Bab 21 Perkelahian

2 2 0
                                    

Keributan terjadi di dekat pasar–sebelah timur lapangan–sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi. Puluhan siswa saling adu jotos, tendang, dan lempar batu. Beberapa orang ada yang membawa senjata tumpul dalam tawuran itu. Teriakan kesakitan terdengar di berbagai sudut. Satu per satu siswa bertumbangan dalam aksi itu. Darah bercucuran dari kepala beberapa anak. Pedagang yang berada dalam kios pasar itu tak ada yang berani melerai. Mereka takut lapaknya akan jadi sasaran tindakan brutal itu.

Beberapa guru yang masih berada di sekolah segera berhamburan ke tempat kejadian. Seorang guru segera menelepon polisi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Melihat banyaknya siswa yang terlibat dalam tawuran itu, tak mungkin beberapa guru itu akan mampu menanganinya sendiri.

Melihat kedatangan beberapa guru dari arah barat, Hendri segera menyuruh anak buahnya melarikan diri. Mereka semua kocar-kacir ke segala arah. Di tempat kejadian, para guru segera memeriksa beberapa anak yang terluka.

Di pinggir jalan dekat kios sembako, Guntur terkapar tak berdaya. Seragamnya penuh bercak merah. Kepalanya masih meneteskan cairan merah itu satu-satu. Seorang guru yang melihatnya segera menghampiri dan memberikan pertolongan. Tak lama kemudian, mobil patroli polisi datang. Guntur dan beberapa orang yang terluka segera dibawa ke puskesmas terdekat.

Perkelahian itu terjadi karena aksi balas dendam yang dilancarkan Guntur. Ia masih tak terima ketika dirinya dipukul Hendri beberapa waktu lalu. Beberapa teman gengnya ia ajak untuk menyusun aksi pembalasan. Sayang, rencana itu tercium geng Hendri. Mereka telah menyiapkan diri untuk menghadapi serangan Guntur dan gengnya. Geng Hendri bahkan sudah meminta bantuan dari teman-teman luar sekolah. Akhirnya, terjadilah aksi tawuran yang tak bisa dielakkan lagi. Geng Guntur kewalahan karena kalah jumlah. Ia sendiri pun jadi korban aksi tersebut.

Peristiwa tawuran itu menjadi berita hangat keesokan harinya. Di parkiran, kantin, bahkan kelas ramai membicarakannya. Guntur masih dirawat di puskesmas. Hendri dan gengnya kembali mendapat sorotan tajam. Kepala sekolah sampai geram mendengar kejadian seperti itu terulang kembali. Ia mengultimatum Hendri; kalau sampai melakukan kesalahan lagi, pihak sekolah tak akan mempertahankannya tetap berdiri di sekolah. Keberadaannya hanya membuat citra sekolah menjadi buruk. Keputusan itu ia sampaikan sendiri di depan murid paling badung itu. Pihak sekolah kembali menskors anak itu, sedangkan teman-temannya diberi hukuman sesuai tingkat kesalahan yang mereka perbuat.

Di kelas Hanan pun tak luput membicarakan kejadian itu. Ada yang menyayangkan kejadian itu, ada pula yang mendukungnya melawan geng Hendri. Hanan dan kedua sahabatnya termasukyang menyayangkan kejadian itu. Balas dendam bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah karena akan terus menciptakan dendam-dendam berikutnya yang tak akan berkesudahan.

Angga yang selamat dari kejadian itu menjadi bulan-bulanan teman sekelas. Mereka yang menyayangkan kejadian itu menyalahkan Angga yang tidak mencegah Guntur melakukan aksi tak terpuji itu. Angga tak bisa apa-apa mendapat cercaan dari teman-temannya. Mulutnya masih meringis menahan nyeri. Beberapa bagian mukanya tampak lebam.

“Berantem aja terus sampai bonyok semua mukamu itu,” ledek Riko. “Mau nyusul Guntur ke menginap di puskesmas?”

“Iya, nih, jadi orang pada sok jagoan. Giliran mukanya bonyok baru tahu rasa,” ucap Wina.

Ledekan dan sindiran terus berloncatan memojokkan Angga. Mereka tak rela kelasnya menjadi jelek gara-gara kejadian itu.

“Sudah, sudah!” Huda melerai perdebatan itu. “Jangan salahkan Angga. Dia hanya ikut-ikutan. Mending sekarang kita doakan Guntur agar cepat sembuh dan menyadari kesalahannya.”

Mereka membubarkan diri setelah mendapat teguran sang ketua kelas.

“Kita harus menjenguk Guntur,” ucap Hanan. Ia kemudian menatap Slamet dan Jery bergantian; meminta persetujuan.

“Iya,” kata Jery.

Sepulang sekolah, mereka bertiga langsung ke puskesmas tempat Guntur dirawat. Guntur kaget melihat kedatangan mereka sekaligus gembira. Belum ada seorang pun yang menjenguknya selain mereka. Guntur terharu. Ia merasa sangat bahagia.

“Terima kasih, ya, sudah menjengukku.” Bibir Guntur sedikit bergetar mengucapkan kalimat itu. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Dulu Hanan jadi orang pertama yang merasakan pukulannya ketika awal-awal masuk sekolah. Kini sosok itu menjadi orang pertama yang menjenguknya ketika dirinya terbaring tak berdaya.

“Sama-sama,” balas Hanan. “Gimana keadaanmu?”

“Lumayanlah.” Guntur tersenyum. “Lumayan masih pusing,” lanjutnya kemudian tertawa.

“Kamu, sih, pakai acara mau mengeroyok Hendri. Begini, ‘kan, akibatnya? Masih belum kapok juga? Masih mau balas dendam lagi?” ledek Slamet.

“Kepalamu itu tak lebih keras dari pentungan mereka. Masih mau adu kepala lagi?” Jery makin meledeknya.

Guntur tersenyum. Sejujurnya, Jery sangat prihatin melihat kondisi temannya itu. Kepala bagian kanan terbalut perban tebal. Entah berapa jahitan yang tersemat di sana. Mendengar cerita dari teman-teman yang menyaksikan kondisi Guntur kemarin, kepalanya luka parah. Mungkin dihantam balok kayu dan kena bagian yang agak tajam. Jery kasihan melihat keadaan Guntur, tetapi geram juga dengan perbuatan yang dilakukan Hendri dan gengnya. Tangan kanannya tiba-tiba mengepal. Hanan dan Slamet tak melihat perubahan Jery tersebut karena asyik bercanda dengan Guntur.

“Aku harap setelah kejadian ini kamu bisa introspeksi diri. Jangan menuruti dendam yang berkobar di hati. Tak akan pernah ada habisnya. Semoga setelah ini kamu bisa menjadi lebih baik,” ujar Hanan menasihati.

Ada rasa bimbang di hati Guntur. Sejatinya, ia masih ingin membalas perbuatan Hendri. Namun, mendengar kata-kata Hanan barusan membuat dirinya jadi dilema. Ah, benar kata Hanan. Selama ini dirinya terlalu menuruti hawa nafsu. Dendam itu telah membakar hatinya perlahan demi perlahan hingga membuat perasaannya mati. Mungkin sudah saatnya dirinya membuang perasaan dendam itu secara perlahan. Bibir Guntur menyunggingkan senyum. Ada hawa sejuk yang menerpa sudut hatinya.

***

Bibir Hanan mengucap syukur manakala netranya menangkap Widi ikut kajian Rohis. Gadis itu ikut membaur di antara teman-teman Rohis yang lain. Akhirnya Allah memberikan hidayah untuknya. Ada rasa haru yang menyeruak hatinya. Beberapa kali ia mengajaknya gabung ke Rohis, tetapi belum mendapat reaksi poisitif. Kini dengan kesadarannya sendiri, Widi telah bergabung ke Rohis. Sungguh nikmat yang luar biasa bagi Hanan bisa menjadi perubahan positif itu.

Minggu berikutnya, giliran Slamet ikut Hanan menghadiri kajian Rohis. Awalnya Hanan mengira hanya bercanda. Namun, mengetahui kesungguhan Slamet bergabung Rohis, Hanan tak bisa lagi menyembunyikan kegembiraannya. Ia kembali mengucap syukur menyaksikan semua itu. Ia mendoakan Slamet agar selalu istikamah.

Mengetahui kedua sahabatnya aktif di Rohis, mau tak mau Jery pun ikut bergabung. Lengkap sudah kebahagiaan Hanan. Dengan begitu, Hanan tak akan kesulitan lagi untuk menasihati keduanya dengan sesuatu yang berbau agama.

Hanan mendekati Guntur dan mengajaknya keluar kelas. Kepala Guntur masih diperban.

“Aku sangat berharap kamu benar-benar berubah setelah kejadian ini. Masih terbuka kesempatan yang lebar untuk menjadikan diri pribadi yang baik.”

Kata-kata Hanan benar-benar mempengaruhinya. Ia seperti terhipnotis hingga tak kuasa menjawab ucapan itu selain mengangguk. Hanan kemudian meninggalkannya sambil menepuk pundak. Langkahnya segera menuju ke masjid; salat duha lalu lanjut ke perpustakaan.

Hanan mendapati Vanny di perpustakaan. Gadis itu tak melihatnya karena sedang asyik bertelepon. Mimik mukanya sangat serius. Hanan segera mengambil buku di sebuah rak kemudian duduk tenang membacanya. Vanny masih bertelepon di balik rak dekat Hanan duduk. Suara obrolannya sangat jelas di telinga Hanan. Ia kaget ketika namanya disebut dalam obrolan itu. Aneh! Hanan mendadak merogoh sakunya dan mengaktifkan kamera video. Ia mengarahkan ke tempat Vanny berada.

“Pokoknya jangan sampai gagal. Ingat! Jangan sampai menyakitinya. Nanti aku kabari lagi kapan harus beraksi.”

Vanny menutup sambungan ponselnya. Hanan buru-buru keluar dan meninggalkan bukunya begitu saja.

***

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang