Bab 1 Hanan Diculik

61 13 1
                                    

Bel tanda pulang baru saja berbunyi. Hanan bergegas keluar kelas. Ia ingin segera sampai di rumah agar punya banyak waktu belajar untuk persiapan lomba matematika. Momen langka itu akan berlangsung besok. Pihak sekolah telah menunjuknya sebagai perwakilan dari kelas X. Ajang bergengi tingkat kabupaten itu sangat berarti baginya. Nama baik diri dan sekolah seolah berada di pundaknya. Ia akan berjuang keras untuk memperoleh hasil terbaik.

Cuaca panas tak menghalangi langkahnya untuk terus melangkah. Hanan mengambil jalan pintas membelah lapangan yang berada tepat di depan sekolah untuk mencapai jalan raya. Peluhnya mulai terasa mengalir di tubuh. Ubun-ubunnya pun mulai terasa panas. Hanan berteduh di bawah pohon asam begitu sampai di tepi jalan raya. Banyak angkutan umum yang sudah berjejer menunggu calon penumpang. Namun, Hanan tak segera mendekatinya. Ia ingin berteduh sebentar agar keringatnya sedikit mengering. Ia tak nyaman jika harus berdesakan-desakan dengan kondisi badan seperti itu.

Suasana sangat riuh dengan aksi desak-desakan para siswa yang ingin masuk duluan ke dalam angkutan. Sebenarnya tak perlu juga melakukan hal gila seperti itu. Angkutan umum yang berderet di sana cukup banyak. Ditambah lagi, tidak semua siswa sekolah itu naik angkutan umum. Kebanyakan sudah mengendarai sepeda motor sendiri.

Sebuah mobil pribadi berhenti di depan Hanan. Awalnya Hanan tak peduli hingga seseorang turun dari mobil tersebut dan minta tolong padanya. Laki-laki tinggi besar dan berkacamata itu meminta Hanan membantunya mengangkat sesuatu dari dalam mobil. Tanpa banyak alasan, Hanan langsung menyanggupi. Begitu kepala Hanan melongok ke dalam mobil, orang itu langsung mendorongnya masuk. Tanpa ada yang memberi aba-aba, mobil itu langsung melesat cepat. Tak ada yang melihat aksi tersebut karena masing-masing orang sibuk dengan urusannya sendiri. Hanan sendiri juga berdiri jauh dari kerumunan.

Di dalam mobil telah ada seorang lagi yang begitu cepat meringkus dan melumpuhkan Hanan. Kedua laki-laki kekar itu langsung mengikat dan membekap mulutnya dengan lakban. Hanan benar-benar tak berdaya mendapat perlakuan yang serba mendadak itu. Bahkan, sekadar berteriak pun tak bisa, apalagi melihat wajah orang yang menyekapnya. Matanya keburu ditutup kain hitam oleh kedua orang itu. Hanan berusaha memberontak, tapi sia-sia. Ikatan di kaki dan tangannya melilit begitu kuat. Akhirnya, ia hanya bisa pasrah dengan perlakuan para penculik itu.

Farid–sang sopir–melihat aksi kedua rekannya dari spion atas. Senyumnya mengembang melihat kedua rekannya menjalankan tugas dengan sempurna. Setidaknya, jika orang yang menyuruhnya nanti bertanya, ia bisa menjawab dengan bangga. Satu hal lagi, ia akan mendapat bonus besar dari keberhasilan aksinya tersebut. Senyumnya terlihat semakin lebar.

Farid memarkir mobilnya di sebuah halaman rumah yang sepi. Ia kemudian keluar dan memerintahkan kedua temannya untuk melepas ikatan di kaki Hanan.

“Jangan macam-macam, ya? Kami tidak akan menyakitimu. Kami hanya menjalankan perintah,” jelas Farid pada Hanan.

Hanan tak bisa berbuat banyak. Mulutnya terasa tersiksa dengan lakban yang menempel kuat. Farid dan kedua temannya menggiring masuk rumah. Lagi-lagi, Hanan hanya bisa pasrah karena tak bisa berbuat apa-apa.

Farid membawa Hanan ke sebuah kamar.

“Saya ingatkan lagi, jangan macam-macam. Tempat ini berada jauh dari pemukiman penduduk. Kamu berteriak pun tidak akan ada yang mendengarnya. Jadi, mending manut saja sampai besok kami melepaskanmu lagi.” Farid kembali menegaskan pada Hanan. Tak lama kemudian, ia menyuruh temannya membuka ikatan tangan Hanan dan memasukkannya ke dalam kamar. Setelah meyakinkan pintu kamar benar-benar terkunci, mereka bertiga berjalan ke ruang tengah.

Di dalam kamar, Hanan membuka penutup mata dan lakban yang membekap mulutnya. Ia mengamati seluruh ruangan itu dengan saksama. Sebuah tempat tidur lengkap dengan kasur, bantal, dan selimut berdiri kokoh di salah satu sisi ruangan. Kamar mandi terletak di sudut yang lain. Di dekat kasur terdapat meja belajar lengkap dengan kursinya. Di atas meja itu terdapat dua dus bermotif bunga dan sebotol air mineral berukuran besar. Hanan tak tahu apa isi dus tersebut.

Hanan mencoba berpikir dan menganalisis kejadian yang barusan dialaminya. Orang seperti dirinya diculik? Hanan masih tak percaya. Biasanya orang yang diculik itu berasal dari keluarga kaya untuk minta tebusan uang. Sedangkan Hanan, boro-boro orang tuanya punya uang untuk menebus dirinya, untuk biaya sekolah saja ia harus mengandalkan bantuan dari sekolah. Terus, apa motif penculikan dirinya? Selama ini ia tidak punya musuh. Otak Hanan tak menemukan jawaban atas pertanyaan yang kian berkecamuk di kepalanya.

“Kamu makan saja makanan di atas meja itu. Kami akan menjagamu di sini.” Suara Farid dari luar pintu mengagetkan Hanan.

“Siapa yang menyuruhmu? Apa salahku? Apa tujuan penculikan ini?” Hanan memberondong dengan pertanyaan yang ia belum tahu jawabannya. Ia berjalan mendekati pintu. Tak ada jawaban dari luar.

“Tolong lepaskan aku, Bang! Besok aku mau lomba ke kabupaten.” Hanan memohon dari balik pintu. Tetap tak ada jawaban.

“Bang!” Kali ini Hanan berteriak keras. “Kasihani orang tuaku, Bang. Mereka pasti bingung mencariku.”

“Sudahlah. Jangan berisik. Besok kami akan memulangkanmu,” jawab Farid singkat. Ada rasa iba juga mendengar permohonan itu. Namun, ia tak bisa menuruti kemauan Hanan. Ada risiko akan kehilangan pekerjaan jika Farid sampai menggagalkan rencana penculikan itu. Ia hanya perlu memastikan kalau rencana itu berjalan mulus tanpa melukai Hanan. Begitulah perintah yang harus ia laksanakan.

“Jam berapa, Bang? Besok pagi aku mau ikut lomba.”

Sepi. Suara langkah Farid terdengar menjauh dari pintu kamar.

***

Jamal terlihat mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas. Sudah hampir isya Hanan belum tiba di rumah. Tak ada kabar atau pesan dari Hanan. Biasanya kalau ia tidak pulang pasti kirim kabar pada tetangga yang punya ponsel untuk mengabarkan padanya. Jamal merasa aneh. Hatinya makin tak tenang manakala azan isya terdengar lantang dari masjid kampung.

“Aku mau ke masjid dulu, Bu. Siapa tahu temannya ada yang tahu keberadaan Hanan. Aku mau menanyakannya bila bertemu di masjid nanti.”

Tak ada jawaban dari Zakiyah, sang istri. Wanita itu malah sibuk mengunyah singkong goreng yang masih hangat. Ekspresinya biasa saja, tidak seperti Jamal yang terlihat cemas.

Setengah jam kemudian Jamal pulang. Mukanya semakin ditekuk. Ia duduk di kursi dengan malas. Zakiyah tetap tak peduli. Singkong goreng di piring hampir habis.

“Biasa aja, Pak, tidak usah lebay. Biasanya juga jarang pulang. Lha, ini kenapa jadi repot?” semprot Zakiyah. Mulutnya masih komat-kamit.

“Kamu itu gimana, sih? Jadi ibu, kok, tidak peka. Biasanya, kalau Hanan tidak pulang, dia pasti pamit lebih dulu atau kalau mendadak, pasti memberi kabar lewat tetangga kita. Lha, hari ini dia tidak pamit atau memberi kabar sama sekali. Wajarlah kalau aku memikirkannya.”

“Temannya di masjid tadi tidak ada yang tahu?”

“Mereka tidak ada yang tahu. Aku suruh menghubungi nomor Hanan katanya tidak aktif. Aku malah jadi semakin waswas begini. Takut kalau terjadi hal buruk dengan anak itu.”

Jamal mengusap mukanya berkali-kali.

“Ya, sudah. Besok Bapak coba tanya ke sekolah. Mungkin ada acara mendadak yang tidak sempat diinfokan.”

Jamal menghabiskan sisa tehnya kemudian bangkit dan melangkah ke kamar.

***

Struggle for Dreams (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang