ENAM BELAS

789 76 13
                                    

"Gue masih ga percaya. Bohong banget lo, orang gantengan Pak Bima juga kemana-mana. Ngapa pacarnya Pak Bima pake acara suka sama lo, dah?"

Jody mengedikkan bahu sambil menerima kembali gelas yang air didalamnya sudah kosong dari Muara. Iya, setelah batuk hebatnya tadi Muara langsung diberinya air agar bisa kembali bernapas tanpa mengap-mengap seperti ikan di daratan.

"Itu kejadian pas gue masih kuliah. Jadi ya mungkin kelabilan tante-tante?"

"Anjir hahahah! Jahat banget lo panggil tante, hoy."

Muara terbahak sambil memegangi sendoknya yang berisi siomay agar tak tumpah. Ya kan dia baru saja hendak menyuapkan siomay ke mulutnya, malah Jody melawak, urunglah suapannya masuk ke mulut.

"Lah? Lo mah ga percaya sama gue."

Jeda sebentar. Jody menggigit lagi potongan pizza ditangannya sementara Muara mengunyah dengan nikmat siomaynya.

"Kan secara umur Bima udah 26. Ya otomatis pacarnya kalo ga seumuran ya minimal di atas gue. Malah demen sama gue karna sering liat gue di rumah. Dah lah geli gue ingetnya."

Jody mengedikkan bahunya geli. Mengingat tante yang disebutkannya tadi berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.

Muara terkekeh lagi. Tapi masih iseng bertanya karena sungguh dia masih ingin tau apa saja yang belum diketahuinya dari Jody. Yang kini menjabat sebagai adiknya Bimasakti selain sebagai pengganggu paginya.

"Emang lo diapain sih sama tuh tante?"

Jody menghela napas. Lelah dia tuh, sudah dibilang kalau ga mau inget-inget, eh Muara malah makin-makin bertanya.

"Itu gincunya merah banget kan, ya. Pas gue mau ambil minum tuh ke dapur, tiba-tiba gincunya udah nempel di baju gue. Amit-amit gue kalo inget, bajunya langsung gue buang hiks."

Muara menggeplak bahu Jody karena tertawa terlalu keras. Tampak puas dengan cerita konyol Jody dengan tante tante.

"Jod, Jod?"

"Hm?"

"Yang nempel gincunya doang apa sama bibirnya?"

"Bibirnya lah anjir! Lo kira gincu di bibir bisa terbang?"

"Hahahah!"

Jody ikut tertawa saat melihat Muara terbahak keras bahkan sampai memegangi perutnya. Agaknya sedikit khawatir, tapi saat kemudian Muara sudah kembali normal dan langsung memakan baksonya membuat Jody agak urung khawatir. Agak ya, bukan ngga.

"Hati-hati sih, Ra. Kasian Baby nya diguncang gitu."

"Iya iya, maaf. Maaf ya sayangnya Mama."

Muara mengelus perut nya lembut. Menggambarkan kesungguhan permintaan maafnya pada janin yang belum terbentuk itu, dan hal itu berhasil memunculkan senyum manis di wajah Jody. Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana indahnya hari-harinya jika nanti dia sungguhan menikah dengan Muara.

Namun secepat kilat dia menampar pipinya sendiri. Kali ini jangan, bisa jadi tidak atau--kemungkinan yang ingin didengarnya adalah--belum boleh memikirkan hal itu.

Mendengar suara tamparan itu, Muara menatap Jody heran. Apalagi pipi Jody sudah memerah, Muara jadi meringis membayangkan betapa kuatnya Jody menampar pipinya sendiri.

"Kenapa lo, Jod?"

"Ga papa gue. Kaget aja perasaan ada nyamuk nempel, pas ditepuk malah ga ada."

Muara memelototkan matanya heran.

"Ditepuk? Yang lo lakuin tadi nepuk? Nepuk nyamuk?"

"Iyalah. Ngapain lagi gue?"

"Anjir lo serem banget ya, Jody. Punya dendam lo sama Nyamuk? Pipi lo merah itu, lo kalo nepuk nyamuk kira-kira dong."

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang