Keputusan Jo

216 20 3
                                    


Malam ini Jo dan Juni berada di balkon kamar mereka, mengamati dirgantara yang ditutupi oleh awan kelabu. Tidak ada bintang malam ini. Akan tetapi, ada cahaya bulan yang mengintip malu-malu dari balik awan. Jo menghembuskan napasnya berat. Netranya menilik pada Juni yang sedari tadi diam membisu. Mungkin, saudaranya itu masih kesal atas pertengkaran kecil mereka yang terjadi tadi siang, dan mungkin setelah ini ada pertengkaran yang lebih hebat lagi. 

"Gue ditawarin tinggal bareng tante Riana," tukas Jo memulai pembicaraan. Juni yang semula menatap kosong ke depan sontak saja menoleh ke arah Jo tak percaya. Tilikannya pada saudaranya itu terkesan sangat tajam. 

"Terus lo bilang apa?" tanya Juni meliputi rasa takut di dalam hatinya. Bayang-bayang akan ditinggalkan oleh Jo terlihat jelas di depan matanya.

"Gue belum bilang apa-apa," balas Jo sedikit agak gugup. Sejujurnya jauh di dalam sanubarinya ia berada dalam ambang kebingungan. Tawaran tante Riana cukup menarik, tetapi Jo tak bisa meninggalkan Juni begitu saja. 

"Dia cuma ngajak lo, kan?" tanya Juni tertawa miris. Sedari dulu, adik dari ayahnya Jo itu paling terlihat tak menyukainya. "Gue bisa tau kebimbangan hati lo, tapi percaya sama gue Jo. Gue bisa ngurus kita berdua. Jangan khawatir." 

Jo ingin sekali pecaya, ia ingin sekali yakin bahwa Juni mungkin bisa mengatasi semuanya, tetapi kembali lagi pada realita. Mereka hanyalah anak yang berusia enam belas tahun, apa yang bisa dilakukan oleh anak sebesar itu? Bekerja saja mungkin mereka tak bisa. 

"Gue mau lo pikirin tawaran itu baik-baik Jo, dan sebelum lo memutuskan. Gue mau bilang, di dunia ini, selain diri gue sendiri. Gue cuma punya lo dan ayah bunda, tapi mereka udah nggak ada, dan kalau pada akhirnya lo juga pergi ninggalin gue, maka gue nggak punya apa-apa lagi." 

Jo terdiam mendengar penuturan saudaranya itu. Kini ia kembali diliputi oleh kebimbangan.

"Bakalan gue pikirin baik-baik, dan gue harap apa pun keputusannya nanti, kita sama-sama bisa nerima dengan lapang dada." 

Juni mengangguk. Jika Jo sudah berkata seperti itu, itu berarti dia sudah menentukan pilihannya, dan Juni harap pilihan itu adalah pilihan yang ia harapkan. 

Malam itu mereka berdua tertidur dengan hati yang sendu, dan di sebelahnya Juni tertidur sembari memeluk pinggang Jo. "Jangan tinggalin gue Jo, gue cuma punya lo," racaunya tanpa sadar. 

"Gue nggak akan ninggalin lo Juni, gue janji," lirih Jo sembari menutup matanya. 

°° 

Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, Jo dan Juni terbangun. Mereka menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Juni menyiapkan sarapan, dan Jo yang menyiapkan bahan-bahan, di sela-sela pekerjaan mereka, Jo lagi-lagi menghembuskan napasnya berat. 

"Gue udah ambil keputusan," ujar Jo membuat Juni menghentikan aktivitasnya seketika. "Gue udah mikirin ini baik-baik, dan gue rasa ini yang terbaik buat kita berdua," sambungnya bikin Juni penasaran. Sedari tadi, jantungnya sudah berdetak tak karuan. Perasaan takut itu kembali menyelimuti dirinya. 

"Gue mutusin buat ikut bareng tante Riana. Maafin gue, Juni." 

Aktivitas Juni pun sepenuhnya berhenti, pemuda itu hanya bisa tertawa terlampau sumbang. 

"Setelah apa yang gue katakan kemarin, pilihan lo ini?" tanya Juni menggeleng tak percaya. "Apa yang buat lo ragu, Jo? Sekian dari banyaknya orang, kenapa lo yang harus ninggalin gue?" 

"Juni, ini pilihan yang terbaik buat kita. Gue tinggal bareng tante Riana, dan lo tinggal bareng ayah kandung lo. Seenggaknya lo masih punya dia, sedangkan gue kehilangan keduanya. Gue nggak punya apa-apa lagi." 

"Terus gue apa? Masih ada gue Jo. Orang yang akan selalu ada di sisi lo. Saat lo jatuh ada gue yang bantu lo untuk berdiri!" 

Jo mengepalkan kedua tangannya. Pemuda itu menghentikan aktivitas mencuci piringnya. Ia menatap Juni nyalang. 

"Realistis Juni, lo terlalu lama hidup dalam dongeng-dongeng yang diceritain sama ayah lo dulunya. Kita baru enam belas tahun. Jangankan untuk mengurus diri sendiri, berdiri sendiri pun kita nggak bisa. Jangan terlalu naif, hidup itu nggak mudah." 

"Lo benar, yang namanya hidup emang nggak segampang itu, kita pincang sebelah, dan jalan kita nggak akan mudah, tapi itu kalau lo berjuang sendirian, Jo. Ayah sama bunda punya tabungan yang bisa kita kelola, gue cuma minta lo percaya, maka gue bisa urus semuanya." 

"Sayangnya gue nggak percaya sama lo," balas Jo melepas celemeknya dan hendak kembali ke atas. 

"Jo, lo sendiri yang bilang sama gue, kalau yang namanya saudara itu nggak akan ninggalin satu sama lain. Lo juga bilang kalau gue jatuh, kita jatuh sama-sama. Kalau kita terluka, kita rasain sakitnya sama-sama, tapi kenapa Jo? Kenapa lo juga ikut pergi? Apa selama ini gue nyusahin makanya lo pilih jalan ini?" 

Jo terpaku di depan anak tangga, jari-jemari tangannya menggenggam pegangan tangga dengan erat sampai-sampai buku tangannya memutih. 

"Bukan itu alasan gue milih untuk pergi. Kita emang harus ngelakuin ini Juni, yang namanya uang jika nggak dikelola dengan baik bakalan cepat habis, dan gue nggak yakin kita bisa ngelola uang dari orang tua kita. Bahkan kita pun nggak tau bakalan hidup kayak gimana setelah ini. Gue yakin, dan kita pun sama-sama tau. Kalo kita masih butuh bimbingan. Sanggah kalo gue salah." 

Juni pun tak mampu berkata-kata lagi. Taruna itu menghela napasnya pasrah. 

"Kapan lo bakalan pergi?" tanya Juni akhirnya, dia tak mau melakukan perdebatan lagi. Jika itu yang terbaik menurut Jo, dia pun tak bisa apa-apa. 

"Besok sore, jadwal keberangkatan pesawat tante Riana jam delapan malam." 

"Oke," balas Juni pada akhirnya.

•••

A/n: Kalau nggak ada halangan, besok update-tan terakhir Dirgantara Juniar, terima kasih untuk kalian yang mau mengikuti cerita ini hingga sampai di titik ini. Biar gimana pun aku menghargai kalian, sampai ketemu besok, dan semoga kalian sehat selalu. Salam dariku, Rain 💚

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang