Weekend tiba, Rizky dan Alesha menunaikan niat mereka kemarin untuk pulang kampung, menghabiskan sepekan bersama keluarga masing-masing.
“Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa naik mobil lagi bareng kamu.” Rizky terlihat girang, dengan senyuman merekah bagai bunga.
“Emang pernah kita naik mobil bareng? Bukankah dulu kita selalu naik motor?”
“Ingat gak, waktu ke Jogja bareng keluargaku dulu sebelum kita putus?”
“Oh ya aku inget, bener-bener. Itu kali pertama dan terakhir kita naik mobil bareng, kan? Ya ampun aku jadi inget waktu ibu kamu buang gas saat di kos-kosan. BTW gimana kabar ibu kamu sekarang?”
“Bilang saja kentut, jangan ngomongin kentut ibu, baunya jadi terngiang-ngiang di hidungku nih,” Rizky tertawa, “mana aku tau kabarnya, aku juga baru mau pulang.”
“Emang gak pernah tanya walau lewat HP?” Alesha mengernyit.
“Ngapain, kalau hanya akan dengar kentutnya saja. Walau lewat HP, baunya tetep tercium. Lagian, ibu selalu mewek kalau telepon, males.” Rizky tertawa, tapi dalam tawanya kini tersembunyi kesedihan.
Alesha sadar, tawanya kini tak semurni tawa yang sebelumnya. “Semua ibu pasti gitu lah, jangan gitu. Seringlah beri kabar, aku juga satu minggu sekali pasti ngabarin.”
“Ibu itu, hampir tiap hari selalu minta kabar. Capek. Dia mungkin sangat khawatir, karena aku gagal nikah, takut di sini bunuh diri kali.” Rizky tertawa lagi. “Nih ya, tunggu aja, bentar lagi pasti telepon atau VC.”
Ternyata dugaan Rizky benar, panggilan video call muncul dengan nama ibu bau. “Benar, kan? Biarin aja deh.”
Alesha merebut ponsel Rizky. “Ih dasar anak durhaka, masa dinamai ibu bau si?” Alesha bingung sendiri dengan orang disampingnya. “Aku angkat ya? Boleh?”
“Terserah, jangan nyesel ntar,” ledek Rizky.
Alesha merapikan rambutnya yang terurai rapi, dan menerima panggilan video dari ibunya Rizky. Ibu sangat terkejut, karena bukan anaknya yang di layar, tapi kemudian dengan saksama memperhatikan gadis di layar sepertinya tak asing, senyumnya pernah terlihat di memori otaknya.
“Masih ingat aku gak, Bu?”
Suaranya kemudian langsung mengingatkannya pada sosok yang pernah singgah dihidup anaknya beberapa tahun lalu. “Aaa, ibu baru inget, Alesha ya? Waduh makin cantik aja.”
“Makasih, Bu. Gimana kabar, Bu?”
“Gini lah, ibu kurang baik, anak ibu tak pernah beri kabar ibu, tak mau terima VC atau telepon ibu, WA pun gak dibales. Merananya hati ibu, punya anak yang begitu,” sindir ibu.
“Tenang Bu, sepekan ini tak perlu lakukan itu lagi, karena anak ibu akan ke situ.” Alesha membalikkan kamera menyoroti Rizky yang sedang menyetir.
“Alhamdulillah, akhirnya setelah sekian lama anakku pulang juga.”
“Lebay, sekian lama apanya, rang dua minggu lalu aku juga pulang,” oceh Rizky.
“Bagi ibu, itu lama Ki. Oh ya, kalian kok pulang bareng? Kalian ....”
“Iya Bu, makanya Rizky pulang, nih mau kenalin calon mantu.”
Alesha mencubit keras lengan Rizky dan membalikkan kamera menyoroti dirinya lagi. Rizky terlihat kesakitan, namun tak mengerang.
“Jangan percaya Bu, enggak kok, enggak.” Wajah Alesha sudah terlihat pucat.
“Gak papa, ibu akan aminkan jika benar iya, jika tidak, ibu akan berdoa untuk segera diiyakan punya mantu kamu.”
Alesha yang mulai canggung, memutuskan mengakhiri obrolannya dengan ibu. Wajahnya merah padam, tak bisa dielakkan. Melirik ke orang di sampingnya, merasa kesal, sebal, dan sangat malu. Bagaimana hal seperti itu, dia bercanda. Apalagi dengan ibunya sendiri yang tengah berharap, putranya segera menemukan pengganti dari yang sebelumnya.
Keheningan tercipta sepanjang perjalanan, setelah Alesha menyalakan musik, hingga tanpa disadari Alesha sudah terlelap di kursinya setelah hari sudah menginjak tengah malam. Saat terbangun, dia sudah diselimuti dan sudah terpasang bantal di lehernya. Menguap dan meregangkan otot-ototnya, dia tersadar sudah berbeda keadaannya sebelum dia terlelap.
“Dah bangun?” tanya Rizky.
Alesha mengangguk. “Selimut dari mana dan aku tak lihat bantal ini dari tadi, kamu tidak beli tadi, kan?”
“Enggak lah, aku emang selalu bawa selimut dan bantal jika pergi jauh,” elak Rizky. Karena yang sebenarnya adalah memang benar, jika tadi ia sengaja turun dan membelinya, karena tak tega dengan Alesha yang kepalanya terus saja jatuh ke pundaknya, juga terlihat kedinginan. Padahal, cukup matikan AC mobilnya saja, tak membuatnya dingin, karena Alesha mengenakan hoodie. Namun sesaat dia menikmati pundaknya jadi sandaran kepala mantannya.
“Oh kirain.”
****
Dering ponsel berbunyi cukup keras, membuat yang masih terlelap di kasurnya yang empuk kaget, dan terbangun dari mimpinya yang entah indah atau buruk.
“Halo.” Suara malas menjawab dengan rambut yang masih acak-acakan tak karuan.
“Baru bangun?” tanya Rizky dari kejauhan.
“Eem,” jawab Alesha masih suara malasnya.
“Bangun gih, jalan-jalan yuk!” ajak Rizky.
“Masih capek, besok-besok aja lah. Hari ini aku akan istirahat full di rumah.”
Faktanya adalah semua itu palsu, saat siang hari. Dia sangat semangat dengan motornya, menikmati sudut jalan di kampung halamannya. Mengenang masa kecilnya yang penuh kegembiraan. Lalu ia terhenti di depan gedung SMAnya dulu. Walau hari minggu, tapi ramai anak yang sedang berkegiatan sepertinya.
Senyum tersungging di bibirnya yang berwarna jambon. Dia ingat seseorang dan merindukannya sekarang. Sosok yang selalu menempel padanya dulu, hingga ia sendiri sebal padanya.Penyuka komik, terutama Naruto. Komik menolong hidupnya, jika tidak hidupnya pasti hancur dan berantakan atau lebih parahnya dia tak bisa hidup. Ia adalah Rangga Wijaya, seorang yang selalu Alesha rindukan, tapi kini entah di mana. Hanya sekedar tahu kabarnya di sosial media pun tak bisa, karena terlihat semua sudah tak aktif lagi.
Alesha kesulitan menghubunginya setelah insiden hilangnya ponsel saat berlibur bersama Putri dan Adit tak lama setelah kelulusan. Semua nomor tak ada yang hafal kecuali nomor sendiri. Namun saat ia berusaha mengabari Rangga ke rumahnya, Rangga sudah pergi ke luar negeri. Rumahnya sudah kosong, hanya ada tukang kebun sedang merapikan tanaman.
“Rumah ini sudah kosong De, paling satu minggu sekali baru mbok Ijah datang membersihkan,” ucap tukang kebun.
Akhirnya Alesha menyerah mengetuk pintu dan pergi dengan penyesalan yang tak berujung hingga sekarang. Rangga bukan pacarnya, tapi lebih dari itu ia sangat berarti untuk Alesha. Sehingga hatinya tertutup untuk semua laki-laki yang mendekatinya hanya untuk menunggunya kembali.
“Apapun yang terjadi, kamu harus percaya sama aku, aku juga akan percaya kamu. Jika nanti aku pergi, aku mohon tunggulah aku hingga kembali dan berikan jawaban perasaanku padamu.” Genggam erat Rangga, setelah ia mengakui perasaannya pada Alesha tepat di hari kelulusan.
“Maafkan aku, tapi kita sahabat.” Saat itu Alesha masih belum menyadari perasaan sayang yang tumbuh di hatinya lebih dari sekedar sahabat untuknya.
“Aku beri waktu kamu untuk memikirkannya, jangan cepat menyimpulkan semuanya secepat itu.”
“Waktu buat apa?” Alesha pikir, buat apa memberinya waktu hanya untuk berpikir sesuatu yang sudah jelas.
“Berpikir lah, kamu harus tau perasaanmu sendiri. Intinya sampai kapanpun, aku tunggu sampai kau menyadarinya, dan aku mohon tunggu aku juga sampai aku kembali.”
Alesha pikir saat itu Rangga hanya bergurau seperti biasanya, dia tak benar-benar menyangka kalau Rangga benar-benar akan pergi meninggalkannya tanpa pamit.
Mungkin kamu marah karena aku sangat lamban menyadari perasaanku ke kamu, hingga kau pergi tanpa pamit. Kamu keterlaluan, harusnya walau marah, ucapkan salam perpisahan baik-baik walau lewat pesan atau telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex (Tak Terbatas Waktu)
Teen FictionAlesha gadis sederhana, yang terlanjur menutup hatinya setelah gagal di masa lalunya. Dia tak mengizinkan laki-laki masuk ke hatinya, apalagi menerima cinta seorang laki-laki. Ini berawal saat SMA dulu, ia terpaksa menerima cinta Adit demi memutuska...