Bab 5 Sebuah Mimpi

11 3 0
                                    

“Tidak!”

Sekali lagi Zakiyah menegaskan keputusannya. Terdengar menyakitkan, tapi itu adalah keputusan yang paling rasional dengan kondisi saat ini. Harga mati dan tak bisa ditawar lagi.

“Kenapa, Bu?” kejar Hanan masih berharap ibunya berubah pikiran.

“Apa kamu buta? Lihat dirimu dan lihat kita ini seperti apa? Jangan karena keegoisanmu lantas mengorbankan keluarga ini!” Zakiyah menarik napas dalam dan menatap Hanan tajam. “Lihat teman-teman sebayamu, mereka tahu diri dan tidak menuntut lebih pada keluarganya. Lebih memilih bekerja untuk membantu menopang ekonomi keluarganya. Kamu malah sok kaya. Zaman sekarang ini mau ngapa-ngapain butuh uang, tidak cuma modal dengkul.”

“Benar apa kata ibumu itu, Han. Bapak, sih, menghargai niat baik kamu. Namun, dengan kondisi kita seperti ini, apa mungkin bisa mewujudkan mimpimu itu?” Jamal ikut buka suara.

Hanan terdiam. Memang, tak ada yang salah dengan apa yang disampaikan kedua orang tuanya. Segala sesuatu memang butuh uang, bahkan sekadar parkir atau ke toilet umum pun perlu uang. Hanan sadar, mimpinya memang terlalu tinggi untuk ukuran keluarga seperti dirinya. Akan tetapi, mimpi itu telanjur mengakar kuat di hati. Harapan untuk berubah menjadi lebih baik telah mengaliri seluruh aliran darahnya. Walau tidak bisa berubah dalam urusan materi, setidaknya bisa berubah dalam hal pendidikan.

“Bu, sekarang ini cari pekerjaan juga sulit kalau hanya mengandalkan ijazah SMP. Punya ijazah SMA saja, bisa kerja di pabrik pun cuma jadi buruh. Hanan ingin sesuatu yang lebih, setidaknya setingkat lebih baik dari itu semua.”

“Han, mimpimu terlalu tinggi. Jangan samakan dirimu dengan anak pejabat atau orang kaya. Kamu hanya anak petani yang menggarap sepetak sawah. Hasilnya pun cuma cukup buat makan. Gunakan otakmu untuk berpikir, jangan hanya menuruti kemauanmu saja.” Zakiyah tetap bersikukuh dengan keputusannya. Bukan tak memahami keinginan anaknya, tapi bertindak logis dengan kondisinya saat ini.

Hanan menyadari betapa berat memperjuangkan sebuah mimpi. Apalagi berada pada posisi yang tidak menguntungkan seperti dirinya. Bukan hanya kondisi ekonomi yang tidak mendukung, bahkan orang tuanya pun tak mendukung impiannya. Kalau disuruh memilih, Hanan pun tak akan mau dilahirkan dalam keluarga yang kekurangan. Pasti akan memilih punya orang tua yang kaya atau paling tidak berkecukupan. Namun, jika itu sudah menjadi takdir yang harus dijalani, maka tak ada seorang pun yang mampu menolaknya, termasuk Hanan.

Hanan mengingat prestasinya di SMP. Dari kelas satu sampai kelas tiga selalu juara kelas. Nilainya selalu tertinggi dibanding teman-temannya. Guru-guru sering memuji dan menganakemaskan dirinya. Bahkan jadi anak kesayangan guru matematika karena jago dalam mata pelajaran satu ini. Namun, pintar saja ternyata tidak menjamin seseorang akan beruntung dalam hidupnya, apalagi bisa menggapai mimpinya. Lebih-lebih jika terbentur masalah ekonomi, mimpi seindah apa pun bisa saja terkubur karenanya.

Ruangan sepi beberapa saat. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Hanan memperbaiki posisi duduk. Wajahnya datar, tak ada senyum yang terpancar. Zakiyah meraih baju di meja, mengambil jarum dan benang sewarna baju tersebut. Tak lama kemudian sudah asyik dengan pekerjaannya; menjahit bagian baju yang robek. Jamal menikmati rokok keretek yang tinggal setengah. Asapnya berpendar mengitari ruangan setiap kali diembuskan. Sesekali tangan kekar itu mencomot singkong goreng dan menyeruput teh pahit yang terhidang di meja.

“Kalau Hanan bisa dapat bantuan gimana, Bu. Ibu mengizinkan, ‘kan?” suara Hanan memecah keheningan. Ayahnya tak bereaksi, mulutnya komat-kamit mengunyah singkong goreng. Ia tahu, keinginan anaknya sangat kuat, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Bisa melihat anaknya lulus SMP saja sudah menjadi hal yang luar biasa. Andai kemiskinan tak menyelimutinya, pasti ia akan menyekolahkan Hanan setinggi mungkin. Tak hanya sampai SMA bahkan sampai lulus kuliah.

Zakiyah meletakkan baju di meja. Menatap Jamal sesaat, kemudian pandangannya mengarah pada Hanan. Tatapan keduanya bersirobok. Hanan menundukkan kepala, tak kuasa menantap mata tajam ibunya.

“Sampai berapa lama akan dapat bantuan itu? Apa kamu bisa menjamin selama tiga tahun akan dapat bantuan terus?”

Hanan tak langsung menjawab pertanyaan ibunya. Sejujurnya, ia pun belum paham apa ada bantuan seperti yang ia sampaikan tadi. Sewaktu SMP dulu, Hanan dapat keringanan biaya pendidikan karena ia pintar dan berprestasi. Di sekolah barunya nanti belum tentu ia bisa bersaing dan berprestasi seperti waktu SMP dulu. Mengingat sekolah yang jadi tujuannya adalah sekolah favorit dan terkenal di wilayah kecamatan tempatnya tinggal.

“Kamu tak yakin, ‘kan?” Zakiyah membuyarkan angan Hanan. “Sudahlah, tak usah menuruti keinginanmu yang belum jelas ujung pangkalnya itu. Lebih baik kamu cari kerja apalah yang penting halal dan menghasilkan uang. Kamu bisa menikmati uang hasil kerjamu itu sambil menyisihkan sedikit untuk ditabung. Kalau tabungan sudah banyak, kamu bisa bangun rumah dan menikah. Simpel, ‘kan? Tidak usah memikirkan impian yang tak mampu untuk menggapainya.”

Hanan benar-benar tertohok. Begitu dangkalkah pemikiran ibunya, hingga tak ada ruang sedikit pun untuk menghargai impian anaknya. Alih-alih menyetujui kemudian dicari jalan keluar untuk meraihnya, ini malah langsung dibumihanguskan sampai ke akar-akarnya. Hidup bisa saja dibuat simpel dan praktis, tapi tak berlaku juga untuk semua hal. Ada hal-hal tertentu yang perlu dipikirkan sampai dahi berkerut, perlu diperjuangkan sampai titik akhir, atau dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

“Bu, Hanan bisa mengerti maksud Ibu, Hanan juga bisa memahami keinginan Ibu. Sebaliknya, tak bisakah Ibu memahami keinginan Hanan? Saat ini Hanan hanya butuh dukungan Ibu, untuk masalah yang lain nanti kita cari jalan keluarnya bersama-sama.” Hanan tak mau kalah dengan kekolotan ibunya. Baginya, kalau sesuatu masih bisa diperjuangkan, kenapa harus menyerah. Hanya orang yang tak punya tekad kuat yang akan menyerah dengan keadaan.

“Mendukung bagaimana? Sudah jelas kita tidak punya kemampuan ke arah sana, kenapa harus dipaksakan!”

“Setidaknya Ibu bisa mengizinkan Hanan untuk melanjutkan sekolah. Itu sudah cukup, Bu. Untuk hal-hal yang lain nanti kita pikirkan sambil jalan.”

“Sama saja, nanti Ibu juga yang repot. Sekarang kamu bisa ngomong begitu karena belum ada masalah, coba nanti kalau masalah muncul pasti ....”

“Sudahlah, Bu. Jangan berdebat terus dengan Hanan. Maksud Hanan itu sebenarnya juga baik, hanya kondisi saja yang tidak mendukung.” Jamal menengahi perdebatan istri dan anaknya.

“Nah, itu Bapak tahu. Anak kita itu yang terlalu egois. Punya mimpi setinggi langit, tidak memikirkan bagaimana kalau nanti jatuh.”

“Tak ada salahnya kita menuruti kemauan Hanan sambil kita lihat perkembangannya ke depan nanti bagaimana. Syukur-syukur Hanan bisa mendapatkan bantuan seperti yang ia katakan itu.”

Hanan tersenyum. Setidaknya, pikiran ayahnya sedikit terbuka. Tak menunggu lama ia langsung bersimpuh di hadapan ibunya dan memohon diberi kesempatan itu. Direngkuh kedua tangan ibunya sambil meyakinkan sekali lagi bahwa ia akan berusaha agar tak merepotkan orang tua.

Zakiyah mematung. Tubuhnya bergoyang ketika Hanan sedikit menarik tangannya. Ia memikirkan sesuatu. Dipandangi kepala anaknya yang masih menunduk. Kedua tangannya masih digenggam erat buah hatinya tersebut.

“Baiklah. Ibu akan mengizinkan kamu melanjutkan SMA, tapi dengan satu syarat ....”

Kalimat Zakiyah menggantung. Namun, mampu memberikan kesejukan tersendiri di hati Hanan.

***

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang