Tiga hari berjalan, Hanan dan kedua sahabatnya berusaha keras mencari bukti yang mereka inginkan. Namun, semua seolah berjalan di luar perkiraan. Hingga detik ini tak ada tanda-tanda positif. Hanan mulai cemas. Banyak hal yang mengganggu pikirannya. Kalau sampai gagal mendapatkan bukti, ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi terhadap dalang penculikan itu. Berurusan dengan polisi, masalah tambah rumit, dan yang pasti pelakunya akan menanggung malu. Sejujurnya, kalau dugaannya benar, ia tak menginginkan hal itu terjadi.
Hanan mengacak-acak rambutnya. Entahlah! Penculikan dirinya merupakan sesuatu yang ganjil. Mana ada orang diculik malah diperlakukan layaknya teman; dilayani dan tanpa disakiti sedikit pun. Pasti ada sesuatu yang diinginkan pelakunya. Inilah yang membuat pikirannya menerawang ke mana-mana.
“Kamu yakin kalau dia pelakunya?” Jery memecah lamunan Hanan. Mereka bertiga duduk di bawah pohon dekat kantin. Tiga hari bergerak tanpa hasil membuat Jery dan Slamet mulai putus asa.
“Sangat yakin,” jawab Hanan mantap.
“Apa yang membuatmu begitu yakin?” Slamet ikut bicara.
“Entahlah.”
“Heran, kamu yakin kalau dia pelakunya, tapi tak tahu alasannya,” sahut Jery kemudian menyeruput es teh di depannya.
“Jangan sampai kita salah menuduh orang, bisa runyam nanti urusannya. Bisa-bisa kita disebut tukang fitnah.” Slamet kembali menimpali.
“Iya, aku tahu. Makanya kita lakukan penyelidikan ini secara rahasia. Nanti kalau sudah cukup bukti, baru kita bongkar pelakunya di depan kepala sekolah.”
“Semoga dalam empat hari ini keberuntungan berpihak pada kita,” ucap Jery.
Beberapa hari ini, mereka bertiga sudah menjalankan perannya dengan baik. Tiap hari selalu datang lebih awal demi bisa mengamati orang yang menjadi targetnya. Pulang pun harus buru-buru demi bisa standby di pintu gerbang untuk melakukan pengamatan.
Terasa melelahkan memang, apalagi hingga detik ini belum menampakkan hasil. Hanan kembali memberikan semangat untuk kedua sahabatnya agar tidak menyerah. Kalau sampai mereka berdua berhenti di tengah jalan, rencana Hanan bisa berantakan. Tak ada lagi orang yang bisa Hanan percaya untuk menggantikan mereka.
“Aku sangat mengharapkan bantuan kalian sampai detik akhir, apa pun hasilnya.” Hanan mengungkapkan permohonannya.
“Iya. Enggak mungkinlah kami membiarkanmu bekerja sendirian,” kata Slamet sambil menepuk punggung Hanan.
“Maaf, ya, aku hanya bisa mengamati dari balik layar. Biar misi ini berjalan lancar tanpa mengundang kecurigaan target kita,” tambah Hanan.
“Tenang aja. Kami paham, kok,” sahut Jery.
“Kalian memang tak ada duanya.”
Ketiganya tertawa lepas. Hanan sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Kedekatan mereka terbentuk ketika awal masuk sekolah dulu. Hanan yang pendiam terlibat permasalahan dengan teman sekelas yang lain. Tak disangka, temannya itu melancarkan pukulan yang membuatnya harus dilarikan ke UKS. Jery dan Slamet yang mengantarkannya waktu itu. Di UKS itulah awal keakraban mereka tercipta hingga sekarang.
Hingga hari keenam, mereka sama sekali belum mendapatkan petunjuk. Mobil yang biasa mengantar jemput orang yang mereka curigai tak pernah muncul sama sekali. Mungkinkah orang yang mereka curigai mengetahui rencana Hanan? Kecemasan Hanan mulai muncul kembali.
Rasa cemas itu makin menghantuinya manakala Zaini menanyakan perkembangan penyelidikannya. Hanan menjawab pertanyaan itu apa adanya. Zaini menarik napas pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle for Dreams (End)
Teen FictionHanan diculik dan disekap di suatu tempat dengan mata tertutup. Ia tidak tahu motif penculikan dirinya. Makin heran lagi ketika dirinya diperlakukan dengan baik tanpa sedikit pun disakiti. Di sisi lain, masalah yang menghampiri kian bertubi-tubi, se...