Bab 12

3 0 0
                                    

Sepulang sekolah, rasa gerah, capek dan lelah membuatnya cepat masuk kamar, melempar tasnya ke kasur diikuti dirinya juga merebahkan diri di kasurnya yang empuk.
Ponselnya berdering, telepon masuk dari Adit.

“Hallo.” Alesha menjawab teleponnya.

“Kamu lagi apa?”

“Baru pulang, kan tadi bareng kamu. Memangnya kak Adit udah nyampe? Kok telepon?” Alesha pikir, harusnya dia belum sampai di rumah, karena jarak rumahnya cukup jauh.

“Belum, aku masih di angkot. Pengin mastiin kamu udah nyampai rumah apa belum aja.”

“Apaan sih dia? Perasaan dia liat aku turun dari angkot dan langsung masuk rumah,” batinnya. “Ooh, aku udah nyampe kok, Kak.”

“Minggu ada acara gak?”

Alesha teringat, dia ada janji dengan Rizky. “Ada, kenapa?”

“Gak papa, Cuma nanya. Ya udah ya, sampai jumpa besok.” Adit terlihat kecewa, tangannya meremas udara.

“Iya. Sampai jumpa.”

****

Hari minggu tiba, Rizky tiba-tiba mengabari mendadak tak bisa pergi dengan Alesha lewat pesan suara. “Halo Les, maaf ya, hari ini kita batal jalan, ada urusan mendadak. Maaf banget, aku janji minggu depan, aku usahain.”

Walau sangat kecewa karena Alesha sudah berdandan, merias diri, memilih pakaian terbaiknya sejak pagi hanya untuk pergi dengan Rizky, tapi ia berusaha mengerti keadaan. “Iya gak apa, semoga urusanmu cepat selesai.”

“Makasih ya sayang, kamu memang sangat pengertian.” Rizky menutup teleponnya.

“Urusan apa yang membuatnya membatalkan janji denganku? Aku sangat penasaran.” Alesha sungguh merasa kesal dan kecewa.

Minggu depannya lagi, Rizky juga entah mengapa tiba-tiba membatalkan janjinya lagi, sampai minggu ke depannya lagi. Tiga minggu melanggar janji, membuat kesabaran Alesha tak bisa lagi ditahan. Ia mulai curiga, karena alasannya masih sama urusan mendadak. Apa urusan mendadak yang terjadi di setiap minggu?

Alesha menelepon Elsa, untuk menghilangkan suntuknya di rumah karena gagal pergi dengan pacarnya.
“Wah, sangat mencurigakan. Dia pasti selingkuh tuh.” Bukannya mendinginkan hati yang panas, Elsa justru menambah panas hati Alesha yang sudah sangat panas.

“Kok ngomongnya gitu sih,” rengek Alesha takut itu nyata. Karena itu yang ada dipikirkannya sejak kemarin.

“Nanti pasti abis ini, kalian akan putus,” ramal Elsa asal bicara sebenarnya, bukan dari hati. Dia hanya berniat meledeknya.

“Elsa, doanya yang bener napa.”

Elsa terkekeh, melihat raut wajah sahabatnya yang terlihat ketakutan. “Iya, canda kok, canda. Jangan nangis gitu dong, berpikir positif aja, aku yakin Rizky bukan orang kaya gitu kok.” Elsa merasa sedikit bersalah walau sangat terhibur, dan mulai menenangkan hati Alesha.

“Siapa yang nangis.” Jelas-jelas dirinya yang hampir menangis masih mengelak karena gengsi.

“Iya, daripada suntuk, mending kita jalan-jalan. Kali aja aku nemu cowok, biar gak jomblo lagi.”

Alesha dan Elsa boncengan motor berdua, kali ini Elsa mengalah untuk berada di kemudi depan. “Ke mana nih?”

“Aku kira, kamu udah tau mau ke mana.”

“Belum, hehe.”

“Udah deh, aku lagi buntu. Terserah kamu aja.”

“Oke.”

Separuh perjalanan, mulai menikmati pemandangan sekitar. Lebih banyaknya si pemandangan muda-mudi boncengan motor, membuat iri yang gagal pergi selama tiga kali. “Jangan-jangan benar kata Elsa,” batinnya. “Ah, tidak-tidak.” Namun ia segera menampiknya juga dalam hati.

Sedang asyiknya berjalan, tiba-tiba motor tidak mau berjalan. Elsa melongok ke arah speedometer di motor, jarum bahan bakar sudah dititik warna merah. “Aduh, kamu bawa duit? Bensin abis nih, mana jauh lagi dari POM.”

“Enggak, aku kira kamu punya duit, ngajakin jalan. Jangan bilang,”

“Hehe, maaf Les.”

“Ih kamu ih nyebelin. Terus gimana nih?”

“Gak tau.”

“Kok gak tau, mikir napa!”

“Iya, aku lagi mikir nih.” Aslinya dalam otaknya buntu. Dia pura-pura seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.

“Udah nemu cara?” tanya Alesha memastikan, ia tak yakin temannya benar-benar berpikir.

Elsa menggelengkan kepala.

“Ah kamu!”

“Ow ya, bukannya rumah Rangga deket-deket sini, ya?”

“Yang bener? Dari mana kamu tau?”

“Aku dulu pernah liat aja, kayaknya dia pulang lewat sini deh.”

“Parah, belum tentu lewat sini, rumahnya sekitar sini juga kali, emangnya kita orang sini?” Alesha mengingatkannya, sekarang kita lewat sini, tapi kita bukan orang sini.

“Iya juga sih, minta tolong aja sama dia, kali aja dia bener orang sini.”

“Enggak, kenapa aku, kamu aja.”

“Kamu aja, bukannya dia hangat ke kamu.” Elsa ingat, sikap Rangga padanya masih dingin, meski ia teman Alesha.

“Maksud kamu?” Alesha masih belum menyadari kehangatan sikap Rangga padanya.

“Jangan pura-pura, semua orang juga tahu, kalau ia hanya bicara padamu dan Anton saja.”

Alesha tahu itu, hanya saja hangat itu seperti menyiratkan arti lain, yang membuat bingung hatinya. Walau begitu, tak ada pilihan lain sepertinya. Jika ia menelepon ibunya, tamat riwayatnya, daripada itu terjadi mending ikut saran Elsa.

Alesha memberanikan diri, mencari kontak di ponselnya, dan menghubungi Rangga. Nada menyambung terdengar, namun tak ada jawaban. Alesha mencoba mengulangi panggilan, namun masih belum ada jawaban. “Hangat apaan, nelpon aja gak diangkat.”

Elsa terkekeh. “Coba lagi.”

“Enggak,” tolak Alesha.

Kedua gadis ini bingung berdiri di pinggir jalan, berharap ada malaikat tanpa sayap berhenti dan menolong mereka. Harapan hanya harapan, dari sekian banyak kendaraan lalu lalang, tak ada satu pun yang hanya sekedar menengok atau bertanya.

“Gimana nih udah hampir satu jam?” Elsa mulai lelah dan panik.

“Dorong aja lah,” jawab asal Alesha.

“Masih waras?” Elsa mengernyit. Ya kali dorong sampai berkilo-kilo, ide konyol dan gila.

Ponsel Alesha berdering, Alesha yang sedang frustrasi sampai tak mendengarnya.

“HP kamu bunyi, woi.” Elsa menabok lengan Alesha.

Ternyata tabokan Elsa mampu membuat normal gendang telinganya. Alesha segera mengecek siapa yang meneleponnya. “Rangga.” Alesha dengan segera menjawab. “Halo.”

“Maaf Les, tadi aku sedang baca komik, jadi gak denger. Ada apa tadi nelpon?”

“Ah gini, bisa minta tolong.” Alesha menceritakan musibah yang sedang menimpanya.

Tak begitu lama, Rangga datang dengan motornya, membawa bahan bakar yang dibutuhkan dua gadis yang telah lama terjemur terik sinar cahaya matahari siang hari.

“Maaf dan makasih ya, Ngga,” ucap Alesha tak enak.

“Iya sama-sama. Habis ini mau ke mana?”

“Pulang aja lah, dah males duluan.” Tatapnya pada Elsa penuh sindiran.

“Rumahmu deket-deket sini ya, kok nyampenya cepet banget?” tanya Elsa, ingin membuktikan pada temannya, dugaannya itu benar.

“Iya,” jawab Rangga singkat dan padat.

“Tuh kan, dia tetep si kulkas,” batin Elsa.

“Mau mampir?” Rangga ingin sekali mengajak Alesha ke rumahnya.

“Wih, apa kulkasnya mulai rusak?” celetuknya dalam hati. “Boleh, kali di rumahmu ada minum dingin. Sedingin kamu.” Kalimat terakhir hanya berani ia ucapkan dalam batinnya saja.

Alesha menyikutnya, lalu menatap tajam, sudah jelas ia bilang mau pulang, kenapa malah Elsa mau mampir.

“Bentar doang.” Elsa merayu.

Terpaksa Alesha menurutinya, mampir ke rumah Rangga. Di sana, kedua gadis sedikit minder. Rumahnya sangat besar, mungkin satu kompleks, rumah ini yang terbesar dan termegah.
“Pantas saja dia dingin ke orang, inikah alasannya. Perbedaan kasta dan level class.” Elsa masih saja meracu dalam hatinya, sambil netranya mengelilingi seisi ruang tamu yang luas dengan dekorasi ala-ala rumah klasik modern.

Alesha juga tak lepas dari decak kagum di hatinya. Rasanya baru kali ini ia masuk rumah mewah, biasanya ia hanya lihat di sinetron ikan terbang atau drama Korea CEO. Ada sedikit kebahagiaan terbesit di hati, dibalik musibah disebabkan Elsa.

“Kenapa senyum-senyum?” tanya Elsa yang ternyata sedang memperhatikan temannya yang melamun. “Mikirin apa?”

“Kepo,” jutek Alesha.

Rangga ke luar dengan mbok Inah yang membawa nampan berisi minuman oren dingin dan beberapa camilan dalam stoples. Ini kali pertama ada teman Rangga yang datang ke rumah, terlihat raut wajah mbok Inah yang begitu semringah dan tampak bersemangat melayani tamunya kini.

Mbok Inah adalah saksi, bagaimana Rangga kehilangan ibunya, terpuruk, depresi, lalu menjauhkan diri dari yang lain walau ia setuju bersekolah, yang berdampak sikap dinginnya ke semua orang dan anggapan bahwa dia orang kaya yang sombong.

Mbok Inah teman bicaranya yang nyaman selama ini, dia bisa berbicara lebih dari 10 kata hanya padanya. Lalu kini, ia melihat dua gadis ke rumahnya. Itu suatu kebahagiaan tersendiri buat mbok Inah. Pikirnya, Rangga mulai membuka diri dan berteman dengan orang lain selain dirinya.

“Silahkan diminum,” tawar mbok Inah.

“Makasih Bu,” jawab Alesha disusul Elsa.

“Panggil saja Mbok, kaya den Rangga.”

“Ah iya, Mbok.”

Happy reading, aja spaneng...

Ex (Tak Terbatas Waktu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang