Senyum Hanan mengembang walau belum tahu syarat yang akan diminta ibunya. Paling tidak, jalan untuk melangkah bisa terbuka dulu. Ia lepas tangan ibunya dan kembali duduk di kursi. Pikirannya melayang membayangkan memakai seragam sekolah. Berjalan dengan gagah walau dengan tas kumal dan sepatu butut. Bercanda dengan teman-teman, atau sekadar mendengar gosip-gosip murahan yang beredar di sekolah. Ah, sepertinya indah sekali menjalani kehidupan itu.
Zakiyah menatap kosong ke arah pintu. Entah apa yang ada di pikirannya. Kerutan di dahi terukir begitu jelas. Sesaat kemudian, ia menarik napas dalam.
Jamal mengisap sisa rokok kretek sebelum membuangnya ke asbak di ujung meja. Ia habiskan teh yang tinggal beberapa teguk, kemudian bangkit mengambil asbak yang sudah penuh dan berjalan ke arah dapur. Ia kembali dengan asbak yang sudah kosong dan duduk di tempat semula. Ditatapnya sang istri lekat-lekat. Zakiyah masih terdiam menatap ke arah pintu.
“Jangan membebani Hanan dengan hal-hal yang berat. Kasihan,” kata Jamal memecah kesunyian.
Zakiyah memandang Jamal tajam. Matanya membulat sempurna.
“Memangnya menyekolahkan itu bukan hal yang berat?” Zakiyah semakin melotot ke arah Jamal. “Hidup kita ini pas-pasan. Untuk makan saja kadang masih kurang. Apalagi harus ditambah beban menyekolahkannya. Tidak ingat, betapa pontang-pantingnya kita saat memikirkan sekolahnya sewaktu SMP. Untung dapat bantuan dari sekolah. Kalau tidak, entah sudah jadi apa kita ini.”
Emosi Zakiyah yang tadi sudah mulai menurun, kini melonjak lagi setelah mendengar ucapan Jamal barusan. Hal yang sangat sensitif bagi Zakiyah jika ada yang membicarakan sesuatu berkaitan dengan kemampuan ekonominya. Bukan menyesali sebuah keadaan, tapi kalau bisa jangan menambah beban lagi yang lebih berat. Satu hal itu yang Zakiyah harapkan. Terdengar simpel. Namun, terasa berat jika sudah berhadapan dengan kenyataan di lapangan.
Pernah suatu kali–saat pertemuan ibu-ibu di lingkungan RT–Zakiyah menahan emosi yang tiba-tiba menggumpal. Gara-gara dalam forum itu banyak yang bercerita tentang beli baju baru, makan makanan enak, atau baru pulang piknik dengan keluarganya. Bukan menyindir Zakiyah memang, tapi Zakiyah sendiri yang merasa rendah diri. Alhasil, ia pun pamit pulang duluan dari forum itu.
Sensitif terhadap suatu hal memang bisa menimbulkan hal negatif jika tidak bisa mengelolanya dengan baik. Bisa menimbulkan prasangka buruk yang berlebihan. Bahkan, sekadar mendengar kata kurus, pendek, keriting, hitam, pesek atau lainnya bisa membuat sensitivitas seseorang muncul secara mendadak. Begitu pula dengan Zakiyah, ia begitu sensitif ketika mendengar sesuatu yang berhubungan atau bisa dihubungkan dengan kehidupannya.
Jamal menunduk, mencoba mengingat masa-masa itu. Memang banyak suka duka yang mereka alami untuk menuntaskan pendidikan Hanan sewaktu SMP. Pernah juga meminjam uang ke tetangga untuk membeli buku yang Hanan butuhkan. Namun, pengorbanan itu tidak sia-sia. Terbukti, Hanan menjadi siswa terbaik saat kelulusan dengan nilai yang sangat memuaskan. Kenyataan itulah yang membuat Jamal sedikit berbeda pendapat dengan Zakiyah.
“Iya. Saya mengerti itu. Namun, apa yang kita lakukan pun membuahkan hasil yang baik. Kamu lihat sendiri prestasi Hanan di sekolah, apa itu bukan sesuatu yang membanggakan?”
Tak ada jawaban.
“Tak banggakah ketika orang-orang memuji kita karena memiliki anak yang pintar? Apa kamu lupa itu? Kita mendapatkan sesuatu yang orang lain belum bisa meraihnya. Kebanggaan dan kehormatan karena memiliki anak yang berbakat. Semua itu berkat Hanan,” lanjut Jamal.
Zakiyah tak membalas ucapan suaminya. Entah paham apa tidak yang diomongkan Jamal barusan. Di mata orang banyak, ia memang terkenal sebagai wanita yang kolot dan tidak mengikuti perubahan zaman. Bahkan, pola pikirnya pun tidak dinamis. Segala sesuatu selalu dibandingkan dengan masa lalu, bukan yang terjadi sekarang, atau yang akan terjadi di masa datang. Itulah sebabnya, kalau diajak ngobrol tentang hal-hal baru, banyak yang tidak dipahami, termasuk masalah pendidikan. Baginya, bisa membaca dan menulis itu sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle for Dreams (End)
Teen FictionHanan diculik dan disekap di suatu tempat dengan mata tertutup. Ia tidak tahu motif penculikan dirinya. Makin heran lagi ketika dirinya diperlakukan dengan baik tanpa sedikit pun disakiti. Di sisi lain, masalah yang menghampiri kian bertubi-tubi, se...