Puncak Komedi

127 16 2
                                    


 Juni pikir, kebahagiaan yang dirasakannya saat ini akan abadi selamanya, tetapi ternyata dia salah. Tuhan punya rencananya sendiri untuk hidupnya. Hari ini langit ditutupi oleh awan hitam, dan hujan pun jatuh membasahi bumi, di lorong rumah sakit, dia dan Jo mondar mandir gelisah. Padahal mereka baru saja tertawa tadinya, bermain game dengan puas, dan kesenangan itu harus hancur hanya dalam hitungan detik. Ketika Smartphone Jo berbunyi, dan ketika suara asing itu menyapa, dunia Juni seakan buram seketika. Jo bahkan sampai terduduk lemas hingga dunianya terasa sangat hening. Jika bukan karena Juni yang mengguncang-guncangkan tubuhnya, mungkin mereka tak akan ada di sini. 

Pintu yang sedari tadi mereka tunggu untuk dibuka akhirnya terbuka juga, menampilkan wajah seorang pria berkaca mata dengan snelli putihnya. Wajah pria tersebut terlihat lelah dan juga putus asa. Ketika Jo dan Juni menghampirinya, pria itu menggeleng. Mengisyaratkan bahwa semuanya sudah selesai, tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menyampaikan kabar duka ini kepada kedua remaja yang terlihat sangat khawatir tersebut. 

"Orang tua kalian sudah tiada, saya turut berduka cita," katanya seraya menunduk. Lantas menepuk-nepuk pundak kedua anak tersebut secara bergantian sebelum akhirnya berlalu dari sana. 

Jo terpaku, begitu pun dengan Juni yang terlihat sangat terluka. Belum habis dukanya yang kemarin, kini dukanya bertambah lagi. Kali ini lebih menyakitkan dari yang pertama. Kenapa kenapa kenapa adalah kata yang selalu terucap dari dalam hati dan pikirannya. 

Selama ini Juni sudah mencoba sabar atas apa pun yang menimpanya. Mengetahui kakinya tak bisa lagi digunakan untuk berjalan adalah duka pertamanya yang amat sangat menyakitkan. Menerima fakta bahwa ia tak bisa lagi berjalan tak semudah itu. Apa lagi dia baru berusia tiga tahun kala itu. 

"Tuhan pasti benci banget sama gue," kata Juni tiba-tiba. Napasnya menderu menahan tangis yang bisa saja pecah kapan saja. Gumaman Juni tersebut menyadari Jo dari keterpakuannya. Taruna itu tak mengucapkan apa pun, ia hanya berjalan menuju ruangan di mana kedua orang tuanya berada. 

Juni melihat itu, selain dia, Jo mungkin lebih terluka, dan anak itu pasti sangat terpukul dari dirinya. Perlahan Juni pun mendorong kursi rodanya, menyusul Jo yang lebih dulu masuk, dan yang Juni dapati hanyalah Jo yang duduk bertekuk lutut di sebelah brankar kedua orang tuanya. Suara isakan kecil keluar dari sana, membuat Juni merasa iba. Dengan hati-hati ia pun turun dari kursi rodanya, menyeret tubuhnya agar bisa duduk di sebelah saudaranya itu. 

"Jo," lirihnya tak jelas. Namun, tak ada sahutan dari lelaki tersebut. Akan tetapi, suara isakan masih saja terdengar. 

"Mereka bilang bakalan pulang, dan bunda bilang mau masakin makanan spesial untuk kita berdua, tapi kenapa malah jadi gini, Jun? Kenapa pulangnya bukan ke rumah?" tanya Jo lirih. Pemuda itu mengangkat kepalanya. Matanya memerah, pun dengan wajahnya. Selama mengenal Jo, baru kali ini Juni melihat sosok Jo yang ini. Sosok Jo yang sangat rapuh. 

Juni memilih untuk diam, selain tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jo, dia juga marah, kepada apa pun yang selalu membuatnya kecewa, termasuk kepada Tuhan. Apa Juni akan sangat berdosa jika menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang menimpa hidupnya? Atau haruskah dia menyalahkan dirinya sendiri karena memilih hadir dengan cerita hidup yang seperti ini? 

"Jo, apa gue berdosa jika menyalahkan Tuhan?" 

