Saat matahari mulai condong ke ufuk barat, Hanan melangkahkan kaki ke rumah Zaini yang berjarak lima petak kebun. Langkahnya mantap, semantap hati yang ingin konsultasi dengan orang yang dihormatinya itu. Zaini merupakan salah satu guru di sekolah yang Hanan incar. Sekolah negeri yang sangat terkenal di daerahnya. Ia ingin bertanya banyak hal pada sosok tersebut, terutama tentang ada tidaknya keringanan biaya pendidikan untuk siswa kurang mampu.
Pintu rumah Zaini sudah tampak di depan. Bangunan rumahnya sangat sederhana. Tidak begitu besar apalagi bertingkat, tetapi sangat nyaman dipandang dari kejauhan. Halamannya penuh warna-warni aneka bunga yang sangat menyejukkan mata. Siapa pun pasti akan betah berlama-lama di halaman tersebut. Sekadar mencium aromanya, memandangi kupu-kupu dan serangga kecil yang hilir mudik, atau berfoto ria dengan latar yang natural.
Hanan memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar. Menatap sebentar deretan bunga yang berjejer rapi sebelum menuju pintu dan mengetuknya. Zaini menyambut hangat sosoknya dan mengajak masuk rumah. Sosok Zaini dari dulu sampai sekarang tidak berubah; selalu terbuka pada siapa saja.
“Gimana kabar orang tuamu?” tanya Zaini berbasa-basi. Padahal tiap hari pasti tahu kondisi keluarga Hanan karena setiap pergi dan pulang kerja selalu lewat depan rumahnya. Begitulah, Zaini tak ingin membuat suasana kaku dan formal.
“Baik, Pak. Alhamdulillah, sehat,” jawab Hanan singkat.
Ada sedikit rasa sungkan di hatinya. Padahal tiap hari selalu bertemu ketika ke masjid. Tak jarang juga Zaini memanggilnya jika ia membutuhkan bantuan. Misalnya, ketika akan membersihkan kandang ayam di belakang rumah, membersihkan rumput-rumput di taman bunga, atau sekadar mengganti genting yang bocor. Bukan tak bisa mengerjakan sendiri, tapi Zaini senang ketika dibantu dan ditemani Hanan. Baginya, Hanan adalah anak cerdas. Enak diajak ngobrol walau sedikit pendiam. Bisa mengimbangi ketika diajak diskusi berbagai hal. Selain itu, Hanan termasuk tipikal anak yang rajin. Zaini sendiri sangat senang ketika bisa memberi upah atas jerih payahnya.
Kedekatan itu pula yang membuat Hanan punya semangat tinggi untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA. Sebelumnya, Hanan tak punya pikiran akan meneruskan pendidikannya. Hal itu adalah sesuatu yang mustahil baginya. Hanan sadar dan bisa mengukur kemampuan keluarganya. Ketika masalah itu diketahui Zaini, sosok bijaksana itu menyarankan agar Hanan melanjutkan sekolah. Sayang jika kepandaiannya terputus di jalan. Zaini kemudian menyuruh Hanan agar berbicara dengan orang tuanya supaya mengizinkan melanjutkan sekolah. Zaini juga berjanji akan membantu Hanan demi kemajuannya. Terjadilah dialog antara Hanan dengan orang tuanya seperti kemarin malam.
“Rencana sekolahnya? Sudah ngomong dengan orang tuamu?”
“Sudah, Pak.”
“Keputusannya?”
“Mereka mengizinkan, tapi ....”
“Tapi apa?” Zaini penasaran.
“Kalau mereka tidak bisa membiayai lagi, saya harus berhenti sekolah dan cari pekerjaan,” jawab Hanan dengan nada pelan. Zaini mengangguk-angguk memahami posisi Hanan.
“Kamu tidak usah sedih. Setidaknya, orang tuamu sudah mendukung untuk melanjutkan sekolah. Itu yang terpenting. Masalah belakangan, nanti bisa dipikirkan sambil jalan.”
“Iya, Pak. Awalnya, ibu menentang keras. Tapi saya membujuk ibu kalau nanti akan mencari keringanan biaya pendidikan.”
“Dan ibumu mengizinkan?”
“Iya. Untuk itulah saya ke sini, ingin menanyakan tentang bantuan untuk pendidikan, apa memang ada?”
Zaini menatap Hanan lekat-lekat. Ada rasa iba yang menelusuk hati. Menyaksikan anak secerdas Hanan dengan semangat belajar tinggi, tetapi nasib baik tidak begitu berpihak padanya. Melihat potensi dalam dirinya itulah, Zaini akan berusaha membantu Hanan semampunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle for Dreams (End)
أدب المراهقينHanan diculik dan disekap di suatu tempat dengan mata tertutup. Ia tidak tahu motif penculikan dirinya. Makin heran lagi ketika dirinya diperlakukan dengan baik tanpa sedikit pun disakiti. Di sisi lain, masalah yang menghampiri kian bertubi-tubi, se...