Terlambat

32 8 1
                                    

    Mars menatap Jeni dengan datar. Sebenarnya kenapa kedua sahabatnya membawa Mars ke sana? Ke sebuah rumah sakit. Dan sekarang Mars harus berdiam diri di kantin rumah sakit bersama Jeni, sedangkan Vani mendadak hilang entah ke mana.

    "Muka lo jangan tegang gitu dong." Jeni tertawa jahil. Wajah suntuk Mars adalah hiburan baginya. Apalagi suntuk, plus kesal, plus marah, dan plus bingung. Dia akan sangat-sangat senang. Seperti sekarang ini.

    "Bodo amat! Lagian kalian berdua ngapain bawa gue ke sini? Si Vani sakit?"

    Jeni menggeleng cepat. "Enggak! Vani nggak sakit."

    "Lah? Terus? Ngapain kita ke sini?"

    Jeni tersenyum jahil. "Mau meriksa otak lo, kali aja kebentur sesuatu terus geser dari tempatnya."

Buk!

    Jeni mengusap-usap kepalanya yang ditimpuk Mars menggunakan sling bag gadis itu. "Lo kalo ngomong asal jeplak aja! Di filter dulu kek apa kek. Lo ngomong gitu jatuhnya doain gue!"

    Jeni mengerucutkan bibirnya kesal. "Ya tapi yang gue omongin ini bener. Lo kayaknya kena gang-"

Buk!

    Jeni mengerang kesal. Lagi-lagi Mars menimpuknya dengan sling bag. "Sekali lagi lo ngatain kesehatan jasmani rohani gue, gue gibeng pala lo!"

    "Bodo, wlek." Jeni menjulurkan lidahnya dengan mimik meledek. Hal itu jelas membuat Mars semakin kesal dam menendang kaki Jeni di bawah meja.

    "Ish, lo kok kekerasan banget, sih?!"

    Mars mengedikkan bahunya. "Bodo, wlek."

    Jeni mendengus kesal. "Huuu bisanya copy paste."

    "Bodo amat, nggak denger gue merem." Jeni mencubit lengan Mars dengan gemas. Tapi, Mars hanya diam saja, seperti sudah muak dengan adegan adu mulut itu.

    "Em ... jadi gimana?" Dirasa Mars mulai mengacuhkannya, Jeni mencoba mengalihkan pembicaraan.

    "Gimana apanya?" tanya Mars dengan dahi berkerut.

    "Lo sama Bintang, Bintang Permana."

    "Nggak gimana-gimanalah," ketus Mars.

    Jeni menatap sekelilingnya. "Lo mau tahu? Gue udah ketemu Bintang."

    Mars yang tadinya enggan menatap Jeni, mendengar pernyataan gadis itu langsung memusatkan perhatiannya pada Jeni. "Kapan?"

    "Jauh hari." Jeni menyeduh kopi hitamnya.

    "Kenapa baru ngomong??" tanya Mars dengan intonasi yang mulai tinggi.

    "Lo kan nggak peduli." Jeni tersenyum miring. Hal itu jelas membuat Mars geram.

    "Dan asal lo tahu, pas gue ketemu dia, dia lagi sama cewek."

    Mars mendengus kesal. "Cih, dasar playboy," cicitnya membuat senyum miring Jeni semakin lebar.

    "Lo nggak cemburu?"

    Mars terkekeh sinis. "Gue? Cemburu? Buat apa?"

    Ditatapnya Mars yang mulai gelisah di tempat duduknya. Jeni yakin, Mars berbohong. "Buat pajangan."

    Mars mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja kantin. Mata gadis itu mulai menatap Jeni dengan kikuk. "Kalian kenalan?" tanyanya dengan lirih.

    "Lo nanya gue?"

    Mars mendengus kesal. "Ya kali gue nanya tukang siomai!"

    Jeni terkekeh geli. "Bukannya lo nggak peduli?"

    Mars semakin mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja kantin. "Y-ya siapa bilang gue nggak peduli??!"

    "Tadi lo bilang."

    "Enggak! Gue nggak bilang! Lo yang bilang!"

    "Oohh peduli ternyata."

    "Iya gue peduli, kenapa??! Ada yang salah??!"

    Jeni tampak berpikir. "Enggak sih enggak salah, tapi rada aneh aja. Bukannya tadinya lo acuh banget, terus katanya bingung ...."

    Mars memutar bola malas. "Yayaya, terserah lo aja. Yang gue mau tahu sekarang, dia ngomong apa aja?!"

    "Buset ngegas." Jeni tersenyum jahil.

     "Cepet deh nggak usah basa-basi. Dia ngomong apa aja!" Mars merasakan dadanya yang mulai berdebar aneh, kala wajah Jeni mendadak murung. Mata lentik gadis itu menatap Mars sendu dan bercampur takut. Ia rasa, akan ada kabar buruk.

     "Kita kenalan, dan gue cerita kalai gue sahabat lo."

    Tiba-tiba Mars menatap tajam Jeni. Otaknya berpikir keras bagaimana Jeni bisa tau wujud seorang Bintang? "Lo bohong, bukannya lo nggak tahu wajah Bintang? Bintang juga nggak tahu wajah lo, bahkan Bintang nggak tahu kalau gue punya sahabat kayak lo."

    Mars bisa merasa dengan jelas jika Jeni mendadak gelagapan. Gadis itu sampai buru-buru menghabiskan kopinya. Setelah habis, Jeni menatap Mars kikuk. "W-waktu itu dia ngomongin lo sama cewek di sebelahnya. Jadi, gue tahu pasti dia itu Bintang. Pas gue deketin terus gue ajak kenalan, ternyata bener, dia Bintang Permana."

    Mars hanya ber 'oh' saja.

Cewek di sampingnya? Cih, playboy banget tuh cowok! Baru aja lepas dari gue. Eh? Emang tadinya terikat? Anjir Mars lo kalau ngomong suka ngelantur.

    "Dan di hari itu gue tahu, Bintang bakal tunangan sama mantannya."

    Mars menggebrak meja kantin, membuat beberapa pasang mata menatapnya kaget. Tapi Mars masa bodo. Matanya malah menatap Jeni dengan nyalang. "Lo ngomong apa barusan! Tunangan?!"

     Jeni tersenyum kikuk. "Iya," jawabnya lirih.

    "Nggak usah ngibul deh! Gue tahu mana yang bohong mana yang enggak!" Mars semakin menajamkan tatapannya. Entah kenapa dia mulai cemas. Dan dia akui, di dasar hatinya, dia merasakan sakit yang menyesakkan rongga dadanya.

    "Gue nggak bohong! Bukannya belakangan ini gue udah sering bilang ke elo? Supaya nggak ngebohongin perasaan lo sendiri. Supaya enggak nyesel kalau lo kehilangan Bintang buat selamanya. Tapi lo keras kepala."

    Mata Mars mulai berkaca-kaca. "Lo bener, Jen. Gue takut Bintang sukanya sama Marshandra, bukan gue. Gue takut Bintang nggak balik cinta sama gue. Lo bener Jen, gue nyesel. Gue nyesel udah nggak jujur kalau gue suka sama Bintang, kalau gue sayang sama dia, dan gue nggak bisa apa-apa sekarang. Semuanya udah terlambat."

    Tubuh Mars menengang. Saat dua telapak tangan menutup kedua matanya dari belakang. Kata pertama yang bisa menjelaskan keadaannya sekarang adalah 'hangat' karena sosok di belakangnya merapatkan tubuhnya dengan Mars. Apalagi saat napas sosok itu menerpa telinganya.

    "Nggak ada yang terlambat. Gue selalu ada di sini, buat elo, Marshanda."

Mars Salah Sasaran (Short Story✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang