Bab 15

2 1 0
                                    

Hari semakin sore, langit juga semakin menampakkan warna gelap, Alesha mulai teringat rumah dan mamanya. Dia begitu asyik kangen-kangenan dengan ninja, hingga lupa waktu. “Aduh, gimana nih, aku pulangnya?” Alesha menengok ke arloji yang sudah menunjukkan pukul lebih dari 6.

Rangga baru usai dari membersihkan badan, memakai handuknya yang dililitkan separuh tubuhnya ke bawah. Membuka lemari dan memilih baju yang hendak ia pakai.

Dari sisi lain, Alesha yang sedang bingung bagaimana nasib dirinya setelah ini, ke luar dari dalam perpus komik. “Ngga, aku pulangnya gimana?” tanya Alesha, yang hanya melihat dari tumit kakinya saja, sisanya terhalangi pintu lemari.

“Terserah kamu,” jawab Rangga, masih sibuk memilih baju.

Kesal sekali Alesha mendengar jawabannya, bagaimana ia begitu cuek dan tak mengerti kalau ia butuh bantuan darinya. Alesha mendekat di mana Rangga berdiri, dan mendapatinya masih dengan handuk melilit di pinggang, belum usai dengan pemilihan baju. “Ih Rangga, kenapa cuma pakai handuk aja sih?” Alesha membalikkan badannya lagi supaya tak melihat punggungnya yang putih bersih.

“Kamu gak liat aku abis mandi, ya pakai handuk.”

“Kenapa gak bilang abis mandi,” sewot Alesha, melihat Rangga yang terkesan biasa saja dengan penampakannya sekarang, Alesha kan juga cewek, apalagi ia usia remaja. Harusnya rasa malu yang ia tunjukkan.

“Ah iya lupa tadi gak bilang,” jawabnya cuek. Rangga berhenti memilih baju dan membalikkan diri ke Alesha yang sedang membelakanginya. “Kenapa kamu menghadap ke situ?”

“Masih nanya, buruan pakai baju.”

“Kamu suka warna apa?”

“Kenapa tanya?”

“Jawab aja.”

“Ijo. Udah belum?”

Rangga kembali menghadap ke lemari dan mengambil kaos hijau. “Udah.”
Alesha menghadap ke Rangga, dan mendapati punggungnya masih terbuka, dengan segera ke posisi awal lagi. “Katanya sudah.”

Rangga tersenyum kecil, ia sadar temannya baru saja melihatnya. “Iya, sudah.” Rangga mengerjai Alesha supaya menghadapnya lagi yang masih pakai handuk, ingin sekali ia melihat ekspresi muka Alesha.

Alesha membalikkan badan. “Kamu anterin aku pul ....” Mata Alesha membulat, melihat Rangga masih sama, kini malah bukan punggungnya yang ia lihat melainkan bagian dari perut ke atas yang terbuka. Seketika ia menutupi wajahnya yang memerah. “Rangga, kamu keterlaluan. Memangnya pakai baju aja susah banget ya?”

Rangga terkekeh. “Susah banget, bantuin dong.” Ia semakin menggodanya.

“Dasar gila.”

Mbok Inah membuka pintu kamar. “Den, Non, sedang apa kalian?”

“Ganti baju lah, gak liat apa,” jawab Rangga yang tak mengerti maksud pertanyaan si mbok itu, sedang apa mereka berdua di kamar dengan keadaan si Rangga memakai handuk saja. Apakah mungkin, terjadi sesuatu antara mereka. Pikirnya si mbok.

“Liat Den, tapi gak baik lo Den, kalian masih kecil. Kalian harus bisa mengendalikan diri.”

“Ngomong apa si Mbok?” tanya Rangga bingung.

Alesha juga mengernyit bingung, apa maksud perkataan si mbok.

“Neng Alesha, sini ikut mbok.” Alesha mengikuti mbok Inah hingga ke dapur. “Neng, jangan mau, kalau den Rangga ngajakin, ingat kalian masih kecil.”

Pikir Alesha, Rangga ajak dia baca komik, ia pun menjawab, “Tapi itu juga hobi aku Mbok, aku sangat suka. Aku tidak bisa menolaknya.”

Mbok tercengang, hampir mau pingsan. “Aduh Neng, ingat lo kalian masih kecil. Ingat masa depan.” Mbok Inah begitu takut.

“Tenang Mbok, kita pasti inget.”

Susah sekali rasanya menasihati anak labil di bawah umur, mbok Inah serasa putus asa. Dia terlalu berpikir sangat-sangat jauh. Dia sendiri juga yang pusing sendiri, karena pada dasarnya terlihat sangat pas dengan pemikirannya.

Rangga muncul dengan pakaian santai dan tak lupa jaket. “Yuk!” ajak Rangga.

“Duluan ya Mbok, masakan Mbok sangat lezat.” Alesha menyusul Rangga yang sudah dulu berjalan ke depan.

“Mau ke mana Den?” seru mbok Inah.

“Pindah ke rumahnya.” Maksudnya hanya bercanda. “Ada apa dengan mbok, aneh.” Batin Rangga.

Mbok Inah benar-benar mau pingsan, kakinya begitu lemas sampai hampir terjatuh. Anak yang diurusnya dari kecil, kini dewasa sebelum waktunya. Dia pikir, ini fase baru sebatas suka, saling tertarik lawan jenis. Ternyata mereka sudah sangat jauh melangkah dalam hubungan yang tak seharusnya untuk anak seusianya. “Den, kenapa Den?” mbok Inah menangis gara-gara kesalahpahaman atas pemikiran buruknya sendiri.

****

Sinar matahari yang masih hangat, dedaunan yang bertebaran di area dekat taman karena belum terjamah oleh tukang kebun, suasana yang masih sepi orang, menambah lengkap dia yang kesepian karena berangkat terlalu pagi dari biasanya. Ia merasa tak sabar, ke sekolah melihat sosok yang menjadi pujaan hati.

Walau dia tahu, si pujaan hati telah ada yang memiliki. Tak masalah baginya, karena ia hanya menyukai tak berharap lebih atas sukanya itu. Melihatnya setiap hari, dirasa cukup untuknya, meski kadang terbesit ingin memilikinya, lantas tak membuatnya egois memaksakan keinginannya, ia tetap cinta dalam diam.

Ia memasuki kelasnya yang masih kosong, duduk di bangkunya dan menatap bangku di depannya, terlihat dalam imajinasinya gadis itu tersenyum lebar padanya, lalu dibalas senyum itu dengan senyumannya yang tak kalah lebar.

“Ngga, woi Rangga.” Tangan Anton naik turun di depan wajah yang sedang tersenyum lebar. “Kamu baik-baik saja?”

Tersadar, sosok imajinasi itu juga lenyap dari pandangan. Matanya mengerjap. Rangga menyingkirkan tangan teman sebangkunya itu dari wajahnya. “Baik.”

“Sedang lamunin apa sih? Tersenyum sendiri, baru kali ini aku melihatmu senyum selebar itu. Aku jadi penasaran.”

“Enggak ada.”

“Ah, gak mungkin. Katakanlah, aku akan jaga rahasia. Kamu sedang naksir cewek, kan?” tebak Anton.

“Enggak,” tampik Rangga.

Namun wajahnya tak bisa menipu Anton. “Siapa? Siapa?”

Bukannya menjawab, ia malah menghindarinya dan memilih pergi ke perpustakaan yang kebetulan belum berpenghuni. Duduk, memasukkan head seat ke kupingnya, mendengarkan beberapa lagu di ponselnya.

Setelah hampir habis 5 lagu, Alesha tiba-tiba datang, dan duduk di sampingnya. Lalu ia, memindahkan satu headseat di kuping Rangga, ke kupingnya. “Penasaran, apa lagu yang didengar saat orang jatuh cinta,” ucapnya dengan senyuman seperti dalam imajinasi Rangga tadi.

“Apa yang kau bicarakan, aku tak mengerti.” Ia berusaha melihat senyum itu dari sudut matanya.

“Ah kamu. Kata Anton, kamu sedang naksir cewek, ia sampai gelisah karena penasaran tadi.”

Rangga terkekeh, jawab apa dia? Apa dia harus jawab, kamulah yang aku taksir. Rangga memandang lekat Alesha, membuat Alesha merasa menjadi tak nyaman. Membuatnya berpikir, mau apa dia di perpus yang belum berpenghuni ini?

“Apa kau juga penasaran?”

Alesha merasa canggung, karena mata Rangga begitu dalam menatapnya. “Sedikit.”

“Sungguh? Lalu, kenapa kau ke sini?” Rangga berhenti menatapnya, dan menghadap ke sisi lain.

Alesha begitu lega, dia hampir saja berpikir buruk pada sahabatnya itu. “Itu karena Anton, dia menyuruhku mencarimu dan, ah sudahlah lagian mau-maunya aku menurutinya.”

Rangga terkekeh lagi.

“Kenapa?”

“Enggak.”

****

Istirahat tiba, Alesha menuju kantin untuk urusan perutnya. Rangga mengekor di belakangnya, langkah Rangga begitu hafal di telinga Alesha.
“Mau ke kantin juga?” tanya Alesha membuat sejajar di samping Rangga.

“Iya.”

“Nanti aku boleh main lagi, aku kemarin nanggung baru setengah baca, aku sampai penasaran dan kebawa mimpi, tau gak. Kenapa sih, gak mau minjemin, satu kali aja, eh dua kali atau tiga kali mungkin,” bujuknya dengan matanya yang berkedip-kedip kaya lampu disko.

Rangga tak cukup kuat menahan perasaannya sekarang, hingga sedikit membuatnya gugup. “Kapan-kapan,” jawabnya, lalu memilih mendahuluinya menyembunyikan kegugupannya itu.

“Janji loh.” Alesha malah menyusulnya, dan membuatnya sejajar lagi.

“Iya.” Rangga berjalan cepat, kakinya yang panjang, membuat Alesha kewalahan untuk terus berada sejajar dengannya.

“Kenapa sih? Tadi ngintilin aku, sekarang berjalan seperti menghindariku. Aneh,” batin Alesha.

Alesha duduk bersama Rangga di kantin sekolah, menikmati semangkok bakso dengan es teh manis di meja. Sesekali Rangga mencuri pandang dia yang kepedasan, itu saja cukup membuat hatinya adem.

Dari kejauhan, Adit memperhatikan pandangan Rangga ke Alesha begitu berbeda dari cowok lain, sesama cowok, ia paham kalau Rangga juga tertarik pada Alesha. Adit yang tak tahan, mendekat ke mereka, bergabung bersama keduanya dan mendudukkan diri di samping Alesha.

Alesha begitu terkejut, bibirnya yang masih jontor, membuatnya merasa sangat malu dan menutupinya.
“Gak papa, lanjutin aja makannya.”

Alesha tersenyum kaku, mau lanjut gimana, orang dia lihatin mulu. Alesha yang sedari tadi bebas makan leluasa sesuka hati, kini menjadi lebih pelan dan hati-hati.

“Lihat kamu makan, rasanya jadi ngiler, boleh nicip?” Adit berpolah seolah dia benar-benar ngiler bakso Alesha.

“Ambil punyaku, masih utuh.” Rangga mendorong semangkok bakso miliknya di meja, persis di depan Adit.

“Kamu tadi ngapain aja? Bisa masih utuh gitu?” tanya Alesha heran melihat semangkok bakso Rangga yang sama sekali belum tersentuh, masih rapi dan Ori racikan si penjual.

Liatin kamu. Mana sempat dia memakannya. Batin Adit bergemuruh.

“Tiba-tiba aku kenyang,” jawab Rangga. “Aku berencana minjemin beberapa, ikut aku sekarang.”

Alesha pikir, Rangga membawa komik yang ingin dipinjamnya kemarin. Alesha lantas dengan semangat empat lima mengekor di belakang Rangga. “Duluan ya, Kak.”

“Tapi Les, aku boleh ikut?”

“Boleh, tapi abisin dulu baksonya. Mubazir lo.”

Alesha terus bersemangat mengikutinya ke kelas, duduk di bangkunya dan menghadap ke belakang, menghadap Rangga. “Mana, mana?” Alesha sudah tak sabar.

“Apanya?”

“Komik.”

“Di rumah.”

“Lo tadi katanya mau minjemin.” Mukanya mulai berubah kesal.

“Aku baru berencana. Belum bawa.” Ia melakukannya hanya untuk menariknya pergi dari Adit yang sedang berusaha mendekatinya. Rangga mulai tahu caranya menarik perhatian Alesha. Dia tak akan bisa menolak, jika mengenai komik.

Alesha mengingat lagi kalimat Rangga. “Ah benar juga, dia bilang berencana. Ya ampun, padahal nilai bahasa indo ku bagus. Kenapa tak memahami bahasanya,” gerutunya dalam hati.
Cemberut, merasa dikhianati dan dibohongi, kemudian merasa sangat bodoh, kecewa, nano-nano bercampur aduk. Namun apa daya, Alesha tak bisa protes. Dia harus bersikap baik pada Rangga, demi komik yang disayanginya.

Rangga juga tahu, sikap baik Alesha hanya demi komik, tapi ia tetap bahagia, dia kini tak lagi ketus padanya, dia juga tak masalah diikuti, ke mana pun Alesha pergi, dan yang paling membuatnya senang ialah, ia bisa berduaan terus di ruang komiknya.

Demi apa pun itu hal yang tak pernah terduga sebelumnya oleh Rangga. Hampir setiap hari, ia bisa mengajak ke rumahnya hanya dengan embel-embel komik. Saking cintanya Alesha pada komik ninja itu, ia rela duduk seharian di ruang komik Rangga. Terkadang, tak jarang ia sampai ketiduran karena saking lelahnya mata yang sudah terlalu banyak menjelajahi komik kesayangan.



Happy reading, no spaneng-spaneng.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan vote dan coment. Thanks....


Ex (Tak Terbatas Waktu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang