Sama-Sama Terbuang

129 20 0
                                    

Trigger warning: selfharm, pikiran ingin bunuh diri⚠️

Harap bijak sebelum membaca, terima kasih 🙏🏻
•••••

Hujan mengguyur tubuh ringkih milik Arya. Setetes darah bekas sayatan di tangannya menetes mengotori lengan hoodie yang tengah ia kenakan. Taruna itu kedinginan, namun tungkainya enggan melangkah masuk ke dalam rumah yang dari luar terlihat nyaman dan juga hangat. Kebingungan menyelimuti dirinya hingga perlahan ia mundur beberapa langkah. Menjauh dari rumah, kepalanya berisik terus memikirkan bagaimana jika dia berkeliaran di luar dengan tubuh yang basah kuyup. Apakah dia akan langsung mati?

Perlahan air mata terjun bebas dari netranya, tangisannya tertahan. Mulutnya terkatup, namun hatinya menjerit sedih. Arya lelah, ia tak akan sanggup memenuhi ekspektasi sang ayah. Arya tak bisa mencerna setiap kalimat yang tertulis di buku tebal yang diberikan oleh ayahnya. Otaknya tak mampu. Mimpinya dari dulu masih sama. Bagi Arya, melukis adalah hidupnya. Hal sederhana yang membuatnya amat sangat bahagia hanya dengan menggoreskan kuas di atas kanvas. 

"Arya, kamu ngapain?" seorang lelaki yang lebih tua darinya datang menghampiri. Lelaki itu membuka jaket tebal yang tengah ia kenakan dan menyampirkannya di pundak Arya yang basah. "Ayo masuk," katanya lembut. Lelaki itu menuntun agar Arya mengikuti langkahnya. Akan tetapi, taruna itu tak bergeming dengan air mata yang terus membanjiri pipinya. 

"Gua nggak mau masuk bang, gua takut," tukasnya menolak keras. 

Lelaki yang dipanggilnya abang itu pun terdiam. Ia berjongkok agar Arya tak perlu mendongak ketika menatapnya. 

"Ayah lagi, ya? Nanti abang coba bicara sama ayah. Sekarang kamu masuk dulu. Nanti sakit." 

Arya tetap menggeleng, seluruh tubuhnya menolak untuk datang ke sana. Taruna itu ingin pergi, ke tempat di mana mimpinya bisa terwujud, tempat di mana raganya bisa beristirahat dengan tenang. 

"Jangan takut, kan ada abang." 

Sungguh, Arya ingin mempercayai manusia ini, namun sisinya yang lain menolak tegas. Tidak ada yang bisa ia percaya selain Juni dan dirinya sendiri. 

"Kamu harus percaya sama abang biar abang bisa nolong kamu. Saya abang kamu, kan? Kita adalah keluarga, Arya." 

Taruna itu pun terdiam, perlahan hatinya melunak, dia mulai menatap sosok yang dipanggilnya abang itu dengan luluh. 

"Lu beneran sayang sama gua, atau cuma kasian doang?" tanyanya ragu kembali. 

Dean meneguk salivanya, bagaimana mungkin dia bisa tau jikalau dia pun ragu dengan dirinya sendiri?

Arya tersenyum sinis, diamnya Dean adalah sebuah jawaban. "Lu cuma kasian sama gua. Biar gimana pun kita bukan saudara. Lu sama gua itu beda. Kita enggak cocok satu sama lain. Gua heran, kenapa ayah mutusin buat ngadodsi gua kalau dia punya lu yang sempurna." 

Taruna itu menyingkirkan jaket pemberian Dean dari pundaknya. Lantas kemudian, melangkah melewati hujan dalam keadaan basah kuyup. 

••

Setelah Dean usai mandi, pemuda itu duduk di sebelah Arya yang tengah membaca buku pemberian ayahnya. Dia tahu bahwa sebenarnya Arya tidak memahami isi buku itu sama sekali, namun ia mencoba. 

"Sini, biar tangan kamu abang obati dulu." Sama seperti Arya yang mencoba untuk memenuhi ekspektasi ayahnya, Dean juga mencoba, mencoba jadi abang yang baik untuk adek angkatnya tersebut.

Arya tidak menghiraukan ucapan Dean barusan, netranya asyik menatap setiap kalimat dalam buku tersebut. 

Merasa agak kesal, Dean pun menarik paksa tangan adeknya yang dipenuhi oleh beberapa sayatan dan juga goresan. Sebagian dari bekas tersebut sudah mulai mengering, namun ada beberapa luka yang terlihat masih merah. Pemuda itu dengan telaten dan juga sabar mengoleskan obat pada luka-luka tersebut, sayatan yang agak dalam ia balut dengan kasa dan juga kapas. 

"Jangan lakuin ini lagi, rasanya pasti sakit, kan?" 

"Enggak jauh lebih sakit dari hati gua," balasnya singkat. 

"Ayah sayang kamu, dibandingkan foto kecil abang, foto kecil kamu yang lebih banyak di galeri hp ayah," tukas Dean mulai memasukkan obat-obat itu lagi ke dalam kotak obat. "Jadi, jangan pernah berpikiran untuk menyerah. Ayah pasti sedih." 

Arya tertawa sumbang, benarkah apa yang dikatakan lelaki ini? Apa dia tidak cemburu atau membenci dirinya yang tak berguna ini? 

"Kalau ayah sayang gua, semua luka-luka yang ada di tangan gua ini nggak akan ada. Ayah lu udah gagal. Harusnya sebelum ngadopsi gua dia mikir dulu." 

"Jangan pernah bilang kayak gitu soal ayah. Kamu nggak tau apa-apa." 

"Iya, emangnya gua siapa harus tau semua tentang keluarga lu? Gua cuma anak pungut yang harus tau balas budi. Itu yang ayah lu mau," katanya tajam. 

"Berhenti bilang ayah lu, dia juga ayah kamu, kalau bukan karena ayah, entah gimana nasib kamu. Harusnya kamu bersyukur," tukas Dean berang, netranya menyorot tajam. 

"Lu sama ayah sama aja," ujar Arya beranjak dari sana. Taruna itu membanting buku yang tengah ia baca lantas mengunci diri di dalam kamar.

Sementara itu, Dean terduduk lemas di atas sofa, menyesali dirinya yang telah mengatakan hal yang menyakiti hati anak itu. 

"Kita sama Arya, sama-sama terbuang. Setelah menikah, ibu ngelupain gua dan enggak peduli sama gua sama sekali, sedangkan ayah, beliau adalah pria paling dingin yang pernah gua kenal. Dia emang biayain kuliah gua, bangga-banggain gua ke orang lain, tapi ketika kita duduk berdua, enggak ada satu pun percakapan yang keluar. Itulah kenapa gua bilang lu harusnya bersyukur. Ayah masih marah sama lu, masih nyuruh lu ini itu. Seenggaknya dia masih nganggep lu ada." 

••••

Ps: Maaf kalau ceritanya sedikit lebih kelam dari dugaan.

Arya dan abang Dean

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arya dan abang Dean

"Kita sama-sama terbuang, makanya gua bilang lu harus lebih bersyukur, Arya."

-Bang Dean-

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang