SEMBILAN

667 62 7
                                    

Di jam setengah tujuh pagi ini seperti biasanya Juanda sudah duduk manis di kursi kebesarannya. Dia sedang sibuk memeriksa beberapa berkas yang baru saja diantarkan oleh sekretarisnya. Sesekali matanya melirik ke pergelangan tangannya, dia dikejar waktu. Jam setengah delapan nanti dia ada kelas di kampus tempatnya mengajar.

Ceklekk....

Juanda menolehkan kepalanya saat mendengar suara pintu terbuka. Matanya yang dilapisi kacamata memicing saat melihat seseorang berjalan pelan memasuki ruangannya.

"Kenapa pagi-pagi kesini?" Ucap Juanda tanpa basa-basi. Matanya masih menatap ke berkas sementara tangannya sibuk menari diatas keyboard.

Seseorang yang masuk tadi .aka. Tiara mendudukkan dirinya pada kursi didepan Juanda sebelum berpangku tangan menatap Juanda yang ketampanannya berlipat ganda dengan kacamata diatas batang hidungnya.

"Aku calon istri kamu, loh. Masa gak boleh kesini." Ucapnya manja.

Juanda menghela napasnya. Mendengar kata istri memang membuat telinganya sedikit sensitif.

"Ada apa?"

Pasalnya Tiara sedang manja-manjanya diusia kehamilannya yang baru menginjak usia tiga bulan. Jadi Juanda harus sebisa mungkin mengimbangi Tiara jika tak ingin ikut terseret bersama kehancuran bisnis Tiara. Selain karena pemilik saham terbesarnya adalah Papa Tiara, juga dia Tidak ingin Tiara membatalkan pernikahan mereka.

Dia mencintai Tiara. Tentu saja.

Jadi, apapun akan dilakukannya demi bersama cintanya. Meskipun menghancurkan hati lainnya, baginya itu konsekuensi yang wajar.

"Pengen seharian peluk kamu. Kangen."

Sahutan dari Tiara berhasil menyadarkan Juanda dari lamunannya. Dia menegakkan posisi tubuhnya saat matanya melirik jam dipergelangan tangannya.

"Sudah jam setengah delapan. Aku harus berangkat ngajar."

Tiara berdecak kesal. Dia tidak ingin dinomor duakan dalam hal apapun. Termasuk perhatian Juanda.

"Aku maunya sama kamu!" Ucapnya memaksa.

"Aku ngajar, Ti. Sore nanti aja, ya? Habis aku ngajar, ya?" Bujuk Juanda.

Tiara mencebikkan bibirnya. Matanya yang sudah memerah bersiap menjatuhkan tetesannya. "Permintaan bayinya kok."

Juanda mengusap wajahnya kasar saat melihat Tiara sudah menitikkan air mata. "Oke. Fine. Kita kemana?" Ucapnya pasrah.

Juanda berjalan menjauhi Tiara yang kini sedang kegirangan ditempat duduknya. Dia harus menghubungi masing-masing penanggung jawab kelas untuk jam kelasnya hari ini.

Selesai dengan tiga kelas, Juanda berpindah menghubungi nomor dari penanggung jawab kelas terakhirnya hari ini.

Muara. Muara Dunia. Istrinya.

Tepat pada deringan kedua panggilannya tersambung.

"Saya tidak bisa mengajar hari ini. Tolong lanjutkan materi dan siapkan powerpoint. Minggu depan langsung presentasi." Ucap Juanda langsung.

"Baik Pak. Bagaimana dengan presentasi hari ini Pak?"

"Saya akan anggap selesai. Kelompoknya terserah kalian. Minggu depan saya tunggu presentasinya."

"Siap Pak. Jadi---"

"Sayanggg.... udah belum. Aku laper tau."

Tut... tut...

Juanda mematikan ponselnya spontan. Kehadiran Tiara yang langsung memeluknya dari samping membuatnya terkejut. Ditambah Tiara langsung berbicara tanpa pikir panjang. Juanda dapat memastikan, Muara mendengar suara Tiara dengan jelas, bahkan amat jelas.

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang