Kebenarannya

125 19 1
                                    

Juni dan Jo kebetulan berada di ruang belajar. Pintu itu ditutup atas perintah Jo. Taruna itu ingin fokus katanya, sebentar lagi ujian tengah semestar akan dimulai. Jo dan Juni tentu harus belajar dengan benar. Bedanya Jo dan Juni saat belajar dilihat dari kegigihan. Kalau sudah belajar, ya Jo bakalan belajar, tapi Juni tidak begitu. Sejam belajar, sejam lagi main game, nanti sejam lagi baca novel yang waktu itu diberikan oleh ayah Sasha. 

Dari bilik kamar, sayup-sayup Juni dan Jo mendengar percakapan kedua orang tuanya yang kebetulan ada di rumah. Awalnya mereka tidak terlalu tertarik. Lantaran untuk apa juga? Akan tetapi, ketika mereka mulai membahas tentang Juni. Kedua taruna itu pun diam-diam mendengarkan. 

"Ini serius, aku nggak tau harus gimana," ujar ibunda Jo dengan nada yang terdengar agak sedih. "Dia minta Juni," sambung wanita itu lagi. 

Jo dan Juni yang mendengar percakapan itu pun saling memandang penasaran. Minta Juni? Apa maksudnya? 

"Walaupun Juni enggak lahir dari rahimku, kamu tau, kan? Aku menyanyangi dia, sama seperti aku menyanyangi Jo. Dari umur dia delapan tahun, aku urus dia dengan baik hingga segede ini. Aku pastiin dia nggak kurang apa pun, aku pastiin dia nyaman tinggal bareng kita. Terus tiba-tiba aku dapet telpon kayak gitu. Gimana aku nggak sedih?" 

Ayah Jo paham betul bagaimana perasaan yang dirasakan oleh istrinya. Dia pun juga merasakan hal yang sama. Rasa sayangnya terhadap Jo dan Juni itu sama. Tak ada yang dibeda-bedakan, dan mendengar penuturan istrinya juga membuatnya ikutan sedih. 

"Mereka ngomongin apa, Jo? Kenapa bahas-bahas gue?" tanya Juni tidak melanjutkan bacaannya. Begitu pun dengan Jo yang mendadak berhenti belajar, padahal dia tak pernah begitu sebelumnya, tetapi kalau sudah membahas Juni, Jo khawatir jadinya. 

"Gue juga nggak tau, Jun," balas Jo lirih. 

"Kita belum tau kebenarannya. Bisa jadi orang itu bohong entah dengan alasan apa," tukas Winata menenangkan sang istri. 

"Dia enggak bohong, dia bahkan punya buktinya. Dia beneran ayah Juni, Winata," ujar bunda sukses membuat Juni kaget bukan main. Ayahnya, masih ada? 

"Winda, gimana kamu bisa yakin?" 

"Karena aku kenal dia," tukas Winda akhirnya menunduk. "Dia bilang, dia mau bertanggung jawab dan menebus kesalahannya sama Juni. Dia mau ambil Juni dari aku, Nat," sambung Winda lagi terdengar pilu. 

"Jadi, ayah aku masih ada?" tanya Juni dengan Jo yang berdiri di ambang pintu kamar. Tentu saja Winda dan Winata kaget karena itu. 

"Juni mau dibawa pergi?" tanya Jo sulit menerima fakta tersebut. Delapan tahun mereka bersama, saling berbagi dan mengerti satu sama lain, dan sekarang mereka bakalan dipisahin? 

"Nak, bukan begitu," ujar bunda mendadak lemas. Seharusnya mereka tidak membicarakan hal seperti ini di sini.

"Ayah aku, siapa?" tanya Juni penasaran. Dia penasaran dengan orang yang telah membuangnya bertahun-tahun, dan tiba-tiba ingin mengambilnya lagi? Untuk apa? 

"Sekarang kalian berdua tidur dulu, biar ayah sama bunda yang urus ini. Kalian jangan khawatir. Percaya sama kami berdua, oke?" 

"Jo dan Juni tidak punya pilihan lain selain mematuhi apa yang diperintahkan oleh bunda, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. 

"Jo, gue nggak mau ketemu sama ayah. Gue nggak mau tinggal bareng dia. Keluarga gue di sini Jo, enggak ada yang lain," tukas Juni pelan, ia mendorong kursi rodanya menuju balkon kamar, menenangkan pikirannya yang mendadak kacau. 

"Gue juga nggak mau pisah dari lo Juni. Kita udah sama-sama selama delapan tahun. Lo bahagia ada di sini, dan keluarga gue bahagia karena ada lo. Kenapa dia tiba-tiba datang, Jun? Bikin semuanya jadi kacau." 

"Gue juga nggak tau apa maunya dia setelah buang gue selama bertahun-tahun. Kenapa dia datang di saat gue udah bahagia, Jo? Kenapa?" 

Jo menggeleng, kegelisahan menyelimuti sanubarinya. Tak pernah sekalipun terbayang oleh Jo akan berpisah dengan Juni. Itu salah satu mimpi buruk di dalam hidupnya. 

"Setau gue, lo bisa milih mau tinggal sama siapa karena lo udah gede," ujar Jo mencoba mengingat pelajaran KWN-nya mengenai hak asuh anak. Itu pun kalau dia tidak salah ingat. 

"Iya juga," balas Juni bernapas dengan lega. 

"Tapi, kalau kasusnya dibawa ke pengadilan gimana?" tanya Jo kembali cemas. 

"Gue juga nggak tau, umur gue baru enam belas, mana paham gue sama yang beginian, tapi kayaknya gue bakalan bisa milih mau tinggal bareng siapa." 

"Kasus lo beda, Jun, itu kalau orang tuanya bercerai, tapi kan lo bukan anak kandung bunda sama ayah. Gimana kalau ayah kandung lo yang menangin kasusnya?" 

"Mungkin gue bisa kalau kasusnya nggak dibawa ke pengadilan, gue juga nggak tau Jo. Sekarang kita cuma bisa percayain ini sama orang tua kita, mereka pasti udah nyiapin yang terbaik, tapi kalo dibawa ke pengadilan pun, dia nggak bakalan menang. Dia udah nelanterin gue Jo. Inget itu. Orang tua kandung yang nelanterin anaknya, hak asuhnya aja bisa dicabut, apa lagi yang kayak gini. Kita bakalan tiggal bersama selamanya. Yakin aja sama gue," tukas Juni menenangkan saudaranya itu. Semoga saja perhitungannya tidak salah. 

"Semoga ayah lo bukan orang gila yang ambis kayak gue," tukas Jo diam-diam berdoa di dalam hati, kalau itu sampai terjadi selesai sudah. 

••

"Gila kamu," tukas Arini tiba-tiba. Beberapa hari yang lalu Arini dikagetkan dengan Rendra yang menghubungi orang tua asuh Juni dan mengaku kalau dia adalah ayah kandung dari Juni, dan sekarang dia dikagetkan lagi dengan Rendra yang mengatakan bahwa ingin membawa Juni untuk tinggal bersama di sini. 

"Dia pasti mau nerima aku sebagai ayahnya. Aku mau nebus kesalahan sama anak yang nggak berdosa itu, Rin," ujar Rendra agak memohon. Percakapannya dengan Juni waktu itu membuat hatinya sakit, dan semakin sakit kala mengingat kesalahannya pada anak itu. Sejatinya dia adalah ayah yang gagal. Tidak hanya untuk Juni, tetapi juga untuk Sasha putrinya. 

"Itu sebelum dia tau sejahat apa kamu sama dia. Juni juga punya perasaan. Biarin aja dia dengan hidupnya saat ini. Toh, dia baik-baik aja, kan?" 

"Kamu ngomong gitu karena kamu bukan ibunya, aku tau sebenci apa kamu sama dia. Ingat siapa yang menolak mentah-mentah sewaktu aku mau bawa dia pulang?" 

Arini menghembuskan napasnya dengan kasar. Dadanya naik turun menahan amarah. "Kamu jelas tau sampai kapan pun aku nggak bakalan bisa nerima dia. Aku nggak akan pernah ngurus dia dengan baik. Waktu itu kalau aku iyain, dia bakalan tersiksa, Rendra. Anak itu juga butuh kasih sayang seorang ibu. Aku emang jahat, tapi itu demi kebaikan dia juga." 

"Kamu pikir, setelah mendengar pengakuan kamu waktu itu aku nggak murka? Kalau bukan karena Sasha, aku pasti udah cerai sama kamu waktu itu. Kamu itu bajingan, jangan bersikap sok baik!" 

"Aku nggak peduli, enggak masalah kalau kamu enggak bisa sayang sama dia. Aku yang bakalan ngasih itu ke dia. Juni bakalan tinggal di sini, apa pun caranya," tukas Rendra keras kepala. Seperti yang dikatakan Juni, selagi dia mau mengakui kesalahannya, masih belum terlambat untuk memperbaiki semuanya, kan? Kira-kira seperti itu, kan, makna ucapan anak itu tempo lalu? 

"Terserah, dasar keras kepala. Aku nggak bakalan ngurus dia, camkan itu baik-baik." 

"Oke," balas Rendra teguh dengan pendiriannya.

Dirgantara Juniar (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang