Bab 17

3 1 0
                                    

“Kok mukanya gitu? Ada masalah?” tanya Rangga setelah mereka duduk berdua di ruang komik.

“Kamu pikir, jika kamu punya pacar, terus dia lupa janjinya ke kamu, tapi dia pergi dengan cewek lain. Menurutmu kamu harus gimana?”

“Putusin lah,” jawabnya enteng.

“Hah? Tapi ....”

“Tapi apa? Masih sayang, ah udah putus aja. Laki-laki kayak gitu gak perlu dipertahanin.” Begitu semangatnya Rangga, semoga saja putus. Batinnya.

“Ah tau ah, itu bukan aku. Temen aku.” Ia begitu malu untuk jujur.

“Ah putus aja. Putusin dia dan ....” Jadian denganku. Batinnya berharap. Rangga tak percaya, itu pasti kejadian dia bukan temannya. Melihat wajahnya saja, sudah bisa langsung ditebak, ia menceritakan dirinya.

“Dan apa?”

“Dan anu, itu.” Rangga berpikir sejenak mencari alasan yang logis. “Emm, dan baca komik ini. Ini baru aku beli kemarin.”

“Ah benar, makasih ya.”

“Em.”

Alesha membuka lembar demi lembar komik, tapi nyatanya kali ini ia tak bisa fokus apalagi menikmati isi cerita komik. Pikirannya terus melayang, mengingat Rizky yang menduakannya. “Aku pikir, Rizky tak mungkin bisa melakukan ini padaku. Tapi ternyata aku salah.” Kalimat itu pun lolos dari mulutnya, menyimpannya tak membuatnya lebih baik.

“Kalau pengin nangis, nangis aja,” ucap Rangga.

Alesha menangis sejadi-jadinya. Hingga tisu menumpuk bekas air mata dan air hidungnya yang tak kalah banyak.

“Cengeng,” ledek Rangga.

“Emang, kamu yang nyuruh tadi.”

Rangga tersenyum kecil. “Sudahlah, ambilkan camilan dong di situ.” Rangga menunjuk ke kulkas samping Alesha.

Banyak sekali camilan dan minuman dingin, hari ini ia khusus mengisi penuh kulkasnya, khusus untuknya. Rangga bahkan rela ke mini market sendiri hari ini, menatanya sendiri di kulkas, hal yang selalu dilakukan oleh mbok Inah selama ini.
“Wow.” Takjub, Alesha begitu takjub melihatnya. Orang kaya memang beda. Pikirnya. Alesha mengambil beberapa yang ia suka dan meletakan di meja. “Itu semua untuk satu bulan kah? Banyak bener.”

“Sehabisnya aja sih, gak ada patokan.”

“Ow ya? Wow, boleh aku minta bawa pulang?” canda Alesha.

“Bawa aja,” jawab enteng. Mengira itu keseriusan.

“Canda kali.”

“Bawa aja, gak papa.”

“Eh, rang Cuma canda kok.”

“Oh gitu.

Alesha melihat ke arah jendela, sepertinya hari semakin gelap mendung tak berawan, menilik ke arloji ternyata waktu menunjukkan pukul 14.00. “Aku pikir udah jam setengah enam.”

“Sepertinya mau hujan.” Rangga juga melihat ke luar jendela.

“Kayaknya aku harus pulang deh.” Alesha beranjak dari sofanya. Belum sempat ke pintu, hujan deras sudah mengguyur.

“Ntar aja, nunggu reda. Nanti aku anterin pulang pakai mobil, kalau gak reda-reda.”

“Emang kamu boleh bawa mobil?” Alesha kembali ke sofa lagi.

“Enggak. Diam-diam lah. Lagian mereka pulangnya malam, gak penting juga dibolehin atau enggak sama mereka.”

“Gak boleh gitu sama orang tua, kualat lo ntar.”

Rangga diam tak menjawab dengan ekspresi yang tidak jelas. Sulit digambarkan, siapa pun yang melihat.

Deras suara hujan terdengar syahdu di telinga Alesha, membuat matanya menjadi berat, dan lama-lama ia tak bisa lagi menahannya. Kepalanya miring bersandar ke sofa dan zzz, ia terlelap dalam mimpi.

Dengkuran halus terdengar, Rangga menengok ke sampingnya. “Perasaan dia masih ngomong tadi, udah tidur aja.” Rangga membenarkan posisi tidur Alesha, membuatnya berbaring di sofa dan memberinya bantal yang ia ambil dari kasurnya.

Tak disangka, ia bisa sering bersamanya sekarang. Suatu keajaiban baginya, melihatnya tertidur pulas. Namanya juga jatuh cinta yang jelek saja bisa terlihat cantik, apalagi yang benar cantik terlihat sangat luar biasa tentunya. Untuk orang yang tidak sedang jatuh cinta, pasti menganggap menjijikkan sekali melihat orang tertidur dengan air liur mengalir dari sudut bibirnya. Nyatanya tidak buat orang yang sedang kasmaran, itu malah terlihat menambah pesona tersendiri di hati Rangga. “Sangat menggemaskan,” ucapnya dengan senyum lebar.

Tubuhnya sedikit bergerak karena udara yang dingin, Rangga segera mengambil selimut dan dengan sangat hati-hati menyelimutinya, supaya ia tak terbangun. Rangga tak berhenti memandanginya, kapan lagi ia bisa punya kesempatan memandanginya sesuka hati, selama yang ia mau, kalau tidak sekarang. Semakin lama, makin membuatnya gemas sendiri. Dia tersenyum-senyum senang tak terkira, yang biasanya ia hanya mencuri pandang kini bisa dengan leluasa tanpa mencuri lagi.

Kehangatan semakin membuat nyenyak, hingga tanpa disadari hari sudah malam menunjukkan pukul 20.00. Rangga masih pada posisinya sekarang. Tak bosan-bosan aku memandangmu. Sepertinya sangat pas untuk back sound Rangga sekarang, bayangkan saja beberapa jam ia melakukan itu. Orang jatuh cinta memang aneh.

Alesha menggeliat pelan, meregangkan otot tangannya dan mengelap iler di mulutnya. Matanya mengerjap, belum sepenuhnya sadar. Rangga yang tersadar, ia akan segera bangun, lekas menghentikan kegiatan memandanginya, dan segera mengambil komik di meja lalu pura-pura membacanya.

Mata Alesha membulat, bingung dia masih di tempat yang sama seperti tadi siang, ia juga sudah berbaring lengkap dengan bantal dan selimut. Lalu ia teringat semuanya. Ia bangkit dan duduk, melihat ke Rangga dan tersipu.

“Udah kenyang tidurnya?” tanya Rangga masih dengan pura-pura baca komik.

“Kenapa gak bangunin?”

“Gak tega, kamu pules banget.”

“Kamu yang kasih bantal dan selimut?”

“Emang siapa lagi?”

“Ah benar, kita hanya berdua di sini.” What, benar kita hanya berdua, apa yang dia lakukan saat aku tidur tadi. Dia kan juga cowok, dasar teledor, bodoh,  harusnya jaga mata kamu. Alesha terus memaki dirinya dalam hati. “Kamu gak ngapa-ngapain, kan?” tanyanya, sedikit terbata-bata karena gugup.

“Kamu pikir aku cowok apaan, suka mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku gak sepicik itu.”

Kata Kesempatan dalam kesempitan, membuatnya teringat saat mereka tersesat di hutan, saat Alesha refleks memeluknya karena kaget dan takut, dan itu sangat menyinggung perasaan Alesha. “Jadi, kamu ngatain aku picik? Dasar keterlaluan!”

“Maksud aku bukan gitu.” Kok jadi begini. Pikirnya.

“Terus apa maksudnya? Ow, kamu pasti ngira aku cewek gak bener, kan.”

“Enggak, bukan gitu. Aduh, gimana ngomongnya sih.” Rangga garuk-garuk kepala karena makin bingung. “Gini, intinya aku gak ngapa-ngapain, karena aku bukan tipe ambil kesempatan dalam kesempitan. Gitu doang, gak ada hubungannya dengan kejadian dulu, apalagi lagi ngatain kamu.”

“Tapi aku sangat tersinggung dengan kata-katamu dulu, itu hanya gerakan refleksku saja, tapi kamu teganya bilang begitu.” Alesha mengungkapkan yang ia pendam sejak dulu. Tanpa sadar, ada air di sudut matanya.

Rangga malah terkekeh, dia juga dulu refleks mengatakan itu karena terlalu gugup tiba-tiba dipeluk orang yang ia sukai, dan hanya kalimat itu yang terpikir dan terlontar dari mulutnya begitu saja, tanpa ada maksud menyinggung apalagi menyakiti. Ia tak menyangka, itu membuatnya sangat tersinggung. Kini ia tahu, kalau itu penyebab sikap ketus Alesha padanya.

“Kenapa? Ini bukan lelucon.”

“Maaf, baiklah aku minta maaf untuk semua itu. Aku gak nyangka, jika itu menyinggungmu. Tapi sungguh, aku tak bermaksud menyingung. Emm, kamu terlihat manis jika marah.” Kalimat terakhir mengandung gombal, supaya dia mau memaafkan.

Muka Alesha memerah mendengar kalimat terakhir Rangga. “Kenapa jadi sangat panas.” Alesha mengipasi wajahnya dengan tangan. “Baiklah, aku juga memaafkanmu, tapi dengan satu syarat.”

“Syarat?”

“Iya, pinjamkan aku komik. Aku ingin baca di rumah. Aku gak enak ke sini terus, lagian gak baik juga kalau cewek dam cowok berduaan. Takut ada fitnah.” Alesha tak mau membuang kesempatan begitu saja. Semoga kali ini ia berhasil.

Kalau tidak dipinjami, nanti tidak dimaafkan. Kalau dipinjami, nanti ia tidak ke sini lagi, artinya ia tak bisa sering berduaan dengannya lagi. Dilema sekali, Rangga diam berpikir sejenak.

“Jangan banyak mikir. Pinjamin, atau kita tak berteman lagi,” ancam Alesha.

“Iya, baiklah. Tapi ingat, jangan sampai rusak. Dan ingat, jangan terlalu lama kembaliinya.”

Yes, aku berhasil. Kenapa sejak dulu tak terpikir olehku untuk menggunakan trik ini. Senangnya dalam hati, Alesha seperti menang piala citra berakting dapat reward. Iya, karena apa ancamannya hari ini bukan dari hati, kalaupun tak dipinjami. Ia juga tetap akan berteman dengan Rangga.

Alesha menatap ke Rangga, dan tersenyum semringah. Namun ia gagal fokus dengan komik yang sedang di pegang Rangga. “Rangga, itu komiknya terbalik.”

Rangga terlihat kikuk, saat mengecek benar terbalik. “Aku terkadang, memang baca terbalik biar lebih asyik.” Rangga beralasan.

“Oh ya? Apa asyiknya, emang gak sulit?”

“Gak, aku udah biasa.” Rangga meletakan komik di atas meja. “Kamu bisa coba, kalau gak percaya.”

Polosnya, Alesha benar mencoba membaca komik secara terbalik. “Ah, mana asyiknya, sulit ah.”

Rangga tersenyum kecil bahkan tak terlihat sama sekali. “Oh, itu butuh keahlian. Aku sudah ahli.”

“Dasar sombong,” lirih Alesha.

Alesha memilih komik yang ia bawa pulang, memasukkannya ke tas satu persatu. Hingga tasnya penuh, sampai luber istilahnya. Retsleting tas pun jadi sulit ditutup saking penuhnya.
“Gak sekalian, pinjem semua yang ada di sini. Bawa aja sekalian semuanya,” sindir Rangga.

“Jangan kesel gitu dong mukanya, nih aku kurangin.” Alesha mengurangi komiknya, sampai tasnya bisa diretsleting.

Happy reading, no spaneng.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ex (Tak Terbatas Waktu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang