“Den, siapa yang Aden taksir?” tanya mbok Inah setelah Alesha dan Elsa pulang.
“Enggak ada.”
“Jujur aja, Den. Mbok janji, tidak akan ngomong ke siapa-siapa.”
Rangga tersenyum kecil dan menyembunyikannya, supaya si mbok tak melihat. “Baju hitam,” jawabnya lalu pergi naik ke kamar di lantai dua.
Mbok Inah terkekeh sendiri, lalu merasa haru, anak yang dulu dirawatnya dari bayi, kini sudah tumbuh remaja dan mulai menyukai lawan jenisnya. Mbok Inah teringat, yang pakai baju hitam itu Alesha. “Lupa tadi, gak nanya nama.” Mbok Inah jadi makin penasaran, sosok Alesha. Bagaimana ia bisa membuat tuannya jatuh hati padanya. “Apa karena cantik? Gadis yang sebelahnya juga tak kalah cantik. Karena apa ya? Aduh, kenapa saya merasa senang gini, melebihi anak sendiri saat menikah.”
****
Rizky yang berada di tahun ketiganya di SMA, membuatnya dituntut orang tua agar lebih disiplin dan rajin belajar lagi, supaya lulus dengan nilai memuaskan dan bisa masuk universitas impian. Itu membuatnya harus mengorbankan hubungan dengan Alesha. Mulai dari jarang bertemu, telepon, bahkan berkirim pesan. Walau sebelumnya ia sudah menjelaskan itu pada Alesha, tapi Alesha tetap saja merasa sedih dan kecewa.
“Maaf Les, nanti aku bayar semua setelah ujian berakhir. Aku janji.”
Alesha menutup teleponnya, kata janji yang ia ucapkan, akhir-akhir ini hanya membuatnya kecewa. Namun, mau bagaimana lagi, Rizky juga punya impian dan masa depan yang harus ia raih. Belum lagi ibunya yang cerewet, selalu mengawasi kegiatan entah di sekolah atau di rumah, tak jarang ia melarang anaknya walau ke luar rumah hanya sekedar ke mini market. Ibu lebih memilih ia saja yang pergi, agar ia bisa fokus belajar dan belajar lalu lulus ujian. Titik.
****
Pagi hari, mata Alesha mengerjap. Rasa kantuknya masih terasa. Samar-samar terlihat oleh matanya, jam di dinding kamar terlihat masih buram. Alesha kembali menarik selimutnya. Zzz tidur lagi.
Suara dering ponsel Alesha, mengganggunya yang belum mau bangun dari tidur. "Siapa pagi-pagi nelfon?" Alesha dengan mata masih terpejam mencari keberadaan ponsel. Tangannya meraba-raba kasur berlanjut menemukannya di meja di sebelah kasurnya. "Hallo."
"Lesh, aku takut." Suara Elsa terdengar dari telefon.
"Hah?" Alesha mendengkur halus.
"Lesh, kamu tidur lagi?"
Tidak ada jawaban, hanya dengkuran halus yang terdengar.
"Lesh? Lesh!" Namun Alesha masih belum menjawab, "Alesha....!" Elsa dengan meninggikan suaranya satu oktaf.
Alesha terkejut dan kaget. "Aishh, kenapa si teriak-teriak. Aku enggak budeg!" Kalau orang mengantuk dipaksa bangun, apa lagi banguninnya teriak, tahu sendiri rasanya lah ya.
"Kamu emang enggak budeg, tapi kamu tidur terus, ini kan udah siang!"
"Hah, jam berapa sekarang?"
"Buka matamu dan lihat sendiri!"
Dengan mata yang masih berat, Alesha memaksa membuka matanya, melihat jam dinding di kamarnya. "Astaga! Jam setengah 7. El, udah dulu. Daahh!" Alesha beranjak dari tempat tidurnya dengan terburu-buru dan membuang ponselnya di kasur.
***
Jam 7 Alesha baru siap, Alesha ke luar rumah. Dia melihat angkotnya sudah jauh meninggalkannya. "Aku akan terlambat jika jalan kaki. Aku akan lebih terlambat jika menunggu angkot selanjutnya." Alesha gelisah dan bimbang serba salah apa pun langkah yang dia ambil tetap akan terlambat.
Tiba-tiba ada seorang cowok bermotor berhenti di depannya. Cowok tersebut mengenakan jaket biru kemudian membuka helm. "Kak Adit!" Alesha kaget kenapa Adit tiba-tiba bawa motor.
"Ayo naik. Nanti terlambat. Kamu pasti ketinggalan angkot, kan? Sama aku juga, aku bangun kesiangan tadi. Ayo cepat!"
"Enggak usah kak."
"Udah ayo, nanti telat kalau nunggu angkot selanjutnya."
Tidak ada pilihan lain, Alesha terpaksa naik dan membonceng Adit.
Adit dan Alesha berhenti di parkir sekolah, iya sudah pasti anak-anak lain di sekitarnya melihat ke arah mereka berdua. Siswa lain mengira Alesha dan Adit benar-benar pacaran.
"Kalian benar-benar jadian ya?" tanya salah satu teman sekelas Adit.
Alesha menggelengkan kepala. "Enggak kok."
Adit hanya tersenyum tidak menjawab. "Aku mau fotocopy dulu, kamu masuk aja dulu." Adit menatap ke Alesha.
"Iya." Alesha berlalu meninggalkan Adit dan temannya.
"Apa dia bohong?" tanya teman sekelas Adit.
"Tidak. Aku fotokopi dulu ke depan." Adit berjalan ke luar sekolah.
"Aku ikut." Teman sekelas itu berlari menyusul Adit.
Alesha sampai di kelas. Sudah ada Elsa di sana.
“Aku kira, kamu akan telat. Aku sangat khawatir."
"Aku sebel banget, kenapa Adit diam saja saat temannya tanya kita pacaran atau tidak." Alesha mendengus kesal.
“Itu tandanya dia seperti mengiyakan, kalian benar pacaran.”
Alesha membungkam mulut Elsa. Takut orang lain mendengar dan salah paham. Namun naas, semua itu sia-sia, karena sudah ada yang mendengar sejak tadi.
"Kalian benar-benar pacaran?" Anton tiba-tiba muncul, "sudah kuduga, kenapa ditutup-tutupi?"
Alesha membulatkan matanya. "Mau ku pukul kamu! Sudah ku bilang enggak ya enggak. Jangan suka bikin gosip. Maksud aku kenapa dia gak jawab dan hanya aku yang menjawab. Aku takut nanti dikira benar."
"Aku masih enggak percaya," ledek Anton yang memang tidak percaya.
"Terserah!" Alesha membuang muka.
"Enggak percaya kenapa?" tanya Rangga yang sudah di samping Anton.
Anton menengok ke Rangga. "Sejak kapan kamu di sini?"
"Baru saja."
"Alesha benar-benar jadian sama Adit, aku tadi lihat mereka berangkat bersama naik motor." Ucap Anton dengan ketawa khasnya. Ternyata Anton melihatnya saat Anton sedang masuk di gerbang sekolah. Alesha yang menunduk, tidak melihat Anton.
Rangga terkejut di hatinya, namun mukanya terlihat datar. Ada perasaan aneh di hatinya ketika mendengar Alesha jadian sama Adit. Rangga duduk di bangkunya dan menunduk ke bawah.
"Heii, apa kerjaanmu selain bikin gosip, juga memata-matai." Alesha menatap tajam ke Anton.
"Aku tidak sengaja."
"Jangan menyebarkan gosip aneh-aneh, awas saja kamu!"
Anton ke tempat duduknya bersama Rangga. "Kenapa Alesha enggak mau ngaku?" Bisik Anton ke telinga Rangga. Namun bukan seperti bisikan. Suaranya bisa terdengar oleh siapa pun.
"Aku dengar Anton." Alesha menengok ke belakang dan menatap tajam ke Anton, lebih tajam dari yang tadi, hingga bisa membelahnya mungkin.
Anton menjadi salah tingkah melihat bola mata Alesha yang hampir mau keluar.
Bel istirahat berbunyi, di luar kelas Adit dan teman-temannya berjalan bergerombol. Saat melewati kelas Alesha, dari pintu Adit melihat Alesha dan menghentikan langkahnya. "Kalian duluan, aku ada urusan bentar."
"Waah, pasti cewek tadi pagi itu benar-benar berbohong, ledek teman satu kelas yang tadi pagi, kepada Adit.
Adit masuk kelas Alesha, berdiri di sebelah bangku gadis yang ia taksir. Tersenyum manis, niatnya menebar pesona untuk si gadis, tapi hasilnya semua gadis di kelas meleleh dibuatnya, sedangkan si gadis acuh dengan senyum itu.
“Nanti pulang bareng lagi ya, aku tunggu di depan,” ucap Adit.
Patah hati, semua gadis yang menyaksikan ini. Ini seperti membenarkan gosip yang selama ini beredar, bukan sekedar gosip belaka. Melainkan fakta yang nyata.
“Maaf Kak, nanti aku mau ngerjain tugas dengan Elsa sepulang sekolah.” Alesha mencari alasan menolak tawarannya.
“Tugas apa?” Merasa bingung, Elsa pikir tugas apa, apa dia lupa.
Alesha menggenggam, atau lebih tepatnya meremas lengan Elsa, berharap ia mengerti kodenya untuk mengiyakan saja. Tidak usah banyak bertanya. Untungnya kali ini Elsa paham. “Ah iya, tugas itu kan? Iya, maaf Kak Adit, tapi memang harus dikumpulkan besok.”
“Oh gitu, sayang sekali. Ya udah, bisa aku duduk sebentar di sini?”
“Bisa, ya udah aku duluan ke kantin.” Elsa beranjak dari bangkunya, dan pergi ke Kantin.
“Tadi ia menolongku, kenapa sekarang malah menjebakku. Awas nanti!” ancam Alesha dalam hati.
Elsa menengok ke Alesha, seperti mendengar ancamannya, ia juga berucap dalam hatinya, “Dadah, jangan marah. Aku bukan menjebakmu, hanya membantu memuluskan Adit saja.”
Seperti dalam angkot, selalu saja ia membuat risi Alesha. Memandangnya begitu lekat, hingga orang lain yang melihatnya pun, akan benar-benar mengira mereka pacaran.
Rangga yang berada di belakangnya, geram sendiri dibuatnya. Rasa cemburu, membuatnya menarik paksa Adit, dan mendorongnya pergi dari kelas, dia tak sudi gadis yang disukai, dipandangi cowok lain. Sayangnya, itu hanya bisa dilakukan dalam bayang angannya saja, nyatanya ia hanya diam murung tak melakukan apa-apa.
“Kak, aku mau ke belakang.”
“Ke belakang, duduk dengannya?” Adit menunjuk ke Rangga yang duduk sendiri.
“Bukan, maksud aku ke toilet.”
Jatuh cinta membuat pikiran Adit kacau, hingga pikirannya pun ngelantur tak nyambung. “Oh, oke.”
“Permisi dulu,” ucap Alesha lalu berdiri dari bangkunya. “Kamu jangan ikut, di sini aja,” tatapnya pada Rangga.
“Jadi kalian selalu ke toilet bareng? Kok ....” Adit beranggapan dan berpikir aneh lagi.
“Bukan gitu Kak, ah sudahlah.” Alesha lebih memilih pergi daripada menjelaskan.
“Heh, kamu bener ke toliet bareng dia? Kamu kan cowok, kalian ngapain aja?” tanya Adit mengintrogasi.
“Dasar gila,” ucapnya datar tanpa ekspresi lalu pergi.
“Heh, kamu yang gila. Awas kamu ya! Kamu gak akan lepas dariku,” ancam Adit yang otaknya masih kacau.
Rangga tetap berjalan pergi tanpa menggubris perkataan ketua OSIS.Happy reading, no spaneng...

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex (Tak Terbatas Waktu)
Teen FictionAlesha gadis sederhana, yang terlanjur menutup hatinya setelah gagal di masa lalunya. Dia tak mengizinkan laki-laki masuk ke hatinya, apalagi menerima cinta seorang laki-laki. Ini berawal saat SMA dulu, ia terpaksa menerima cinta Adit demi memutuska...