Bab 12 Virus Merah Jambu

5 3 0
                                    

“Aku ditembak orang,” curhat Hanan pada dua sahabatnya.

“Siapa? Cewek yang kemarin deketin kamu itu?” sahut Jery.

Hanan mengangguk pelan.

“Siapa, sih?” Slamet penasaran.

“Wina,” jawab Jery singkat.

“O, cewek yang pernah nembak kamu itu, Jer? Sekarang nembak Hanan? Emang dasar, tuh, cewek. Enggak tahu diri!”

Hanan melongo mendengar kata-kata Slamet. “Beneran, Jer?”

“Iya.”

“Terus?”

“Aku tolaklah. Jijik aku dekat dengannya. Genitnya minta ampun. Baru semester awal aja sudah enggak kehitung, tuh, mantan cowoknya. Mungkin pas nembak, aku sudah yang nomer sekian. Sudahlah, enggak usah ditanggapi.”

“Nanti kalau masih memburuku terus?”

“Tenang aja, biar aku yang menghadapi,” kata Jery sambil menepuk dada.

“Kalian pada pakai pelet apa, sih, sampai bisa ditembak cewek gitu. Aku yang sudah tebar pesona aja enggak ada yang nyantol satu pun.” Slamet ikut nimbrung.

“Ya, maaf aja. Jangan iri, ya. Kita bedua memang dianugerahi muka cakep, wajar banyak cewek kesengsem. Kamu harus bersabar dengan muka pas-pasan kayak gitu.”

“Sial,” umpat Slamet. Ia melempar sisa bakwan ke arah Jery.

Mereka bertiga duduk santai di bawah pohon akasia belakang sekolah. Waktu istirahat, Jery mengajak Hanan ke kantin. Awalnya Hanan tidak mau. Ia lebih senang ke perpustakaan. Jery memaksa hingga Hanan pun menuruti ajakan sahabatnya itu. Di perjalanan, Hanan mengusulkan duduk-duduk di belakang sekolah saja. Usul itu disetujui kedua sahabatnya. Slamet kemudian berlari ke kantin, memesan tiga bungkus es teh dan gorengan satu kresek kecil.

“Han ...,” panggil Slamet dengan mulut penuh makanan.

“Hmm.”

“Kemarin aku dengar obrolan teman-teman cewek kita di kantin. Ramai banget.”

“Ada yang salah?”

“Ya, enggak! Ada yang heboh aja pada obrolan mereka.”

“Heboh gimana? Kamu nguping?”

“Nguping gimana? Lha wong ngomongnya aja pada teriak-teriak.”

“Apanya yang heboh?” desak Hanan sambil mengunyah tempe goreng.

“Mereka membicarakanmu.”

“Maksudnya?”

“Ada banyak cewek yang diam-diam menyukaimu?”

“Jangan ngarang, deh, Met. Menghadapi Wina aja aku bingungnya minta ampun. Untung dulu itu kalian masuk kelas hingga dia kembali ke bangkunya.”

“Ngarang apaan. Telingaku dengar sendiri dengan jelas,” bantah Slamet.

Hanan terdiam cukup lama. Wajahnya menunduk dalam. Jery menepuk-nepuk pundaknya seakan mengerti apa yang dirasakan Hanan.

“Han, biasa ajalah menghadapi mereka. Kalau enggak suka, ya, ngomong aja enggak suka. Jangan diam aja. Nanti dikira memberi harapan pada dia. Urusannya malah enggak kelar-kelar nanti.”

“Kalau mereka enggak terima dan marah?”

“Bodo amat! Emang kita harus menuruti keinginan mereka?” balas Jery.

Hanan mengangguk.

“Kalau ada yang ngomong suka sama kamu, bilang aja kalau aku siap menerima,” celetuk Slamet sambil cekikikan.

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang