Juni, jangan benci Ayah

141 20 0
                                    

Udara pagi ini terasa sangat lembab, menandakan bahwa tadi malam hujan baru saja turun. Tak ada yang dapat dilakukan oleh Juni selain berbaring di atas rerumputan dengan kedua tangan ia taruh di belakang kepala. Mengamati dirgantara yang ditutupi oleh awan hitam. Selepas percakapan singkatnya pada ayah dan bunda, Juni melarikan diri ke sini, di tepian danau Jingga Baskara. Bunda bilang, hari ini ayahnya akan datang, dan Juni tak ingin bertemu dengan sosok tersebut. 

"Apa yang bikin lo kacau pagi ini?" tanya Arya yang kebetulan baru saja datang berkunjung, menenangkan hati dan pikirannya. Pemuda itu duduk di samping Juni sembari melemparkan beberapa bebatuan kecil ke dalam danau. 

"Lo sendiri? Apa yang bikin lo kacau pagi ini?" Juni balik bertanya, tetapi enggan bangkit dari posisinya. 

"Bukan apa-apa," balas Arya enggan memberitahu, dan Juni hanya mengangguk. Ia tahu batasannya bertanya hanya sampai di sini. 

"Puncak komedi banget hidup gue," celetuk Juni sambil tertawa. Jenis tawa yang amat sangat menyedihkan. 

"Maksudnya?" 

"Gue masih punya ayah, bukan ayah angkat," katanya tak membuat Arya terkejut sama sekali. Terbukti dari respon lelaki itu yang hanya tertawa remeh. 

"Drama banget idup lu, biar gua tebak. Lu pasti ga mau terima dia semudah itu."

Lagi-lagi Juni mengangguk. Membenarkan ucapan pemuda tersebut. "Sebenarnya gue mau ngasih dia kesempatan, tapi yang bikin hati gue sakit, dia nelantarin gue selama bertahun-tahun, dan ketika gue udah bahagia sama hidup gue. Dia tiba-tiba datang, dan seenaknya bilang sama bunda mau ngajak gue tinggal bareng dia. Misahin gue sama keluarga gue yang sekarang." 

"Lu nggak butuh dia?" tanya Arya tiba-tiba. 

"Dari lama gue udah nggak butuh dia, tanpa dia gue baik-baik aja selama ini. Walaupun kaki gue nggak bisa lagi gue gunain, gue masih bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dia." 

"Lu naif banget," balas Arya seraya menggeleng. "Padahal lu yang bilang sama gue. Kalau ayah lu masih ada dan nemuin lu secara langsung. Lu bakalan lari ke dia, meluk ayah lu dengan erat. Lu bilang gitu sambil nangis padahal." 

Juni mengepalkan kedua tangannya. Wajah anak itu memerah. Antara menahan malu dan juga amarah. 

"Itu dulu, lagi pula gue masih kecil waktu itu. Lebih naif dari gue yang sekarang. Kalau lo jadi gue, apa lo mau nerima dia lagi?" 

Arya berdecih, pemuda itu lagi-lagi melemparkan kerikil kecil ke dalam danau. "Gua ga tau. Karena gua ga pernah tau gimana rasanya jadi elu." 

"Kalau itu jawaban lo, harusnya lo nggak berhak ngasih saran ke gue." 

"Dan ga seharusnya lu bertanya sama gua." 

Perdebatan kecil antara mereka berdua terpaksa terhenti dengan kehadiran Jo yang tiba-tiba. Napas taruna itu terengah-engah, dan wajahnya kelihatan sangat panik. 

"Dia di sini," tukas Jo berhasil membuat Juni terpaku, anak itu bangkit dari posisinya dan menatap saudaranya itu dengan intens. 

"Lo yang kasih tau?" tanya Juni tak percaya. 

"Bukan." 

Tepat saat itulah Sasha datang dengan wajah sembabnya, menghampiri Juni yang kini kelihatan sangat kebingungan. 

"Gue yang kasih tau ayah. Maaf," balas gadis itu seraya menunduk. 

Juni tak merespon apa pun, ia hanya menatap Jo penuh pertanyaan, dan raut wajah saudaranya itu tak menjawab sama sekali. 

"Gue sama kaget dan bingungnya kayak lo," balas Jo akhirnya. Awal ia melihat Sasha datang ke rumah dengan sosok pria yang terlihat asing. Jo sudah bingung duluan. 

"Gue nggak paham," balas Juni kesal bukan main. 

"Itu artinya lu harus ketemu dia biar paham," tukas Arya dengan wajah datarnya, dan setelah itu, ia berlalu dari sana. "Lu mau nunggu apa lagi? Gua rasa ini ga ada urusannya sama lu," ujar lelaki itu pada Jo yang masih berdiri diam di tempat, dan tak lama kemudian ia pun pergi menyusul Arya. Sebelum pergi, Jo sempat bertatapan dengan Juni, dan saudaranya itu hanya mengangguk, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

°° 

"Juni," panggil Sasha pelan. Gadis itu mendekat dan membantu Juni mendorong kursi rodanya dengan perlahan. "Sebajingan apa pun ayah gue, jangan benci dia," tukasnya. 

Juni kembali mengepalkan tangannya, dan kali ini memukulkannya pada gagang kiri kursi rodanya. "Jadi, itu dia. Ayah lo," balas taruna itu lagi-lagi tertawa. Hari ini dia mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Saking banyaknya, Juni tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Gue juga kecewa, sama kayak lo, tapi gimana pun, dia tetap ayah gue. Walaupun dia nggak mendukung keinginan gue sepenuhnya, gue tetep sayang sama ayah. Jadi, gue mohon, mohon jangan benci ayah," balas Sasha menahan sesak di hatinya, terlampau sesak hingga dia sulit bernapas rasanya. "Kalau lo marah, kesal. Lampiasin aja ke gue, jangan ke ayah. Dan atas nama ayah gue minta maaf sama lo Juni," sambung gadis itu lagi sembari berlutut. "Maafin ayah, dan kasih ayah kesempatan buat perbaiki semuanya." 

"Dengan kata lain, lo nyuruh gue tinggal bareng dia. Dengerin gue Sha, denger baik-baik. Gue nggak akan pernah mau tinggal bareng dia. Nggak akan pernah! Lo mana tau rasanya ditelantarin bertahun-tahun kayak gue. Lo mana tau rasanya ketakutan berakhir di panti asuhan sendirian. Hidup lo dari dulu udah enak, tinggal di rumah mewah, dapet kasih sayang dari kedua orang tua lo, dan lo bahkan nggak perlu mengkhawatirkan apa pun!" teriak Juni penuh amarah. Seperti kata Jo, dia dan Jo adalah saudara, dan yang namanya saudara nggak akan meninggalkan satu sama lain. Juni tak ingin pergi jika tak bersama Jo dan ayah bunda. 

"Dan lo nggak akan pernah tau gimana rasanya jadi bunda gue. Gimana sakitnya pas tau kalau ayah selingkuh dan punya anak dari perempuan lain. Seperti yang gue bilang, ayah emang bajingan, tapi dia tetep ayah gue, dia tetep ayah lo, Juni!" teriak Sasha tak bisa lagi menahan kemarahan di dalam hatinya, bahkan ketika melihat wajah Juni pun ia ikutan sakit hati, tapi Sasha cukup waras menyadari, walau apa pun yang terjadi, ini nggak ada hubungannya dengan Juni, dan anak malang itu tak salah apa-apa. Juni justru adalah korban. 

"Maksud lo?" tanya Juni dengan hati yang sedikit demi sedikit mulai hancur. 

"Lo anak selingkuhannya ayah. Puas!" teriak Sasha berurai air mata, gadis itu terduduk seketika, ia membenamkan wajahnya antara kedua lututnya dan menangis di sana. Sejujurnya Sasha tak ingin memberitahu Juni tentang ini, tapi dia sudah terlanjur emosi, dan ia tak sesabar Jo yang bisa menahan kekesalan hatinya pada orang-orang yang kerap menganggunya dulu. 

"Gue sehina itu ternyata," bisik pemuda itu pelan. Hari ini selain kelabu yang menutupi dirgantara di atas sana, hatinya juga berwarna kelabu bercampur biru. Rasanya di dalam sana mendadak hampa dan kosong. Bahkan untuk marah pun Juni tak berhak. Benar kata Arya, dia adalah anak yang naif.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang