Hanan, Huda, dan Dina menuju ruang BK. Mereka bertiga segera dipanggil pihak sekolah untuk konfirmasi kasus yang barusan terjadi di kelas. Hanan tampak tenang berjalaan di samping Huda. Dina sendiri terlihat murung. Ia mengekor kedua temannya tersebut. Gadis itu menatap ke arah Hanan yang berjalan begitu tenang. Ada rasa tak percaya kalau Hanan pelakunya. Rasa iba tiba-tiba muncul. Di sisi lain, ia masih teringat jelas perkataan Vanny sebelum keluar kelas tadi.
“Pokoknya kamu harus berusaha agar Hanan dapat hukuman berat. Pojokkan dia supaya para guru percaya. Awas kalau sampai Hanan bebas dari hukuman.”
Perkataan Vanny tersebut membuatnya berada pada posisi yang sulit. Ia tak tega menzalimi Hanan, tetapi tak mampu juga mengkhianati gengnya. Batinnya benar-benar bergolak hebat. Perang batin itu masih belum reda hingga masuk ke ruang BK. Rini dan Indriyani sudah menunggu kedatangan mereka.
“Sebelumnya kami minta maaf karena telah mengganggu waktu belajar kalian. Kami hanya ingin menggali lebih dalam tentang masalah yang barusan terjadi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berlebihan.” Rini mulai membuka pembicaraan.
“Sekarang coba Dina ceritakan kapan merasa kehilangan ponsel tersebut?” Indriyani mulai menginterogasi.
Dina menatap kedua gurunya sebentar.
“Saya tahu hape itu tidak ada ketika masuk kelas setelah dari kantin.”
“Kamu taruh di mana ketika ke kantin?” lanjut Indriyani.
“Saya menaruhnya dalam tas.”
“Yakin?” sahut Rini.
“Yakin, Bu.”
“Oke. Berarti sudah jelas kalau ponsel itu berada dalam tas ketika ditinggal ke kantin,” kata Indriyani menyatakan poin penting. “Sekarang, coba Hanan ceritakan posisimu ketika istirahat tadi.”
Hanan menarik napas sebentar.
“Begini, Bu. Ketika bel istirahat berbunyi, saya langsung ke keluar menuju masjid untuk salat duha; rutinitas saya setiap istirahat pertama. Bu Guru bisa tanyakan hal ini pada Jery dan Slamet karena sebelum keluar saya pamit pada mereka.”
Hanan menghentikan kata-katanya sebentar. Semua yang hadir tampak serius mendengarkan penjelasannya.
“Untuk mengecek kebenaran kata-kata saya ini, bisa tanyakan langsung pada Rahman ketua Rohis. Saya bertemu dengannya di sana dan sempat mengobrol sebentar. Setelah dari masjid, saya langsung ke perpustakaan dan meminjam sebuah buku. Bisa cek buku yang saya pinjam pada daftar peminjam kalau tidak yakin saya berada di sana. Karena antre mencatatkan buku yang saya pinjam, saya terlambat masuk kelas dan tidak tahu runutan kejadian itu. Tahu-tahu sudah heboh dan jadi tersangka karena barang bukti berada dalam tas saya.”
Hanan mengakhiri penjelasannya. Rini dan Indriyani manggut-manggut. Keduanya terdiam menganalisis penjelasan itu.
Mendengar semua hal yang telah disampaikan tadi, Dina makin yakin kalau Hanan tidak terlibat masalah itu. Dari urutan waktu yang telah didengar tadi, mustahil ada celah kembali ke kelas dan mengambil ponselnya. Lalu siapa dalang di balik semua kekisruhan ini? Mungkinkah Vanny? Ketika istirahat tadi ia juga ikut ke kantin. Mustahil juga kalau ketua gengnya itu pelakunya. Dina terus bermain-main dengan pikirannya. Memang dalam perjalanan ke kantin tadi, Vanny pamit ke toilet sebentar. Apa mungkin Vanny tidak ke toilet, tetapi belok ke kelas, mengambil ponselnya, dan menaruh dalam tas Hanan?
Dina makin pusing dengan berbagai pertanyaan yang berkelebat di kepala. Tak mungkin menuruti keinginan Vanny untuk memojokkan Hanan. Sedangkan ia sendiri bisa mengukur tingkat kejujuran Hanan. Dina menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle for Dreams (End)
Teen FictionHanan diculik dan disekap di suatu tempat dengan mata tertutup. Ia tidak tahu motif penculikan dirinya. Makin heran lagi ketika dirinya diperlakukan dengan baik tanpa sedikit pun disakiti. Di sisi lain, masalah yang menghampiri kian bertubi-tubi, se...