Alesha masuk ke perpustakaan, ke toilet hanya alasan untuk bisa pergi dari Adit tanpa diikutinya. “Kalau aku bilang ke sini, dia pasti ngikut. Ah, kenapa aku begitu percaya diri sekali,” batinnya.
“Senyum-senyum sendiri, masih waras?” tanya Rangga yang sudah duduk di sebelahnya.
“Dari mana kau tau, aku di sini?” Mata Alesha melihat ke sana kemari takut si ketua OSIS juga di sini.
“Dia enggak di sini. Mungkin saja ia masih duduk di kelas, menunggumu.”
Ternyata benar, Adit masih dengan setia menunggu sambil memainkan ponselnya, menjadi pemandangan semua gadis penghuni kelas yang rela menahan laparnya tak pergi ke kantin demi melihat sosoknya.
Putri masuk ke kelas dan melihat Adit yang duduk di bangku Alesha. Ia tidak sekelas dengan Alesha, ia hanya meminjam LKS pada temannya, karena punya tertinggal di rumah. “Dia ngapain di sini sendiri?”
“Apel lah, apa lagi,” jawab temannya.
“Apel siapa?” Putri ternyata belum mendengar gosip yang beredar luas.
Kalau Adit adalah populer versi cowok, versi ceweknya ya Putri. Semua orang, tahu dia, walau ia termasuk murid baru tahun pertama. Itu karena sebelum masuk ke SMA, dia model majalah anak semenjak sekolah dasar, jadi wajar saja semua orang mengenalnya. Wajahnya sering terpampang di baliho besar dengan pose iklan makanan dan lain-lain. Pernah juga, masuk TV jadi model iklan obat penurun panas dan masih banyak lagi.
“Alesha lah, itu yang kemarin satu kelompok bareng kamu. Mang, kamu belum denger berita? Ah wajar sih, orang kaya kamu, hal seperti itu pasti gak penting.”
“Hah? Yang bener?” Dalam hatinya terpendam kekecewaan yang sangat besar. Bagaimana tidak, sejak awal liat Adit memberikan sambutan ketua OSIS sewaktu MOS, ia sudah mulai tertarik padanya. Makin hari, makin bertambah rasa tertarik yang membuatnya diam-diam memperhatikan Adit dari kejauhan. Bahkan, ia mengambil gambar Adit di media sosial, untuk dipandanginya setiap hari. Galerinya penuh dengan fotonya, dan editan foto dirinya dan Adit.
****
Di perpustakaan, Rangga ingin memastikan kebenaran gosipnya dengan Adit, hanya saja ia bingung mulai dari mana. Kalau benar ia pacarnya, kenapa Adit ditinggal di kelas. Itulah yang aneh menurutnya. “Les,” panggilnya pelan.
“Hem,” jawab Alesha sambil membaca novel.
“Kamu dan dia,” ucap Rangga terhenti.
Alesha paham maksud Rangga. “Enggak.”
“Oh, jadi?”
“Ya enggak, intinya enggak. Aku tuh udah punya pacar, jadi aku gak mungkin sama dia.”
Deg, ada kebahagiaan saat Alesha bilang enggak, tapi alasan dibalik itu sungguh membuatnya sangat terpukul dan hatinya terasa sakit karena patah. “Dia punya pacar, harusnya aku tak bertanya tadi, jika aku akan merasa seperti ini,” batinnya.
“Nih, aku kasih liat pacar aku. Cuma kamu dan Elsa yang tau.” Alesha memperlihatkan potret mesranya dengan Rizky di galeri ponsel.
“Kenapa memberitahuku?” Apa kau ingin membuat remuk jantung hati ini? Batinnya.
“Kata semua orang, sikapmu tak sedingin ke orang lain ke aku, berarti kau menganggapku teman, kan? Itulah mengapa, sama seperti Elsa, kamu aku anggap teman sekaligus sahabat.” Kini ia menutup novel yang ia baca, dan fokus mengobrol dengan Rangga.
“Sahabat, baiklah.” Rangga begitu terluka, tapi ia sungguh hebat, mukanya tetap bisa datar tanpa ekspresi yang jelas, membuat Alesha tak pernah bisa menebak isi hatinya.
“Kamu anggap aku sahabat, kan?”
“Em.”
“Em apa?”
“Iya.”
“Oh ya, kemarin katanya kamu baca komik, kamu punya komik berapa?”
“Banyak.”
Naluri hobinya dari kecil meronta-ronta, mendengar kata banyak. Semenjak SMP, mama Reta, ibunya Alesha melarangnya baca komik, gara-gara nilanya merosot. Dia hampir tak pernah belajar, sibuk baca komik terus, yang berakhir pembakaran komik besar-besaran di rumahnya. Saat itu ia menangis histeris, bagai kehilangan orang yang ia sayangi.
“Apa saja koleksimu?” Dia berharap ada komik favoritnya dalam koleksi Rangga.
Rangga teringat dengan komik yang tertukar dengan Alesha ialah komik karangan Masashi Kishimoto. “Aku punya koleksi lengkap komik Naruto, dari pertama hingga yang terbaru.”
Matanya berbinar mendengar harapannya terkabul. “Aku sahabatmu kan, jadi terkadang itu sahabat itu, e..., boleh saling minjem gitu.”
“Tapi aku gak suka minjemin barang ke orang lain, walaupun ke sahabat.” Rangga tersenyum kecil, bahkan tak terlihat sama sekali.
Gagal, Alesha pikir dengan mudah ia dapat meminjam komik, dengan berkedok sahabat. Nyatanya, tak semudah yang ia pikirkan. “Pelit,” lirihnya.
“Bukan pelit, aku hanya tak suka meminjamkannya saja, tapi jika kau mau, mainlah ke rumah. Kamu boleh baca sepuasmu, tapi jangan bawa pulang.”
“Ternyata kau dengar, maaf gak bermaksud ngatain kamu.” Alesha tak enak rasanya sekarang. “Kamu gak ada niat mengajakku main ke rumah?” Dia masih mencoba berusaha demi komik favoritnya.
Bagai gayung bersambut, tanpa ia mengajaknya ke rumah, eh si dia malah memberi kode. “Nanti, sepulang sekolah, aku tunggu di depan.”
Pulang sekolah, Rangga menunggunya di depan gerbang, sambil menunggu angkutan umum menuju rumahnya.
Alesha begitu bersemangat ke luar dari kelas, senyum semringah terus ia tebarkan tanpa sadar. Seperti orang yang sudah lama tak bertemu dengan yang dikasihinya, ini melebihi itu. Dia berlari kecil, tak sabar sampai di rumah Rangga dan bisa memeluk kesayangannya, Naruto dan kawan-kawan.
Melihat Rangga di gerbang, sudah terasa sangat dekat dengan Naruto. Ingin sekali segera memeluknya, namun ia langsung tersadar dan mengurungkannya. Keduanya naik angkot bersama, yang sedari tadi belum jalan hanya demi menunggunya.
Tanpa mereka sadari, Adit melihat keduanya saat menaiki angkot. Membuat api cemburu, membakarnya, hingga hatinya begitu panas dan mendidih. Ia juga melihat Elsa naik angkot lain yang berlawanan arah dengan Alesha, membuatnya semakin mendidih karena merasa dibohongi. “Hari ini kau kumaafkan, tapi bayaran untuk ini, kau harus menjadi miliku selamanya,” batinnya.
****
Masuk ke kamar Rangga, Alesha berdecap kagum, kasur yang besar, kamar yang luas. Semua barang tertata sangat rapi, berbeda dengan kamar cowok pada umumnya yang cenderung berantakan seperti kamar kakak laki-lakinya di rumah.
“Mana komiknya?” tanya Alesha, karena ia tak melihat ada tumpukan buku atau rak buku.
“Ikut aku.”
Alesha mengekor di belakang Rangga. Rangga membuka pintu mirip pintu lemari. Namun setelah dibuka dan masuk, ternyata mereka masuk bukan ke lemari, melainkan ke suatu ruangan mirip perpustakaan dengan satu sofa panjang dan meja. Ada satu kulkas dua pintu juga di samping sofa.
Alesha tak berhenti berdecap kagum, melihat kemewahan dari pintu gerbang masuk hingga yang dilihatnya sekarang. “Orang kaya memang beda,” ucapnya dalam hati.
“Wah, luar biasa.” Alesha seperti melihat toko buku, atau perpustakaan besar di dalam kamar. Ia ingat, kamarnya saja sangat sempit, muat untuk satu kasur, satu lemari, dan satu meja. Dan ini, malah ada perpustakaan dalam lemari.
“Mari kutunjukkan apa yang kau inginkan.” Rangga berjalan ke rak berada di pojok ruangan, dan Alesha mengekor di belakangnya lagi.
Saat sudah sampai yang dituju, mata Alesha langsung berbinar, ternyata Rangga benar-benar mempunyai semua koleksi komiknya sejak awal hingga terbaru, bahkan seri yang sulit dicari pun ia memilikinya. Segera ia mengambil beberapa komik karangan Masashi Kishimoto itu dan membawanya ke sofa panjang, agar lebih PW saat membaca.
Rangga membiarkannya, ia mengambil komik yang ada di lemari kecil, itu tempat komik yang belum selesai dibaca. Mereka pun sibuk dengan komik masing-masing hingga lupa waktu, dan melewatkan jam makan.
Mbok Inah mengetuk pintu, dan membawakan makanan atas perintah Lania, ibu sambung Rangga.
Sebelumnya, Lania melihat Rangga dan Alesha masuk kamar. Penasaran, ia bertanya pada mbok Inah dan si mbok mengatakan yang ia tahu dari Rangga. Padahal ia berjanji sendiri akan merahasiakannya, namanya juga sudah tua, ia malah menceritakan semuanya termasuk Rangga yang naksir Alesha.
Lania juga sama bahagianya dengan mbok Inah, pikirnya ini awal yang baik untuk Rangga ke depannya. Meskipun kebencian Rangga terhadapnya, tak diharapkan akan memudar. Namun mendengar ini, ia cukup bahagia.
“Antarkan makan untuk mereka, ini sudah lewat jam makan, jangan sampai mereka sakit,” perintah Lania.
Rangga dan Alesha menghentikan bacaan mereka, karena suara ketukan pintu. Rangga membuka pintu. “Kok dianter ke sini Mbok?”
“Iya Den, ini sudah hampir jam 5 lo, kalian belum turun, makanya ibu nyuruh anter makan, Den.” Mbok Inah keceplosan.
“Dia di rumah?”
“Iya Den, tapi ini mbok yang masak Den, bukan ibu.” Mbok Inah menjelaskan, takut tuanya tak mau makan karena ibu sambung yang menyuruhnya. Namun sebenarnya, ia berbohong untuk siapa yang masak.
“Iya Mbok, aku percaya Mbok takan menghianatiku.”
Aduh, mbok Inah merasa bersalah, karena menceritakan pada ibu sambungnya tadi. “Maaf ya Den,” ucapnya sambil meletakan makan siang dan berlalu pergi.
Rangga sedikit bingung dengan kata maaf mbok Inah, tapi ia mengabaikannya dan mulai ingat kalau perutnya sudah minta diisi.
Alesha menengok ke Rangga yang begitu lahap dengan masakan si mbok. Apa dia akan makan sendiri? Batinnya, mulai ngiler, perutnya juga protes minta asupan.“Apa kau kan diam saja?” Rangga mendengar bunyi perut itu dengan sangat jelas. “Makan, emangnya aku sanggup menghabiskan ini semua sendiri?
“Dari tadi napa, kalau sama sahabat itu biasanya saling berbagi, kan. Apalagi, kalau mau minjemin sesuatu, gitu.” Sepertinya ia masih berharap kebaikan hati Rangga, untuk meminjamkannya komik. Alesha mulai mencicipi menu mbok Inah. “Emm, enak.” Dia mulai lahap dan kilat menyantap.
Meminjamkannya, jangan harap. Bahkan ia tak pernah membawanya ke mana pun dari ruangan ini. Walau hanya sekedar di kasurnya apalagi, lebih dari itu. “Maaf, kamu boleh baca sebanyak apa pun yang kau mau, asal di sini.”Happy reading, no spaneng spaneng
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex (Tak Terbatas Waktu)
Teen FictionAlesha gadis sederhana, yang terlanjur menutup hatinya setelah gagal di masa lalunya. Dia tak mengizinkan laki-laki masuk ke hatinya, apalagi menerima cinta seorang laki-laki. Ini berawal saat SMA dulu, ia terpaksa menerima cinta Adit demi memutuska...