Sasha berjalan beriringan dengan lelaki tersebut. 

Juni menggeleng. Satu-satunya masalah Juni itu cemburu sama Ares. Itu saja. 

"Jun, bosen nggak?" 

"Iya," balas taruna itu singkat. 

"Mau pergi ke suatu tempat?" tanya Sasha seraya tersenyum. 

Juni berpikir sejenak. Memang ada suatu tempat yang ingin dia kunjungi, tetapi Juni tak tau ingin pergi ke sana dengan siapa. Biasanya ada Jo yang selalu menemaninya ke sana, tapi sekarang, kan, Jo lagi sibuk. 

"Gue pengen ke danau Jingga Baskara," ujarnya pelan. 

Sasha menelengkan kepalanya ke kiri, nama danau itu baru kali ini ia dengar. 

"Emang danaunya ada?" tanya Sasha skeptis, dan Juni pun akhirnya tertawa. Baginya, wajah bingung Sasha terlihat sangat lucu. Gadis itu beneran kayak orang oon. 

"Ada, mau nememin gue ke sana?" 

Walaupun agak ragu, Sasha akhirnya pun mengangguk jua. 

**

Setelah sampai di tempat tujuan, tubuh Juni terpaku, di pinggir danau ia melihat seseorang, seseorang yang tengah termenung seraya memandang kosong di depannya. Surai orang tersebut pun bergerak ditiup angin. Punggung yang terlihat kecil itu, Juni tau siapa pemiliknya. Dia Arya. 

"Sha, tunggu di sini bentar, ya?" tanyanya pada Sasha yang dibalas anggukan oleh gadis tersebut. 

Juni dengan hati-hati mendorong kursi rodanya mendekati Arya, hingga akhirnya kehadiran taruna itu ketahuan. Laki-lali dengan wajah sayu spontan menoleh ke belakang. 

"Juni," bisiknya pelan. 

"Halo bro, apa kabar?" sapa Juni seraya tersenyum. Bibir pucat milik Arya terkatup, taruna itu hanya menatap Juni tanpa arti. 

"Lo sering ke sini?" tanya Juni yang hanya dibalas kebisuan oleh Arya. Lelaki itu enggan berbicara. Lebih tepatnya, enggan bertemu dengan Juni. 

Juni tersenyum getir. Sekian lama tak bertemu hanya ini balasan lelaki itu. Tak taukah ia kalau selama ini Juni mati-matian mencari tahu tentangnya? Selalu berdoa agar dia sehat-sehat selalu dan bahagia. 

"Sekian lama kita enggak ketemu, dan lo cuma diam membelakangi gue." 

"Juni, menurut lu hidup itu apa?" tanya Arya tiba-tiba. Pasalnya, dia bertanya dengan nada rendah dan pandangan kosong ke depan. 

"Bagi gue hidup itu anugerah dari Tuhan. Cuma sekali di dunia, kalau udah habis masanya, ya udah habis. Kita nggak bisa ngulang lagi." 

"Berarti kalau gue mati sekarang, gue pun selesai?" 

"Iya, singkatnya begitu," jawab Juni sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Ahaha brengsek," tukas Arya tiba-tiba. Hal itu tentu membuat Juni kaget sekaligus heran. Arya tiba-tiba saja mengumpat kepadanya. 

"Gue nggak mau mati kayak gini. Menyedihkan." 

"Maksud lo?" tanya Juni kebingungan. Sebenarnya apa yang ingin dikatakan oleh Arya? 

"Hidup lu pasti terlalu enak sampe nggak tau maksud gua apaan." 

Lelaki itu berbalik, menatap Juni dengan sorot tajam. "Gua mau bunuh diri, apa lu masih nggak paham?" tanya Arya seraya tersenyum sinis. 

"Kenapa lo pengen bunuh diri?" tanya Juni setenang mungkin. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia kesal dengan pernyataan lelaki itu barusan. Apa dipikirnya hidup setelah kematian itu enak? Apa lagi dengan cara bunuh diri. Setelah kamu mati, kamu enggak bisa melakukan apa pun. Yang kamu rasain cuma penyesalan dan penyesalan kenapa dulu menyia-nyiakan hidupmu yang sebenarnya jika dijalani berlangsung sangat singkat. 

"Karena ini," tukas Arya seraya menggulung lengan hoodienya sampai ke siku. Ada banyak bekas sayatan di sana. "Gua capek hidup, Jun. Enggak, gua capek sama semuanya," lirih taruna itu akhirnya menitikkan air mata. 

"Gua nggak punya motivasi apa-apa buat terus bertahan. Gua kehilangan semuanya. Mimpi gua, cita-cita gua, dan juga harapan gua sendiri," lirihnya masih terus menangis. Sesekali taruna itu terisak. "Sakit dari sayatan ini nggak ada artinya dari rasa sakit yang gua rasain selama ini. Gimana bisa gua lanjutin hidup kalau enggak punya apa-apa lagi, Jun? Gimana caranya?"

Juni pun terdiam, sekian lama tak bertemu, ia tak menyangka kalau Arya terluka seperti ini. Bertahun-tahun lamanya, taruna itu pasti berjuang untuk menyembuhkan rasa sakitnya, menyembuhkan segala luka yang tak sudah-sudah. 

"Lo masih punya gue, selama ini dengan semua rasa sakit yang lo punya, lo udah bertahan sejauh ini. Gue yakin, untuk mencapai titik ini, lo pasti udah ngalamin banyak hal sulit. Sekarang, Arya, ayo berjuang sedikit lagi bareng gue. Kita rasain sakitnya sama-sama. Lo enggak perlu berjuang sendirian. Ada gue." 

Juni mendorong kursi rodanya secara pelan, taruna itu mendekati Arya dan menurunkan kembali lengan hoodie untuk menutupi sayatan-sayatan yang memenuhi pergelangan tangan sang taruna, beberapa sayatan ada yang sudah dibalut kasa dengan rapi. Siapa pun orang yang melakukan itu, dari caranya mengobati luka-luka itu, ia melakukannya dengan tulus, dan Juni harap, orang itu ada di sekitar Arya.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang