Rini–wali kelas Hanan–sudah tiga kali bolak-balik ke kelas menanyakan Hanan. Raut cemas mulai membayangi wajahnya. Hari ini Hanan akan mengikuti lomba matematika ke pusat kabupaten. Rombongan sudah bersiap dari tadi, tinggal menunggu Hanan yang sampai detik ini belum kelihatan batang hidungnya. Rini memandang jam dinding kantor yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Wajahnya semakin gelisah ketika kepala sekolah menanyakan Hanan. Rombongan harus segera berangkat agar tidak terlambat.
“Tunggu sebentar lagi, Pak. Hanan belum tiba di sekolah. Mungkin ada halangan di jalan,” jawab Rini hati-hati. Ia tak ingin membuat kepala sekolah yang terkenal tegas itu ikut cemas.
“Ya, sudah. Kalau memang tidak masuk sekolah, tolong yang jadi cadangan suruh menggantikannya. Kita tak punya banyak waktu untuk menunggu.”
“Baik, Pak.”
Rini semakin gelisah. Ke mana anak itu? Tak biasanya ia terlambat ke sekolah. Biasanya, ia selalu datang lebih awal dibandingkan teman-teman yang lain. Tak ada satu pun teman sekelas yang mengetahui keberadaannya. Ponselnya sudah dihubungi berkali-kali, tapi tak aktif. Hal itu makin membuat Rini khawatir. Hanan merupakan anak didik yang menempati ruang tersendiri di hatinya. Sosoknya yang sederhana, sopan, dan tidak neko-neko membuat Rini sangat menyayanginya. Ditambah lagi, Hanan termasuk anak yang rajin dan pintar. Lengkap sudah kekaguman Rini padanya.
Rini bersiap ke kelas lagi untuk mengecek Hanan. Baru saja keluar dari ruang guru, matanya tertuju pada lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya. Wajahnya terlihat cemas. Aura kesedihan melingkupinya. Rini mendekat ke arahnya yang seperti kebingungan.
“Maaf, Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rini sopan.
“Eh, i-iya, Bu,” jawabnya terbata. “Saya Jamal, orang tua Hanan. Saya ingin bertemu dengan wali kelasnya.”
Mendengar kalimat itu, Rini semakin merasa tak enak. Ada apa dengan Hanan sampai orang tuanya datang ke sekolah? Buru-buru ia menepis berbagai pertanyaan yang tiba-tiba hinggap di kepalanya.
“Saya sendiri wali kelasnya. Apa ada masalah dengannya? O, ya, mari silakan duduk.” Rini mengajak Jamal duduk di bangku panjang depan kantor guru.
“Justru saya ingin menanyakan tentang Hanan karena sejak kemarin ia tidak pulang.”
Rini tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dugaannya benar, pasti telah terjadi sesuatu pada Hanan. Hatinya tiba-tiba menjadi tak tenang.
“Maksud Bapak?” Rini kembali memastikan ucapan Jamal tak salah.
“Anak itu selalu pamit kalau tidak pulang, tapi kemarin ia tak pulang tanpa memberi kabar. Teman-temannya sudah saya tanya, tapi tak ada yang tahu keberadaannya. Makanya, saya memberanikan diri datang ke sini. Mungkin ada kegiatan sekolah dadakan yang membuatnya tak sempat memberi kabar.”
Rini semakin bingung. Kenapa masalahnya jadi rumit begini? Ia menarik napas sebentar.
“Begini, Pak. Kami di sini juga kebingungan menunggu kedatangannya. Hari ini ada lomba dan Hanan akan mewakili sekolah mengikuti ajang tersebut. Namun, sampai jam segini Hanan belum datang juga.”
Kini, gantian Jamal yang bertambah cemas. Firasatnya benar, pasti telah terjadi sesuatu dengan anak itu. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Rini bisa melihat kesedihan itu. Jangankan Jamal sebagai orang tuanya, dirinya saja yang hanya sebagai gurunya pun merasa sangat cemas.
“Bapak tenang dulu di sini, ya. Nanti kita cari solusinya bersama-sama,” ucap Rini menenangkan.
Rini kemudian ke ruang kepala sekolah. Tak lama kemudian, kepala sekolah keluar dan menemui Jamal. Rini menjelaskan situasinya secara singkat dan kepala sekolah memahaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle for Dreams (End)
Roman pour AdolescentsHanan diculik dan disekap di suatu tempat dengan mata tertutup. Ia tidak tahu motif penculikan dirinya. Makin heran lagi ketika dirinya diperlakukan dengan baik tanpa sedikit pun disakiti. Di sisi lain, masalah yang menghampiri kian bertubi-tubi, se...