Bab 14 Ujian Semester

1 3 0
                                    

Wina menatap tajam ke arah Arin. Tak mau kalah, Arin membalas tatapan itu. Wina makin emosi. Ia merasa ditantang oleh Arin. Selama ini, keduanya tak pernah terlibat perseteruan. Baru tadi pagi masalah itu muncul. Wina memergoki gadis berbibir mungil itu sedang berbisik-bisik membicarakan Hanan. Karena penasaran, Wina menguping pembicaraan mereka. Darahnya memanas ketika tahu Arin punya perasaaan suka pada Hanan. Hampir saja ia membuat perhitungan pada teman sekelasnya itu kalau saja bel masuk tidak berbunyi.

Dalam perjalanan ke kelas Wina mulai menebar teror.

“Jangan macam-macam dengan Hanan. Dia sudah menjadi targetku. Awas kalau sampai berani mengganggu incaranku!”

Walaupun berbadan lebih kecil, Arin tak takut dengan gertakan itu. Toh, ia tahu kalau Hanan juga belum jadian dengan Wina. Jadi, tak ada perlu yang dikhawatirkan. Arin tersenyum misterius.

“Enggak usah sok-sokan. Kita buktikan aja siapa yang bakal dipilihnya; aku atau kamu!” balas Arin.

“Kurang ajar! Berani kamu!”

“Kita bersaing aja secara sehat. Gampang ‘kan? Aku juga enggak bakal sakit hati kalau dia memilihmu. Sebaliknya, kalau Hanan memilihku, jangan pernah ganggu aku sama dia.”

“Sombong!”

Tensi panas itu masih berlanjut tatkala menunggu guru masuk kelas. Keduanya terlibat adu mata. Saling menebar ancaman lewat tatapan intimidasi. Arin punya nyali juga meladeni Wina. Hal itulah yang membuat Wina tak suka dan merasa disepelekan.

Minggu depan sudah mulai ujian semester. Para guru tak henti-henti memberikan semangat dan motivasi pada anak didiknya. Para pendidik itu berharap anak didiknya bisa mendapatkan nilai yang baik. Tak hanya para guru yang tak henti memotivasi, di kalangan para siswa pun saling memberikan dukungan dan saling menguatkan untuk menghadapi ujian itu. Keberhasilan ujian pertama itu akan jadi tolak ukur untuk meraih keberhasilan pada ujian semester berikutnya. Hal senada juga dijadikan acuan para guru untuk mengevaluasi kekurangan-kekurangan pada semester yang telah lalu.

Di bangku tengah, mata yang selama ini mengamati Hanan secara diam-diam kembali melakukan aksinya. Kedua netranya kembali mencuri pandang pada Hanan yang tengah bercanda dengan kedua sahabatnya. Di saat yang sama, secara kebetulan, Hanan juga menatap ke arahnya. Refleks, gadis itu memalingkan wajahnya dengan cepat. Rona merah terlukis di pipinya. Bibirnya sedikit ditarik ke belakang.

Hanan yang menyaksikan itu, mengerutkan dahi. Kenapa dengan gadis itu? Aneh! Hanan hanya geleng-geleng sebentar kemudian melanjutkan obrolan dengan kedua sahabatnya.

Pertanyaan Hanan terjawab ketika istirahat kedua. Gadis itu menahan langkah Hanan yang hendak keluar. Seperti ada sesuatu yang ingin ia ucapkan. Hanan memberinya waktu sebentar karena ia akan salat zuhur.

“Sebentar lagi ‘kan mau ujian.”

“Hmm.”

“Aku cuma ingin mengucapkan selamat belajar, semoga bisa menjadi yang terbaik di kelas ini,” katanya malu-malu. Gadis itu tak berani menatap Hanan.

Hanan heran. Tumben gadis di depannya itu memberikan ucapan yang baginya terasa ganjil. Aneh karena selama ini ia jarang berkomunikasi dengannya. Sesekali memang pernah dan itu berhubungan dengan pelajaran sekolah. Belum hilang rasa herannya, Hanan kembali dikagetkan dengan pernyataan gadis itu.

”Aku sebenarnya menyukaimu sejak kamu menolongku dari gangguan Guntur waktu itu,” ucapnya malu-malu. Ia kemudian memutar tubuhnya hingga posisinya sekarang berdampingan dengan Hanan; bukan lagi berhadapan. Hanan menangkap semburat kemerahan di pipinya.

Hanan mencoba menguasai dirinya. Ia menarik napas dalam.

“Sudah, ya, Widi. Aku mau ke masjid dulu. Takut ketinggalan salat zuhur. Kalau ada waktu, kamu ikut aja kajian yang diadakan Rohis,” ucap Hanan sambil memberikan senyumnya.

Bersamaan dengan itu, Widi menoleh ke arah Hanan. Wajahnya berbinar melihat senyum Hanan tersebut. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Setelah salat zuhur, Devi mencegatnya di depan pintu.

“Han, gimana?”

“Apanya?”

“Yang kemarin.”

Hanan mengingat sebentar. Pasti berkaitan dengan isi kertas kemarin itu.

“Oo ... itu. Slamet siap, kok, menerimamu,” jawab Hanan sambil melewatinya.

“Han ....” Devi menggigit giginya sambil melotot ke arah Hanan yang memasuki kelas. Kedua tangannya mengepal kuat. Hanan tak menoleh. Kakinya melangkah ke tempat duduknya.

“Han, pulang sekolah jalan-jalan sebentar, yuk! Biar otak kita segar. Bentar lagi ‘kan mau ujian. Gimana?” ucap Jery sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya.

“Setuju!” sahut Slamet.

“Nah, ayo berangkat!” seru Jery.

“Nanti orang tuaku bingung lagi karena aku pulang telat.”

“Alah, gampang. Tinggal ngasih kabar ke tetanggamu itu, biar nanti disampaikan ke orang tuamu,” bujuk Jery lagi.

“Iya, Han. Mumpung ada kesempatan. Nanti kalau sudah ujian, enggak bakal ada waktu lagi buat ngumpul-ngumpul. Ayolah!” desak Slamet tak kalah memaksa.

“Bolehlah. Tapi jangan jauh-jauh,” tawar Hanan.

“Beres. Kita main ke waduk aja,” ajak Jery.

Hanan berpikir sejenak. “Oke!”

Tiga sahabat itu pun meluncur ke waduk sepulang sekolah. Beriringan dengan dua sepeda motor. Hanan membonceng Jery. Mereka memasuki area waduk lewat pintu bawah tanggul. Setelah membeli camilan dan minuman untuk mereka bertiga, Jery mengajak duduk di bawah pohon tak jauh dari tempat parkir. Siang begini kalau nekat naik ke atas tanggul bisa gosong kulit mereka.

“Hm, segarnya,” teriak Jery sambil merentangkan kedua tangannya. Semilir angin menerpa tubuhnya lembut. Ujung rambutnya bergoyang-goyang dipermainkan angin.

“Ingat! Selama ujian nanti, kita fokus belajar. Kita harus berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil terbaik.” Hanan mencoba menyemangati kedua sahabatnya.

Iyo, yo. Rasah khawatir,” jawab Slamet dengan logat jawanya. Tangannya mencomot bakso bakar yang dibeli Jery tadi. Sesaat kemudian mulutnya sudah komat-kamit.

“Santai, Bro.” Jery ikut menimpali.

Mereka bertiga menyantap bakso bakar dan gorengan dengan santai sambil bercanda. Sesekali terlihat Jery dan Slamet saling dorong. Hanan hanya tertawa menyaksikan tingkah sahabatnya tersebut.

“Gimana kalau yang nilainya paling rendah di antara kita nanti, mentraktir selama satu minggu?” usul Hanan sambil terkekeh.

“Mentang-mentang paling pintar di antara kita sok membuat tantangan,” balas Slamet.

Hanan makin terkekeh.

“Mau traktiran?” tantang Jery. “Gampang! Kalau kamu bisa masuk peringkat tiga besar, kami berdua bakal traktir selama satu minggu full.” Jery menantap Hanan sambil mengunyah pisang molen.

“Oke. Siapa takut!” balas Hanan yakin.

***

Jery dan Slamet berdecak kagum begitu mengetahui Hanan benar-benar masuk peringkat tiga besar di kelas. Ujian semester yang telah dilalui benar-benar telah menunjukkan siapa Hanan sebenarnya. Hanan peringkat dua di bawah Fika dan di atas Huda. Tak hanya dua sahabatnya yang kagum atas prestasi itu, teman-temannya juga bangga dengan hasil yang diraihnya itu. Lebih-lebih, beberapa teman perempuan yang sempat menaruh hati padanya. Mereka semakin terpesona dengan Hanan.

“Gila! Dulu kita cuma koar-koar mau traktir kamu. Ternyata beneran masuk tiga besar. Met, siap-siap traktir ini anak seminggu,” seloroh Jery sambil menepuk pundak Hanan.

“Oke. Tunggu aja traktirannya,” jawab Slamet.

Hanan tersenyum.

“Selamat menjalani liburan. Jangan lupa traktirannya,” ucap Hanan sambil berlalu. Tangan kanannya melambai pada kedua sahabatnya.

***

 

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang