Akhirnya setelah semua perjalanan ini, Fiki mampir di sebuah kafe namanya S-Cafe.
Menarik.
Desainnya minimalis namun tidak membosankan. Tempat ini cocok untuk melepas penat dan menenangkan diri dengan tata ruangan yang nyaman di pandang mata.
Kalau Fiki pikir-pikir, dia tidak ingat ada kafe disini sebelumnya. Dia kemudian duduk di meja nomor 3.
Fiki menyadari kekaguman orang-orang di sekelilingnya.
Terkejut? Tentu tidak, ini kesan yang biasa dia dapatkan dimanapun dia berada. Dia memang terlahir dengan gen super baik yang diidamkan semua orang.
Bukannya sombong, hanya menerima realita.
Tak lama berselang, seorang pelayan berjalan menghampiri mejanya.
Pelayan itu terbilang tinggi, dengan celemek khas kafe ini membungkus tubuh rampingnya. Rambutnya agak panjang berwarna kecoklatan, kulitnya kuning langsat dan mulus dengan mata panda seperti kurang tidur.
Penampilannya bagus dan memanjakan mata namun ekspresi wajahnya datar agak menyerempet ke judes. Di mata Fiki, orang ini unik. Dengan rautnya yang tidak menyenangkan, dia masih begitu memikat dengan pesonanya sendiri.
Shandy menyodorkan papan menu, "Silakan."
Sungguh, dia tidak ingin melihat pelanggan ini lebih lama jadi Shandy segera berbalik meninggalkannya. Dia berniat berganti dengan Gilang saja sebelum dia menendang cowok kaya ini dihadapan pelanggan lainnya. Namun tidak semudah itu.
"Tunggu," Fiki mengintrupsinya, membuat Shandy mau tidak mau berbalik.
"Ada yang bisa dibantu?" pinta Shandy, mencoba sopan meskipun di kepalanya sudah tersimpan 1001 niat jahat. Meski tidak menyukainya, dia masih harus menghadapi orang yang menyemburnya ini sebagai pelanggan.
Fiki melirik Shandy saat pemuda itu dengan sabar menjelaskan apa yang ada di menu. Entah kenapa, dia merasa pelayan ini tidak menyukainya, terasa sangat jelas dari cara orang ini menatapnya.
Tetapi melihat Shandy malah jadi hiburan tersendiri. Terutama ekspresi tidak nyaman yang cowok itu kenakan sembari bicara. Fiki terkekeh dalam hati.
Setelah puas menjelaskan, akhirnya bos muda itu memesan dan Shandy merasa moodnya semakin memburuk saja.
"Terima kasih," bos muda itu melirik name-tag di dada yang lain, "...Shandy." sebutnya. Tanpa malu-malu Fiki mengedipkan sebelah matanya pada Shandy, "Senyum dikit dong."
Oke, bahkan Shandy ingin menonjok pelanggannya ini. Tetapi ide ini dia telan kuat, jadi dia hanya mengeluarkan senyum palsu, "Sama-sama, tunggu sebentar ya."
Shandy berbalik pergi, sementara Fiki masih mempertahankan senyum tampannya, "Imut," gumamnya.
Pesanan meja nomor 3 sudah sampai di tangan Zweitson, jadi Shandy duduk dengan wajah tertekuk di kursinya tadi.
Suasana hatinya jelas semakin memburuk.
Merasa kasihan dengan bosnya, Gilang tidak tahan untuk tidak bertanya, "Lo gak apa-apa, Bos? Gue rasa lo perlu istirahat bentar," dia mengajukan diri, masalahnya jika mood bosnya ini terus memburuk siapa tau gajinya berdampak.
Shandy merasa usulan Gilang cukup baik, "Lo nganterin pesanan di meja 3," ujar Shandy singkat, Gilang mengangguk, dia senang setidaknya bisa mengurangi sedikit kejengkelan bosnya. Kemudian Shandy berkata lagi, "...tapi lo harus gak sengaja nyemburin kopi ke jas dia."
Gilang : "..........."
Dia melirik lelaki di meja 3. Orang itu tengah bersandar di kursi dengan handphone mahal di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pierced Memories [Fiki x Shandy aka Fidy UN1TY]
FanfikceCerita CEO muda x Bos kafe. Fiki, 23 tahun, CEO muda. Shandy, 27 tahun, pemilik kafe. Keduanya dipertemukan oleh pertikaian yang mencetuskan perang dingin. Karakter aku cuma minjem, tidak ada sangkut pautnya dengan real life karena ini cuma fanfic...