Bab 24 Ke Rumah Vanny

3 1 0
                                    

Berita tentang Vanny yang jadi otak penculikan Hanan menyebar cepat seantero sekolah. Entah siapa yang pertama menyebarkannya. Yang pasti, suasana begitu heboh. Orang-orang yang membencinya punya senjata untuk menjatuhkan dengan menambah-nambahi bumbu cerita tersebut. Pihak sekolah tak kuasa membendung penyebaran berita itu. Sebagai langkah untuk membatasi agar tak makin bertambah parah dan melebar ke mana-mana, setiap wali kelas di beri tanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang terjadi sebenarnya.

Menyebarnya masalah itu membuat Hanan merasa tak nyaman. Kelasnya pun heboh dengan terkuaknya pelaku penculikan dirinya. Hanan sudah berusaha mengingatkan agar tidak berlebihan membesar-besarkan masalah itu, tetapi teman-temannya masih saja membahas hal itu. Bagi mereka, masalah itu mengasyikkan untuk tetap dibahas.

Sejak pertemuan dengan Kepala Sekolah itu, Vanny hingga kini tidak menampakkan batang hidungnya. Gadis itu seolah hilang ditelan bumi. Tak ada kabar dan tak ada pemberitahuan seandainya ia sakit. Teman sekelas tak ada yang peduli. Hebohnya masalah yang melibatkan dirinya seolah menjadi sebab hilangnya rasa peduli itu. Mungkin hanya Hanan dan beberapa teman lain–bisa dihitung dengan jari–yang masih punya rasa peduli.

Hanan berencana menjenguk Vanny ke rumahnya. Bagaimanapun, ia tetap punya andil besar atas tidak masuknya gadis itu. Ia akan minta maaf dan membujuknya agar masuk sekolah lagi.

Sorenya, selepas asar, Hanan mendatangi rumah Vanny. Ia meminjam sepeda motor Zaini untuk mendukung niatnya tersebut. Zaini sendiri tak keberatan karena ia sendiri sudah sering meminjamkan sepeda motornya pada Hanan. Apalagi setelah Hanan menceritakan niatnya, Zaini langsung mendukung rencana tersebut.

Di depan gerbang besar itu Hanan berhenti. Ia mengucapkan salam. Farid–sopir Vanny–terkejut melihat Hanan yang berdiri di depannya. Ia menjadi salah tingkah. Melihat raut muka Farid yang ketakutan, Hanan segera mencairkan situasi tesebut.

“Aku mau ketemu sama orang tua Vanny, Bang.”

Farid masih terdiam.

“Bang!” Hanan menepuk pundak Farid.

“Eh, eh, iya. Silakan masuk,” jawab Farid gelagapan.

Hanan masuk diikuti Farid. Ia memarkir sepeda motornya di halaman yang lumayan luas. Di garasi tampak dua mobil terparkir rapi. Salah satunya merupakan mobil yang pernah dipakai untuk menculik dirinya. Hanan tersenyum. Farid masih mengikutinya. Sebelum kaki Hanan menapak teras rumah, Farid menarik tangannya.

“Jangan bawa-bawa namaku, ya? Aku cuma disuruh sama Non Vanny,” bisik Farid ketakutan.

Hanan tersenyum. “Aku aja enggak tahu nama Abang.”

“Eh, namaku Farid, sopir Non Vanny.” Farid mengulurkan tangan kanannya.

Hanan menyambut uluran tangan itu. “Hanan.”

“Iya, sudah tahu. Beneran, lho, ya, jangan bawa-bawa namaku. Kemarin aku habis dimarahi ayahnya Non Vanny gara-gara masalah itu,” pinta Farid memelas.

“Kita lihat saja nanti,” balas Hanan kemudian tersenyum. Farid menarik napas panjang melihat sikap orang di dekatnya tersebut.

Hanan disambut hangat oleh Komar, ayah Vanny. Komar mengajak Hanan ke ruang tamu yang sangat mewah tersebut. Baru kali ini ia melihat ruang tamu seperti itu. Hanan dipersilakan duduk, sementara Komar memanggil anaknya di kamar.

“Van, ayo keluar dulu. Ini, lho, ada temanmu datang kemari,” ucap Komar pelan.

Tak lama kemudian Vanny keluar mengekor ayahnya ke ruang tamu. Tatapannya beradu dengan Hanan yang duduk di sana.

“Saya Hanan, Pak. Maaf kalau kedatangan saya mengganggu,” kata Hanan mengawali percakapan.

“O, jelas tidak. Saya malah senang kamu bisa main ke sini. Maafkan anak saya karena telah membuat masalah denganmu. Saya sungguh tak mengerti apa yang telah direncanakannya hingga pihak sekolah memanggil ke sana. Selama ini tak ada yang aneh dengan perilakunya. Makanya, saya kaget juga ketika ada pemanggilan itu.”

“Tidak apa-apa. Saya bisa memakluminya, mungkin karena didorong oleh ambisinya yang terlalu besar sehingga tidak memikirkan akibat dari perbuatannya itu.”

Hanan tersenyum setelah mengucapkan kata-kata itu. Komar dan Vanny duduk berhadapan dengannya. Gadis itu masih mengenakan mukena dan sikapnya datar saja. Ada satu hal yang berbeda dari sosoknya; aura angkuhnya tak terlihat lagi. Wajah Vanny tampak lebih natural dan rileks. Sikap sombong yang selama ini mendominasi benar-benar telah lenyap. Gadis itu terlihat manis dan menyenangkan. Tidak seperti sebelumnya yang membuat orang lain bisa emosi jika memandang wajah judesnya.

“Sejak ibunya meninggal, Vanny memang sedikit berubah menjadi ambisius. Setiap hal yang dia inginkan harus bisa didapatkannya. Kadang saya sendiri kewalahan menuruti setiap keinginannya.”

Komar kemudian menceritakan masa-masa bahagia Vanny ketika ibunya masih ada hingga perubahan sikap ketika sang ibu meninggal. Vanny merupakan anak tunggal. Hidupnya nyaris sempurna dengan limpahan kasih sayang kedua orang tua. Segalanya berubah drastis ketika kasih sayang seorang ibu tak lagi ia dapatkan.

“Tiga hari ini, dimulai sejak disidang kasus yang melibatkanmu itu, dia berubah seratus delapan puluh derajat. Dia jadi lebih pendiam dan mengurung diri di kamar. Tiap habis salat, dia juga sering mengaji. Saya jadi dilema antara harus senang atau sebaliknya. Senang karena dia lebih tenang dan tidak banyak tingkah atau sedih karena keceriaannya nyaris hilang.”

Hanan tak memberikan tanggapan pernyataan itu. Ia sendiri senang seandainya Vanny berubah menjadi lebih baik. Namun, kalau sampai menghilangkan keceriaannya, Hanan pun merasa sedih.

Komar kemudian menceritakan banyak hal tentang diri dan keluarganya. Hanan mendengarkan semua cerita itu sambil sesekali menanggapinya.

“Begini, Van, Pak. Saya ke sini cuma mau mengajak Vanny agar masuk sekolah lagi. Saya sudah meminta pihak sekolah agar tidak memperpanjang masalah ini ke polisi. Saya sendiri tidak mempermasalahkan lagi masalah yang telah terjadi itu. Satu harapan saya, semoga dengan kejadian yang telah berlalu itu bisa membuat Vanny introspeksi diri dan belajar dari pengalaman itu.”

“Iya, semoga saja. Terima kasih karena telah membatasi masalah ini sehingga tidak melebar jauh.”

Hanan mengangguk. Vanny tetap tak bersuara sepatah kata pun hingga ia pamit pulang.

Vanny berseru memanggilnya ketika sosok pendiam itu melewati pintu. Hanan berhenti dan menoleh ke arah Vanny yang berjalan ke arahnya.

“Terima kasih,” ucap Vanny pelan. Gadis itu menunduk di samping Hanan.

“Untuk apa?”

“Karena telah datang kemari.”

“Aku hanya mengajakmu agar besok kembali masuk sekolah. Tak usah didengarkan apa kata orang nanti. Percaya diri aja seperti biasa.”

“Iya, akan aku coba.”

Hanan mengernyit. Ada yang aneh dengan gaya bicara Vanny. Gaya ‘lo gue’ yang selama ini lekat dengan dirinya telah hilang. Hanan tersenyum. Ia bisa menangkap perubahan yang terjadi pada gadis itu. Hanan bersyukur dalam hati. Semoga hidayah itu menyapanya.

Vanny mengikuti Hanan sampai ke tempat sepeda motornya diparkir. Sebelum benar-benar melesat pergi, Hanan berhenti sebentar di depan Vanny. Ia menatap wajah gadis itu.

“Kamu lebih manis dan anggun dengan penutup kepala itu.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Hanan langsung melesat meninggalkan Vanny dengan senyum yang terlukis di bibir.

***

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang