Bab 9

17 9 5
                                    

Rizky mengantar ke SMA untuk mengambil motor Alesha yang dititipkan tadi. Ia merasa tak enak dengannya yang sedari tadi terus diam tanpa suara, lebih tepatnya bengong akut.

“Gak usah turun, aku bisa sendiri. Kamu langsung pulang aja.” Alesha turun dari mobil Rizky.

Rizky menuruti Alesha dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia ingin sekali meluapkan segala amarahnya tadi karena ulah mereka. Namun setelah melihat wajah mereka, diurungkan niatnya. Ia sadar, itu hanya demi dirinya.

“Aku menuruti kalian membawanya kemari bukan untuk ini,” ucap Rizky lalu pergi ke kamarnya.

Ayah, ibu dan adiknya saling menyikut merasa bersalah, mereka sadar, mereka terlalu egois hari ini. Mendahulukan kehendak mereka, tanpa berpikir perasaan anak dan mantannya.

****

Alesha berjalan pelan ke arah di mana motornya terparkir. Masih dengan bengong akutnya, ia tak menyadari ada seorang laki-laki berpakaian rapi yang sedang berdiri dekat motornya. Laki-laki itu berdiri mendengar suara langkah sepatu Alesha, melihat lekat gadis itu. Ia memanggil namanya, “Alesha.”

Alesha tak mendengar panggilan laki-laki itu, hingga ia mengulangi panggilan itu lebih keras. “Alesha.”

Sadar namanya dipanggil, matanya yang tadi kosong, kini bisa melihat sosok laki-laki yang selama ini dirindukannya dalam lubuk hatinya yang terdalam. “Rangga.”
Keduanya saling tatap satu sama lain. Bagai waktu berhenti, mereka bergeming.


****


Tujuh tahun sebelum tahun sekarang. Riuh kelas ramai semua siswa merebutkan bangku untuk duduk meletakan tas dan duduk saat pembelajaran. Iya, hari ini hari pertama tahun pembelajaran di sekolah menengah atas untuk Alesha.

“Heh, kita satu kelas,” ucap seseorang laki-laki berpostur tinggi, putih, dan sedikit sipit. Dia adalah Rangga Wijaya.

“Hah heh hah heh, bukankah kita sudah sama-sama tau nama,” sindir Alesha.

Sebelumnya mereka satu kelompok saat masa orientasi siswa, bersama yang lainnya mereka berkenalan satu sama lain. Harusnya bisa kan, panggil nama.

“Iya sorry, kamu duduk di mana?” tanya Rangga.

“Enggak liat, aku duduk di sini nih, di sini.” Telunjuk Alesha menuding ke arah ia sedang duduk.

“Aku boleh di sebelahmu?”

“Enggak, aku akan duduk dengan Elsa,” jawab ketus Alesha.

“Kamu masih marah?”

“Pikir aja sendiri.”

Jadi saat MOS, saat mencari jejak seperti dalam kemah, gara-gara Rangga tersandung dan mengenai papan penunjuk arah, membuat kelompok mereka yang terdiri dari Alesha, Rangga, Putri, Elsa dan Anton tersesat entah ke mana. Dalam hutan yang rimbun pepohonan tinggi, semakin lama semakin entah di mana mereka berjalan. Hingga hari mulai petang, mereka baru menyadari jika mereka berjalan bukan jalan yang seharusnya dilewati.

“Kayaknya kita salah jalan?” ucap Alesha mulai ngeh mereka terus memutari jalan yang sama, dan kembali ke titik yang sama.

“Ah, enggak mungkin, tadi kan ikut petunjuk arah,” sangkal Rangga.

“Iya sih, tapi kan kita hanya berputar-putar saja, buktinya kita kembali ke pohon besar ini lagi.”

“Heh, di hutan ya emang pohonnya besar semua.”

“Enggak, tapi beda, pohon ini beda. Kita jalan sekali lagi, kalau gak percaya, aku akan kasih tanda di pohon ini.” Alesha memberi tanda garis di pohon tersebut.

Mereka kembali berjalan, dan dugaan Alesha benar, mereka kembali ke pohon itu lagi. “Bener kan?”

“Ah masa si? Coba jalan lagi.” Tapi Rangga yang masih tak percaya, meminta untuk berjalan satu kali lagi, hingga tiga kali dan tetap sama.

“Waduh gimana nih Les, aku takut, mana udah gelap banget.” Elsa mencengkeram lengan Alesha.

“Eh, kita harus berani, gak boleh takut.” Alesha mencoba menenangkan, padahal dalam hatinya tak jauh beda dengan Elsa.

“Ini semua gara-gara kamu Ngga. Kita brenti, jangan jalan lagi, jangan ngeyel, Alesha benar,” sewot Putri.

“Kok aku?”

“Iya lah, mungkin saja tadi papan itu berubah arah saat kamu jatuh mengenainya.”

“Aku yakin enggak.” Padahal dalam hatinya, dia merasa memang benar karenanya, tapi dia takut disalahkan. Iya, aku rasa akulah penyebabnya. Batinnya.

“Kalau enggak, kenapa kita bisa tersesat?”

“Ya kan bisa saja, karena angin.” Rangga terus saja ngeles kaya bajaj.

“Hah, angin? Loe pikir, angin apa yang bisa membalikkan papan kayu yang dipaku?” Putri semakin sewot bin kesal.

“Puting beliung atau topan, atau bisa jadi lisus,” timpal Anton melindungi temannya yang sudah terlihat gugup tak bisa jawab, walau Anton juga sadar ini karena temannya, mereka bisa tersesat.

“Dasar!” Putri seperti akan memukul Anton.

“Heh, sudah-sudah. Coba kita istirahat dulu dan berpikir bagaimana kita bisa kembali.” Alesha juga sudah mulai panik, bagaimana tidak kalau ada hewan buas tiba-tiba menerkam bagaimana? Pikirnya.

“Ada yang bawa senter? Aku takut gelap?” Elsa menilik ke jam yang sudah menunjukkan hampir pukul 18.00.
Semuanya menggeleng dan Elsa makin ketakutan dan lebih keras mencengkeram lengan Alesha.

“Aw, sakit El,” erang Alesha.

“Aku takut.”

“Tau, tapi jangan gini dong. Lepasin.”

“Enggak mau.”

“Dasar penakut,” ledek Anton.

“Diam kamu!” semprot Alesha yang juga sedang ketakutan.

Anton langsung terdiam tak berani bersuara lagi, mendengar nada tinggi Alesha.

Anton teringat, dia membawa ponsel yang ada baterainya di ujung atas ponsel, kali saja bisa memecahkan masalah. Dia mengambilnya di tas punggungnya.

Anton ingin memberitahu Alesha, tapi karena Alesha seperti sedang berpikir atau lebih cenderung melamun membuatnya menyentuh pundak Alesha untuk menyadarkannya. Alesha yang sedang ketakutan dalam hatinya terkejut dan refleks ke memeluk Rangga yang persis di depannya. “Aaa, jangan!” teriak Alesha yang berpikir ada makhluk astral mengganggunya.

“Les, itu Anton,” ucap Elsa.

Mereka memang berjalan berurutan tadi, keculai Elsa yang terus saja sejajar dengan Alesha. Alesha menengok ke belakang, dan melihat Anton yang sedang menjajal senter ponsel, namun menyorot ke mukanya sehingga membuat Alesha makin ketakutan tak terkendali hingga ia menangis dan semakin kencang memeluk Rangga.

Rangga tersenyum kecil, entah senang atau apa, tapi rasanya jantungnya sedikit bergetar aneh tak biasa. Takut tak terkendali, Rangga berucap, “Katanya harus berani, takut sampai nangis, meluk-meluk lagi. Kesempatan dalam kesempitan.”

Alesha yang tersadar, dia memeluk orang bukan pohon tinggi melepas kasar pelukannya dari pohon tinggi, maksud saya Rangga kata “Maaf.” Keluar dari mulutnya dengan lirih.

Semuanya tercengang, dia yang terlihat paling berani dari awal, ternyata hanya pandai menyembunyikan rasa takutnya saja. Dia bahkan terlihat lebih ketakutan dari Elsa yang sejak tadi menempel padanya, dan terus mengatakan kalau dia ketakutan.

Tidak lama, rombongan guru ternyata juga sedang mencari keberadaan mereka, dan akhirnya bisa menemukan dengan dibantu orang sekitar.

Jadi, yang membuat kesal Alesha itu, sudah tahu Rangga yang membuat mereka tersesat, tapi sampai akhir masih ngeyel dan tak mau mengaku, sudah itu harus berputar tiga kali hanya untuk membuktikan kebenaran bahwa memang tersesat, padahal menurut perhitungan Alesha sebelum pembuktian, mereka sudah berputar 7 kali. Belum lagi, saat Alesha refleks memeluknya, dia malah menuduh kesempatan dalam kesempitan. Baginya kata-kata itu terdengar sangat negatif, tapi Rangga tak menyadarinya.

Itulah awal sikap ketus Alesha pada Rangga, yang membuat Rangga makin gemas dan terus menempel padanya. Bukannya semakin menjauhinya, ia malah makin betah berteman dengan Alesha. Sering menjahilinya, meledeknya, hingga membuat kesal Alesha.

Namun tetap saja, walau sikapnya hangat atau cenderung panas menyebalkan ke Alesha, tetapi dia itu kulkas berjalan untuk yang lainnya.
Dia tak pernah bicara dengan siapa pun kecuali Alesha dan teman sebangkunya Anton. Bukan orang lain yang menjauhinya, hanya dia saja yang sengaja menjauhkan diri dari yang lain. Jangankan bicara, orang lain menyapa saja tak dibalas, apalagi menyapa dulu.

Seperti orang asing, hanya teman satu kelas yang tahu dia. Selebihnya tak pernah ada yang menganggap. Kalau saja dia mau menunjukkan diri sejak awal, pasti tak sulit saat ia mengajukan ikut pemilihan ketua OSIS.



Ex (Tak Terbatas Waktu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang