“Heh, jangan ikuti aku. Aku mau ke WC.” Alesha menatap kesal ke Rangga yang sedari ia ke luar kelas terus mengikutinya.
“Aku tunggu di luar,” jawab Rangga cuek.
“Mainlah dengan yang lain, aku bosen diikutin kamu mulu. Nanti dikira kita ada apa-apa.”
“Itu yang kuharapkan,” jawabnya lirih.
“Apah? Ngomong apa tadi?”
“Enggak, gak ngomong.”
“Jangan macem-macem kamu.”
Di lain hari, Rangga juga sering mengikutinya ke perpustakaan, kantin, bahkan hanya sekedar melihat majalah dinding di sekolahnya. Entahlah, rasanya mengasyikkan bagi Rangga, atau rasa nyaman yang didapatkan olehnya jauh lebih besar mungkin, yang menyebabkan ia betah menempel dengan Alesha.
Semakin lama, Alesha tak masalah dengan itu, karena terbiasa membuatnya juga merasa ya sudahlah tidak apa-apa. Begitu pikirnya, sampai dia bertemu dengan Adit ketua OSIS.
Bel istirahat berdering, membangunkan Alesha dari duduknya dan beranjak ke kantin, berniat mengisi perutnya yang kosong belum diisi sejak pagi. Kelaparan, membuatnya berjalan cukup cepat atau cenderung membuatnya terburu-buru, sampai kaki tak sanggup mengimbangi tubuhnya hingga membuatnya hampir terjatuh. Namun ia tak menyerah, ia tetap berjalan namun mengurangi kecepatan langkahnya, sayangnya nasibnya lagi kurang beruntung, ada anak lain yang tak sengaja menjatuhkan minuman, hingga lantai basah.
Perut yang lapar, membuat mata tak fokus, ia terpeleset sampai hampir jatuh. Untung saja, ada Adit di belakangnya, yang sigap menangkap dan menopang tubuhnya, hingga tidak sampai terjatuh ke lantai. Matanya terpejam, ia pikir ia sudah terlentang di lantai. Namun ia tak merasa sakit. Dibukalah matanya yang bulat, terlihat sosok yang sangat tampan. Matanya makin lebar, ketika ia menyadari ketampanan itu milik seorang Adit ketua OSIS.
“Kamu gak papa?” tanya Adit.
Alesha melepaskan diri dari tangan Adit yang masih menopang dirinya, perasaan gugup, malu lengkap dengan pipi yang merona ditambah perut yang berbunyi seenaknya, seperti tak mengerti keadaan. Membuat suara menjadi bisu, hingga ia hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepala saja kemudian berlalu pergi tanpa ucapan terima kasih atau semacamnya.
“Siapa dia? Manis sekali.” Batin Adit. “Apaan si? Mikir apa sih?” Lanjutnya dalam hati.
Jatuh hati pada pandangan pertama, sepertinya itu yang ia rasakan. Setelah kejadian itu, Adit mulai mencari tahu gadis itu, mulai mendekatinya secara halus. Mulai dari sengaja membuat adegan papasan di koridor sekolah, lalu memberikan senyuman hangat dan dilanjut balasan senyum dari Alesha seperti yang ia harapkan. Hampir setiap hari, ia lakukan itu, sampai Alesha bosan membalas senyumnya.
Hingga saat itu tiba, ia beranikan diri untuk meminta nomor Alesha. Nasibnya mujur, ada kesempatan satu angkot bersama, membuatnya tak mau melewatkan ini dengan begitu saja.
“Alesha, kan?” tanya Adit yang kebetulan juga duduk berhadapan dengan Alesha.
“Iya, kok tau ya?” Dalam hatinya, ada sedikit kebanggaan orang populer di sekolahnya tahu namanya. “Wah, nanti aku cerita sama Elsa, Adit tau namaku. Dia pasti sangat iri,” ucapnya dalam hati.
“Tuh, tertulis di bajumu.” Adit menunjuk papan nama di seragam Alesha.
Alesha menunduk malu, kebanggaan yang ia rasakan seketika lenyap. Kesombongan yang niatnya akan ditunjukkan pada teman sebangku, tak dapat ia wujudkan. Belum lagi, anak lain di angkot terlihat cengengesan menahan tawanya melihat Alesha yang begitu percaya diri dipatahkan begitu saja oleh nama di seragamnya.
“Aku tau namamu sebelum melihat nama di bajumu kok.” Ia menjadi dewa penyelamat untuk rasa malunya saat ini.
“Cieee,” seru teman angkot lain.
“Ha? Oh ya?” jawaban macam apa ini. Jawaban bingung tentunya.
“Iya, sungguh aku gak boong. Boleh minta nomormu?” Adit menyodorkan ponselnya meminta Alesha mengetikkan nomornya.
Alesha makin bingung dengan tingkah bocah populer ini, tadi seperti menjatuhkannya, tetapi kini ia seperti mengangkatnya setinggi pohon kelapa.
“Kasih, kasih, kasih,” sorak semua penghuni angkot lain dibarengi tepuk tangan sebagai pelengkap.
Celingak-celinguk kaya orang bloon. Malu, risih, tak nyaman nano-nano bercampur jadi satu. Desakan penghuni angkot membuatnya terpaksa menuliskan nomornya di ponsel Adit.
Sesampainya di kelas, dia urungkan menyombongkan diri di depan Elsa. Ia malah terlihat murung, melempar tasnya di meja dan membuatnya jadi bantal kepalanya.
“Kenapa Les? Pagi-pagi udah suntuk aja.” Elsa melongok wajah Alesha yang berpaling menghadap ke sisi lain.
“Enggak apa, sudah jangan tanya lagi!”
“Loh, kok jadi sewot? Salah aku apa?”
“Tau ah.”
“Kenapa dia?” tanya Rangga yang baru berangkat menuju bangkunya yang berada persis di belakang bangku mereka.
Elsa menjawab dengan mengangkat bahunya, menandakan ia sendiri bingung kenapa dengan teman sebangkunya.
****
Adit merasa pendekatannya berjalan sangat mulus, ia yang biasanya naik motor saat pulang pergi sekolah, kini memilih meninggalkan motornya di rumah dan menaiki angkutan umum hanya demi dia. Untung saja, dulu motornya rusak jadi ia tahu kalau Alesha selama ini naik angkot.
Namun berbeda dengan Alesha yang makin hari makin risi saat satu angkot dengan Adit. Itu karena tingkahnya semakin tak wajar menurut Alesha. Contohnya, setiap hari dia selalu bersebelahan dengan Adit di pojok angkot belakang. Dia seperti tak boleh sejajar dengan orang lain selain dirinya. Pandangan Adit juga selalu tertuju padanya saat di dalam angkot, membuat penghuni angkot lain merasa tak dianggap.
“Aku rasa mereka pacaran. Dunia serasa milik mereka berdua, kita dianggap angin belaka,” bisik penghuni angkot cewek satu sekolah dengan mereka pada teman cewek sebelahnya.
“Benar, wah berita tercetar. Ayo kita sebarkan nanti,” jawabnya.
Dalam hitungan jam, berita itu menyebar luas tanpa kendali. Berawal dari anggapan, seperti berubah menjadi kebenaran menurut mereka. Tanpa alasan pasti, mereka berbondong-bondong menanyakan itu pada Alesha.
“Enggak, itu gak bener.” Alesha selalu menjawab itu setiap kali teman lain bertanya.
Elsa merasa dikhianati oleh temannya, bagaimana bisa Alesha tak menceritakan padanya. Ia malah tahu dari orang lain. Begitulah pikirnya. “Kamu keterlaluan, aku ini temanmu atau bukan?”
“Kamu percaya gosip itu? Kalau itu benar, kaulah orang pertama yang aku kasih tau.” Alesha berusaha menjelaskan.
“Lalu, kenapa ada gosip itu? Mana mungkin ada asap kalau gak ada api?” Elsa masih belum percaya.
“Ya mungkin aja, asap itu bisa dari rokok.”
“Emang kamu pikir rokok bisa keluar asap tanpa korek api?”
“Eh iya, asap kendaraan kan gak ada api.”
“Kenapa malah jadi asap yang dibahas ih,” kesal Elsa.
“Kamu yang mulai.” Alesha tersenyum, terhibur dengan muka kesal temannya. “Intinya, aku gak tau kenapa ada gosip itu, yang jelas itu gak bener.” Alesha memperjelas pada Elsa.
Rangga juga sangat ingin mendengar kebenaran itu dari mulut Alesha langsung. Hatinya sedikit bergemuruh, tapi ia selalu bisa menahannya. “Apa itu benar?” tanyanya dari bangkunya di belakang.
“Apa lagi? Jangan pura-pura tak mendengar, aku sudah jelaskan.” Ia berbicara cukup keras pada teman sebangkunya, tak mungkin orang di belakangnya tak mendengar.
“Syukurlah.” Kata itu lolos dari mulutnya membuat aneh yang mendengar.
“Kenapa kau bersyukur? Apa kau menyukainya?” tanya Elsa meledek menengok ke belakang.
“Heh, ngomong apa sih kamu?” Pertanyaan Elsa cukup risi di telinga Alesha.
“Iya, aku menyukainya,” celetuk Rangga.
“Apa Rangga menyukaiku? Jadi dia menyukaiku, pantas saja dia hanya bicara denganku padahal ia dingin ke orang lain. Ya ampun, aku harus bagaimana?” ucapnya dalam hati yang membuatnya melongo, bengong.
“Aku menyukainya, karena aku tak membencinya. Itu saja.” Rangga mengurungkan niat untuk jujur tentang perasaannya. Ia pikir ini bukan waktu yang tepat.
Untung saja, Alesha tak bicara sambil menghadap wajahnya. Ia cukup lega, Rangga tak melihat wajahnya yang memerah karena malu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Tolong hati, jangan suka terlalu percaya diri, berbicara seenaknya atau mengambil kesimpulan yang membuatku malu. Memangnya aku siapa, bisa membuatmu berpikir, semua cowok akan mudah menyukaiku,” omelnya pada hatinya sendiri dalam hati. Dua kali ia merasa terlukai, malu karena hatinya yang terlalu percaya diri.
“Kamu kenapa?” tanya Elsa.
“Enggak kenapa,” jawabnya masih menutup mukanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/281983724-288-k585673.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex (Tak Terbatas Waktu)
Teen FictionAlesha gadis sederhana, yang terlanjur menutup hatinya setelah gagal di masa lalunya. Dia tak mengizinkan laki-laki masuk ke hatinya, apalagi menerima cinta seorang laki-laki. Ini berawal saat SMA dulu, ia terpaksa menerima cinta Adit demi memutuska...