"Gue nggak tau, Jun," balas pemuda itu pada akhirnya, mereka sama-sama terluka. Pelita yang selalu menerangi setiap jalan yang mereka tempuh kini sudah padam. Sekarang kepada siapa mereka harus berpegang? 

°° 

Setelah kabar meninggalnya kedua orang tua Jo tersiar, rumah mereka ramai dikunjungi oleh orang-orang, termasuk keluarga besar Jo, semuanya hadir. Mereka coba menenangkan Jo dan menguatkan anak itu. Hanya beberapa yang ikut menyemangati Juni, dari awal Juni bergabung dengan keluarga ini, tak ada yang benar-benar menerimanya. Selain dirinya sendiri, Juni cuma punya Jo dan ayah bunda. Akan tetapi, sekarang ayah dan bunda sudah tidak ada. Jadi, Juni hanya punya Jo sekarang, satu-satunya harapan di dalam hidupnya. Jika Jo juga pergi, maka Juni tak punya apa-apa lagi.

"Jo, setelah ini apa?" tanya Juni putus asa. Mereka hanya remaja berusia enam belas tahun, tak banyak yang bisa mereka lakukan, namun menangisi keadaan pun tidak berguna. 

"Menurut lo apa?" tanya Jo balik bertanya. 

"Jalani hidup kayak dulu lagi, cuma itu yang bisa kita lakuin sekarang. Mungkin kalau sendiri akan terasa sulit, tapi kalau berdua, kita bisa laluin semuanya sama-sama, kan, Jo?" tanya Juni penuh harap. Dari apa yang Juni dengar dari orang kepercayaan kedua orang tua mereka. Ayah dan bunda sudah menyiapkan segalanya untuk Jo dan Juni, mereka bahkan memiliki tabungan yang dapat menjamin kehidupan Juni dan Jo nantinya. 

"Apa lo yakin kita bisa, Jun? Apa lo bisa jamin?" tanya Jo meragu. Selama ini dia terbiasa dengan adanya ayah dan bunda. Jo tidak semandiri Juni yang bisa berdiri sendiri tanpa orang tua. Kalau diibaratkan dengan kata-kata. Kaki Jo pincang sebelah, bahkan untuk berdiri sendiri pun ia tak sanggup. 

"Kenapa lo berpikiran kayak gitu, Jo? Lo ragu sama gue? Gue bahkan bisa ngurus lo tanpa bunda." 

"Gue cuma mencoba realistis, Jun. Jangan berdebat di situasi kayak gini, kita sama-sama berduka," tukas Jo meninggalkan Juni sendirian. Anak itu duduk di taman belakang dan lagi-lagi melamun di sana. Hatinya terasa sangat hampa. Setelah ini, Jo bahkan tak tahu harus melakukan apa. 

"Tante tau, semuanya terasa sulit buat kamu," ujar Riana yang merupakan adik dari ayahnya Jo, wanita itu duduk di sebelah Jo dan mengelus kepala anak itu dengan lembut. 

"Hidup tanpa orang tua emang nggak semudah itu, rasanya kita enggak punya hari esok, tapi hidup akan terus berjalan, Jo. Kamu nggak mungkin kayak gini terus, kan? Ngelamun dan mengkhawatirkan hari yang akan datang." 

"Terus aku harus apa?" tanya Jo mulai putus asa. 

"Tinggal sama tante, tante bakalan penuhin semua kehidupan kamu, tapi tante cuma mau urus kamu, tante nggak mau urus Juni." 

Jo yang tadinya melamun, sontak saja menoleh pada tantenya itu. Ia tak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu barusan. 

"Aku sama Juni itu saudaraan, kalau tante mau bawa aku, tante juga harus bawa Juni," tukasnya tak terima. Jahat sekali pikiran tantenya ini.

"Dia bukan saudara kamu Jo, dia cuma anak angkat, dan dia bahkan nggak ada hubungannya sama keluarga ini. Pikirin tawaran tante baik-baik. Kamu mau ikut tante, atau tinggal di sini bareng Juni?" 

Riana pun bangkit dari duduknya. "Tante tunggu jawaban kamu sampai besok." Setelah mengatakan itu, wanita itu pergi meninggalkan Jo dan kembali bergabung dengan keluarganya yang lain. 

Jo mengacak-ngacak rambutnya frustasi. "Sialan!" umpatnya sembari menunduk.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang