Bab 9 Kegaduhan di Kelas

4 2 0
                                    


Hanan turun ke lantai bawah. Langkahnya mantap menapaki anak tangga. Ia ingin menemui Zaini untuk menanyakan kembali perihal keringanan biaya pendidikan. Hatinya belum tenang sebelum mendapatkan kepastian tentang masalah itu. Nasib dirinya di sekolah ini sangat bergantung pada hal itu.

Setelah bertanya posisi ruangan Zaini, langkahnya langsung menuju ke ruangan paling ujung timur. Ia berhenti di depan sebuah pintu. Matanya menatap sebentar pada plang di atasnya. Plang itu bertuliskan posisi Zaini di sekolah. Setelah membacanya, Hanan makin kagum dengan kesederhanaan gurunya tersebut. Ia baru tahu kalau tetangganya itu menjadi Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaaan atau biasa disebut Wakasek kesiswaaan.

Zaini mempersilakan duduk begitu Hanan memasuki ruangan. Hanan mengutarakan maksud kedatangannya. Zaini tersenyum mendengar penuturannya.

“Kamu jangan terlalu khawatir begitu. Saya ‘kan sudah janji akan membantu.”

“Iya, Pak. Saya takut saja kalau tidak bisa mendapatkannya. Bagi saya, bantuan ini ibarat nyawa untuk bisa terus bertahan ke depan.”

Zaini tersenyum kembali.

“Berkasmu sudah saya masukkan ke tim sekolah. Tunggu saja perkembangan selanjutnya.”

“Terima kasih, Pak.”

“Seminggu atau dua minggu lagi akan saya kabari. Tidak usah khawatir dan tetap fokus belajar.”

“Baik, Pak.”

“Satu lagi pesan saya, rajin belajar agar bisa mengukir banyak prestasi.”

Hanan mengangguk dan pamit keluar. Ucapan terima kasih kembali meluncur dari bibirnya. Zaini memandangi tubuh Hanan sampai hilang di balik pintu.

Di kelas terjadi keributan kecil. Hanan baru saja masuk ketika Widi memohon pada Guntur untuk mengembalikan buku diarinya. Bukannya memberikan buku itu, Guntur malah mempermainkannya. Ketika Widi mendekatinya, ia melempar buku itu pada Angga. Begitu sebaliknya, ketika Widi mendekati Angga, buku itu melayang kembali ke arah Guntur.

Lama kelamaan gadis itu menyerah dan menangis sesenggukan. Sekali lagi, bukannya simpati dan mengembalikan buku itu, Guntur malah semakin membuat malu Widi. Ia membacakan sebagian isi diari tersebut.

“Sejak pertama melihatnya, ia berbeda dengan yang lain. Sosoknya sangat pendiam dan tak banyak tingkah. Entah kenapa hati ini ....”

“Kembalikan!” teriak Widi sambil berusaha merebut bukunya. Lagi-lagi usahanya tak membuahkan hasil. Guntur melempar buku itu ke arah Angga dengan sigap. Keduanya kemudian tertawa lebar.

Huda sudah berusaha melerai, tapi usahanya tak membuahkan hasil. Teman-teman yang lain banyak yang berteriak agar Guntur mengembalikan buku itu. Lagi-lagi, Guntur hanya tertawa.

Hanan menyeruak kerumunan itu dan menatap Guntur tajam.

“Gun, kembalikan buku itu,” kata Hanan.

“Woi, ini dia orang yang dimaksud dalam ....”

“Diam!” Widi kembali berteriak.

Guntur tak peduli teriakan Widi. Matanya balas menatap Hanan.

“Kamu jangan sok pahlawan!” ucap Guntur sambil menunjuk muka Hanan.

“Bukan sok pahlawan. Aku cuma meminta mengembalikan buku yang bukan milikmu itu.”

“Apa urusanmu dengannya? Emang dia siapa? Saudaramu? Tetanggamu? Atau ... mungkin pacarmu?”

“Jangan mengarang cerita,” sahut Hanan. “Yang jelas dia teman kita.”

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang